Jumat, 15 April 2011

The smallest, the strongest, the conqueror

Malam itu, pertengahan Desember 2009 pukul 00.02 ketika aku memutuskan pulang dari rumah nenek. Bukan tanpa alasan sebenarnya aku nekad pulang jam segitu. Tapi sungguh, rumah nenek bukan tempat di mana aku bisa tidur dengan nyenyak. Udara dinginnya yang menusuk tulang itu yang membuat aku selalu terjaga sepanjang malam. Walaupun sudah merangkap selimut dan jaket, tapi rasa dingin itu tetap saja seolah olah merasuk dalam tulangku. Lagi pula tidak bebas rasanya kalau harus tidur dengan pakaian setebal ini. Maka itu, pulang mungkin adalah keputusan terbaik buat aku malam ini.

Untunglah ada temanku yang juga hendak pulang dari tempat kerjanya malam itu. Kebetulan juga dia biasanya melintas di depan rumah nenek sekitar tengah malam seperti ini. Jadi aku gak perlu buat pinjam sepeda motor paman untuk pulang, cukup membonceng aja di belakang temanku itu. Badannya yang lebih tinggi dan lebih besar dari aku, bisa jadi tameng buat sedikit menetralkan dinginnya udara malam ini. Ditambah jaket tebal yang aku pinjam dari paman, dan sepeda motor yang di pacu dalam kecepatan tinggi, malam ini jadi sebuah petualangan seru buat aku.

Sepanjang jalan, udara dingin, dan kabut yang turun menambah serunya perjalanan malam ini. Di kanan kiri jalan, jarang ada lampu penerang jalan. Yang ada cuma kegelapan sempurna yang seolah membutakan mata. Jarak antar sekumpulan rumah dan rumah yang lain juga sangat jauh. Dalam perjalanan dengan kecepatan tinggi seperti ini saja, butuh waktu sekitar 3-5 menit untuk menemukan sekumpulan rumah lagi setelah melewati sekumpulan rumah yang lain. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas di kiri kanan jalan malam itu. Di tambah lebar jalan yang memadai, jadilah malam ini kami seolah sedang dalam road race malam yang menantang dan mendebarkan. Naluri lelaki yang mana yang tidak akan tertantang dalam suasana seperti ini! Adrenalin seolah mengucur seperti darah yang terus mengalir dari jantungku yang berdegup kencang.

Motor yang kami tunggangi benar benar seperti kuda besi yang menderu mendesing memecah kesunyian malam. Seperti anak panah yang melesat dari busurnya. Jalanan yang selalu berbelok belok, memaksa sesekali motor ini seperti hendak rebah ke tanah ketika kami melewati tikungan. Benar benar sebuah sensasi liar luar biasa yang seperti menyentak alam bawah sadarku untuk terus terjaga menikmati seluruh perjalanan ini. Benar benar seperti pertandingan road race yang dengan sensasi luar biasa. Dalam medan yang yang super ekstrim.

Tapi seluruh sensasi itu tiba tiba saja sirna ketika kami memasuki sebuah perkampungan penduduk. Tiba tiba saja temanku itu membelokkan motornya dengan sangat sangat mendadak. Tiba tiba saja malam yang tadinya sepi sunyi, dengan hanya suara motor inilah satu satunya yang mampu memecah kesunyian itu, jadi hingar bingar dengan puluhan orang tumpah ruah di jalan. Malam itu tiba tiba saja berwarna merah kelam. Malam itu, dinginnya entah bagaimana tiba tiba berubah jadi sangat panas, panas sekali. Malam itu, gelapnya tiba tiba sirna, tergantikan dengan dengan ribuan nyala api yang datang dalam jumlah besar!

Sebenarnya aku bingung dengan semua perubahan ini. Tapi ketika aku bisa meraih kesadaranku lagi, semua di sekitarku terlihat putih. Putih dan pucat. Dan ketika aku bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Mereka semua menangis pilu…..

***

Subuh menjelang siang ketika aku duduk merenung di musolah kecil itu seorang diri. Dalam keremangan hari yang belum juga sempurna merekah ini, aku berusaha memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Flash backingatanku, membuat aku meneskan air mata penuh penyesalan.

“tiga hari kamu gak sadarkan diri,” kata ibuku di sela sela tangisannya pagi itu. Ibu bercerita kalau malam itu aku di tolong penduduk desa yang aku lintasi ketika motor yang kami kendari tiba tiba oleng tanpa sebab. Mereka bercerita pada ibuku kalau kami beruda terseret setidaknya 20 meter lebih, sebelum sebuah pohon di pinggir jalan menghentikan laju motor kami.

“tapi kenapa?” tanyaku,

“seekor serangga kecil masuk di mata temanmu. Dia kehilangan matanya sekarang,” ibuku menangis sesenggukan. Aku tahu, dia bukan sekedar temanku, tapi dia sahabatku, sahabat dari masa kecil, dia tetangga kami, anak satu satunya dari keluarga sederhana itu.

Hatiku menangis pilu, air mataku menetes dan terus mengalir. Pilu rasanya seluruh jiwaku. Badanku seperti melayang entah kemana. Yang terbayang di pelupuk mataku, hanyalah raut wajah temanku yang sangat aku sayangi itu. Tapi hanya raut wajah penuh kesedihan, pucat dan pilu tanpa masa depan.

Aku berusaha beristighfar. Menenangkan pikiranku. Aku mengingat Tuhanku. Meminta dalam batinku dengan sangat untuk memberiku sebuah ketabahan, ketabahan buat kami semua. Ketabahan dan kebesaran hati buat temanku, buat keluarganya, buat ibuku, dan hati yang lapang untuk bisa menerima ini.

Tuhan seolah sedang berbicara pada kami semua dengan caranya sendiri. Dia seolah menegur kami dengan kesombongan kami selama ini. Dia seolah ingin berbicara pada kami kalau kami bukanlah mahluknya yang terkuat. Masih ada yang lain yang lebih kuat walaupun mereka di ciptakan tidak sesempurna kami. Serangga kecil yang masuk kedalam mata temanku itu adalah contohnya. Bagaimana dia yang gagah, tampan, dan sehat bisa berubah seketika hanya oleh serangga malam yang tidak pernah di perhitungkan di peradaban manapun itu.

Tuhan sudah berbicara pada kita bahkan lewat ciptaannya yang paling sederhana. Kita menyebut ciptaan tuhan yang setengah hidup itu ‘virus’. Mahluk yang hanya hidup dengan menumpang di kehidupan yang lain.

Tapi bisakah kita mengalahkan mahluk terkecil itu dengan ilmu yang kita miliki sekarang? Bahkan dengan tekhnologi tercanggih sekalipun, kita belum bisa benar benar terbebas dari HIV. Bahkan perlu diingat ketika kita membakar sesama kita hanya untuk menghilangkan virus ebola. Lalu di mana kekuatan dan kesombongan manusia kalau untuk mengalahkan ciptaanNYA saja tidak mampu. Lalu di manakah akal sehat kita ketika kita dengan beraninya menantang Sang Pemberi Kehidupan?

Hatiku kacau, air mataku berderai derai mengingat segala dosa yang sudah aku lakukan. Dalam sesenggukan yang mendalam, kuutarakan kenginginanku pada ibuku, “ bu, aku masih punya dua mata, bolehkah aku berbagi mata dengan dia kalau dokter bisa mengusahakannya? Aku ingin memberikan mata kananku buat dia, yang kiri, aku masih membutuhkannnya.”

Tak ada jawaban dari ibuku. Selain hanya pelukan dan raungannya yang semakin menjadi….

Hari ini, satu bulan setelah kejadian itu, aku beringsut meninggalkan musola kecil ini ketika matahari mulai beranjak meninggi. Aku siap menemui dokter ahli yang bisa memindahkan mata kananku, buat sahabatku yang baik…….


Hikmah :
  1. Kesombongan itu hanya milik Tuhan, sama sekali tidak alasan bagi kita untuk menyombongkan diri, kalau untuk mengalahkan makhluk serendah virus aja gak bisa, bagaimana kita bisa menyombongkan diri?
  2. Persahabatan itu bukan cuma di kala senang saja. Penderitaan akan jadi ujian bagi ketulusan sebuah persahabatan.
  3. Relalah berkorban, untuk siapapun, selama itu berkorban untuk kebaikan….

Jumat, 01 April 2011

ibuku dan sepotong terong

Hari ini aku sedang sakit. Dari tadi pagi aku mendekam saja di dalam kamar kosanku ini. Sampai kira kira pukul 10 lewat,  ibu kos yang baik hati itu masuk ke kamarku,

“kamu sakit di? “ tanyanya di ambang pintu kamarku.
“ya bu,“ jawabku sambil berusaha tersenyum.

“jadi gak kerja hari ini?”
“gak kerja bu, tadi saya sudah telepon ke kantor…..”
“sudah minum obat?”
Aku ragu untuk menjawab pertanyaan ini. Ragu karena aku tau, ibu kos aku ini seorang yang sangat perhatian pada anak anak kos yang tinggal disini. Aku takut kalau nanti justru merepotkan beliau.
“sudah minum obat belum…..” tanya ibu kos lagi, kali ini dengn nada lebih mendesak.
“belum bu,” jawabku.
“sudah makan?”
“belum…..” jawabku lagi  “ nanti saya mau minta tolong Anton saja beli nasi sama obat…”
“oh, ya sudah kalau begitu, ibu tinggal masak dulu ya…., kamu gak apa kan ibu tinggal?”
Aku mengangguk. Senang sekali rasanya mendapat perhatian seperti itu saat aku sedang sakit. Ya, walaupun perhatian itu hanya sekedar di tanya tentang keadaan kita. tapi setidaknya, ada orang yang perduli.


***

Siang harinya aku terbangun pukul 12.36. Ada Anton di di ranjangnya. Rupanya dia baru pulang dari kerjanya di stasiun radio.

“napa kamu, “ tanyanya. “ kata ibu kos kamu sakit ya?”


aku nyengir kuda mendengarnya. “ aku gak pulang semalem aja kamu dah sakit, gimana kalau aku tinggal dua hari…. Gagagagagagaga…..” anton tertawa terbahak bahak. Anton memang begitu, selalu saja ceria dan bisa membawa suasana menjadi menyenangkan. karena  itulah, aku betah satu kamar kos sama dia.

“Tuh di meja ada nasi, sama ikan laut, sama….., sama terong penyet…..”
Mendengar kata terong penyet, nafsu makanku langsung melonjak. Bagiamanapun, diolah seperti apapun, terong tetap jadi sayuran idolaku.


Aku berusaha bangkit dari tidurku. Anton mendekat dan memberikan sepiring nasi yang dia bicarakan tadi. Tak lupa juga dia mendekatkan segelas air putih dan sebungkus obat ke arahku.

“Dari sapa sih ini?” tanyaku.
“ibu kos,” jawab anton pendek.

Tiba tiba ada keharuan menyerbak di dadaku. Terharu aku punya ibu kos sebaik dia. Perhatian sekali walau aku bukan anak kandungnya.

“eh ton,” panggilku saat aku lihat anton bergeges pergi keluar kamar. “mau kemana kamu…”
“mau ke toilet. Napa?
“ bilangin ya sama ibu kos. Makasih dah repot repot buat aku. Jadi terharu aku….”

Tapi anton malah mengurungkan langkahnya keluar kamar. Dia menghampiri aku. Dan sungguh, kata kata yang kemudian keluar dari mulut Anton membuat otakkku berfikir lebih apa yang sejak tadi aku pikirkan,

“aku Cuma mau ngomong ya, terserah kamu mau nanggepinnya gimana. Tapi coba kamu pikirkan. Kamu di kasi perhatian sama ibu kos, di masakin makanan kesukaanmu waktu sakit, di kasi obat, kamu dah sebegitu berterimakasihnya. Sampe sampe kamu terharu sagala. Tapi coba kamu ingat. Sudah berapa kali ibu kamu melakukan ini buat kamu. Berapa kali kamu sakit selama sama ibu kamu. Dan coba ingat, lebih besar mana perhatian yang kamu dapet, dari ibumu apa dari ibu kos? Dari ibu kos mungkin cuma sewaktu waktu, tapi sadar gak kalau ibu kita sudah memperhatikan kita sepenjang hidup kita?

Yang jadi pertanyaan sebenarnya adalah, sudahkah kamu berterimakasih yang sesungguhnya sama ibu kamu……””

Dadaku berdesir, tenggorokanku terasa kering mendadak. Lalu tak terasa, ada setetes air mata kerinduan menetes tak terbendung melewati pipiku.

“ibu…., maafkan anakmu ini......aku kangen ibu…..”