Jumat, 22 Juli 2011

Cicak di Dinding : Awal Kegagalanku


Aku adalah sang juara, tak ada yang meragukan itu! Di lintasan hitam di malam yang pekat seperti ini, dari tiga tahun yang lalu, akulah rajanya. Dan belum ada yang bisa membantah dengan bukti yang nyata akan hal ini. Tidak! Tentu saja, sampai seokor cicak di langit langit kamarku yang sedang menggoda pasangannya malam itu mengubah arah hidupku seratus delapan puluh derajat tepat. Dari sang raja, sang juara, menjadi pecundang yang meninggalkan arena perang untuk selamanya. Aku meninggalkan gelanggang ini hanya dengan satu kekalahan yang sangat sangat memalukan (sekaligus membanggakan).

Untuk kalian para sahabat mudaku, kutulis ini agar menjadi ilham buat kita semua. Kisah ini terjadi sembilan tahun lalu, ketika aku beru saja lepas dari bangku SMU.

***

“ Tidak ada kebut kebutan lagi malam ini!!!” ibuku berteriak tepat di mukaku malam itu. Ayah berkacak pinggang dua meter di belakang ibuku. Wajahnya yang mengeras, tak bisa aku lawan lagi.

“ Sekarang masuk ke dalam kamar. Tidur!” ultimatum itu masih terus berlanjut. “ Ibu akan mengunci kamar kamu sampai besok pagi. Dan ingat, kalau kamu gak mau juga berubah dari kebiasaanmu ini, setiap malam kamu akan tidur dengan kamar terkunci dari luar…!!!”

“ Bu, aku…..” aku mencoba membela diriku, tapi satu suara keras dari ibuku, menutup mulutku lagi sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun juga.

“ Tidak ada pembelaan diri malam ini. Kita akan membicarakannya besok pagi, dengan kepala dingin….” Suara ibu masih saja meninggi. Tapi tak pernah aku sadari, bahwa itulah suara ibu yang terakhir aku dengar.

“ Tapi bu…..”

“ Arif…. !” itu suara ayah, pelan, datar, tapi penuh tenaga dan wibawa. Suara yang belum pernah aku bantah selama ini. Bukan karena aku takut pada ayahku. Tapi lebih dari itu, sikap ayah yang tegas dengan sedikit kata katalah yang membuat jiwaku tunduk setunduk tunduknya pada setiap perkataannya. Dan janjinya untuk memblokir seluruh fasilitas yang di berikannya tadi siang kalau aku gak bisa bersikap baik di depan mereka aku sadari betul bukanlah janji yang sekedar diucapkan saja. Ayah selalu melakukan apa yang beliau ucapkan.

“ Arif, masuk kamar kamu sekarang. Besok kita akan bicara hal ini setelah sarapan.” Kata ayah.

Aku menghela nafas berat. Tidak ada celah aku rasa untuk malam ini. Aku berusaha menurunkan egoku sambil berfikir keras bagaimana caranya aku bisa keluar malam ini tanpa harus ayah dan ibuku tahu. Aku dalah sang juara. Dan aku tidak akan terkalahkan oleh siapapun hanya dengan alasan bodoh seperti ini. Aku harus hadir  di sana. Harus!

***

Aku menghempaskan badan di kasur kingsize-ku begitu pintu di kunci dari luar. Otakku berputar putar memikirkan rencana apa dan bagaimana caranya aku bisa keluar dari kamar ini.

Hal pertama yang aku pikirkan adalah menghubungi teman temanku di luar sana. Setidaknya aku harus mengulur waktu agar aku bisa berfikir cara untuk bisa keluar.

“ Dua jam lagi, “ janjiku pada mereka. Dan sukurlah mereka setuju pertandingan malam ini diundur dua jam.

Tapi apa yang harus aku lakukan selama dua jam waktu yang tesisa ini. Aku berputar putar didalam kamar. Mencari setiap celah dan kemungkinan yang bisa aku lakukan untuk kabur. Jendela bukanlah jalan yang bisa diandalkan. Walaupun aku bisa membuka daun jendelanya, tapi aku tidak mungkin bisa untuk menjebol teralis besi yang terpasang kokoh di bagian dalamnya.

Sh***t……!!!

Aku mengumpat dalam perasaanku yang bercampur baur. Benci, gelisah, marah, dengan adrenalin jiwa mudaku yang terus membuncah. Tangan ini rasanya gatal untuk mencenkram pedal gas dalam dalam. Badan ini rasanya meriang tak karuan. Hanya angin malam yang dingin yang bisa membuat jiwaku tenang malam ini. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana…….

Aku terus berpikir, terus berputar putar. Melolong dan mengiba agar diizinkan keluar malam ini pada ayah dan ibuku sungguh adalah hal bodoh yang bisa aku lakukan. Tapi itu tidak mungkin. Mereka tidak akan bergeming dari keputusannya.

Telapak tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin saat waktu menunjukkan pukul 23.16 menit, itu artinya, hanya ada 44 menit sebelum pertandingan dimulai. Ini adalah pertandingan penentuan bagiku. Seorang jagoan lapangan trek dari kota lawan datang malam  ini untuk menentukan aku atau dia yang benar benar pantas untuk menyandang gelar sang raja, sang juara!.

Kuhempaskan sekali lagi badanku ke atas ranjangku. Pukul 23.21 ketika itu, dan pikiranku makin buntu, makin mustahil rasanya aku bisa kabur. Kupejamkan mataku, tapi pikiranku tetap buntu. Tatap tidak ada jalam keluar. Jiwaku mendidih rasanya, badanku panas dan dingin secara bersamaan. Tak terasa, ada setetes air mata yang menggenangi sudut sudut mataku.

Hah…..!!!

Apa ini? Mana ada sang juara sepertiku menangis! Memalukan sekali. Perlahan kubuka mataku. Dengan napas yang berdengus, kucengkram sprai yang menutupi kasurku ini, ingin rasanya kulampiaskan seluruh kemarahanku malam ini.

Ck… ck… ck ck ck … ck…. Dua ekor cicak melinta di dinding tak jauh dari tempatku berbaring.

Buset, dua ekor cicak itu sepeti mengejekku. Mereka berlari lari riang berkejar kejaran di tembok kamarku. Tidakkah mereka tahu kalau aku lagi dalam keadaan kacau balau sepeti ini?

Kuraih penggaris besiku di meja belajarku. Plak..!! plak… !!! kuhajar mereka. Tapi keduanya lincah benar. Mereka bisa lolos dari setiap pukulanku. Plak…!! Plak…!!! Mereka terus berlari di sepanjang dinding berusaha meloloskan diri dari pukulan pukulan penggaris besiku.

Cicak cicak itu terus berlari keatas, dan…..

Twing…!!!

Mereka menghilang di balik lubang langit langit kamarku. Dan bersamaan dengan itu pula muncul ide cemerlangku. Mengapa aku melupakan lubang buatan di langit langit kamar itu. Bukankah aku bisa kabur dari sana?

Sedetik kemudian, seluruh kekesalanku tiba tiba sirna. Berganti harapan dan kegembiraan yang amat sangat. Terimakasih cicak cicak yang budiman. Suatu hari nanti, aku pasti membalas kebaikan kalian…..

***

Tepat tiga menit sebelum petandingan dimulai aku sudah tiba di arena. Wajah tengang teman teman satu geng motorku perlahan mengendur waktu mereka melihat kedatanganku. Tanpa banyak bicara, aku mempersiapkan diri di atas sepeda motorku. Sepeda motor ini sengaja aku titipkan di rumah salah satu temanku. Buat jaga jaga kalau kalau aku gak bisa bawa motor ini langsung dari rumah. Dan sukurlah, malam ini terbukti analisaku itu tepat.

Lawanku kali ini rupanya bukan orang sembarangan. Dari penampilan dan gayabicaranya, aku bisa menebak orang ini kira kira berusia 5-6 tahun lebih tua dari aku. Kalau aku sekarang berusia dua puluh tahun, berarti dia berusia setidaknya 25 tahun.

Usia yang cukup matang untuk berdiri di arena trek malam ini. Cukup berpengalaman tentunya. Menyadari kenyataan seperti itu sempat membuatku merasa down beberapa saat. Tapi naluri mudaku berbicara lain. Naluri keegoanku terus menyiramkan racun adrenalin kedalam darahku. Membuat semangat yang sempat meredup itu timbul kembali.

“ Perlintasan malam ini panjangnya lima ratus meter” kata salah seorang diantara kami. “ Tidak boleh menyalaka lampu, tidak boleh menyenggol motor lawan. Ok, kalau sudah siap sekarang hitung mundur dimulai, 4……. 3 …….. 2 …….. 1……… GOOOOOOO……..!!!!”

Motorku dan motornya berderum keras. Sesaat kemudian, aku sudah berada di atas angin rasanya. Tuhuhku serasa terbang bersama laju motor yang aku kendarai ini. Ada perasaan senang, ada perasaan puas, ada jiwa yang serasa terpuaskan. Ada debaran di jantungku, ada adrenalin yang berpacu di aliaran darahku. Aku sangat, sangat menikmati saat saat seperti ini.

Lampu jalanan yang mati setelah ditimpuki teman temanku, lampu motor yang tidak menyala. Ditambah awan gelap yang menutupi gugusan bintang gemintang dan bulan semakin membuat suasana malam ini semakin sempurna. Kegelapan yang sempurna. Tidak pekat benar sebenarnya. Tapi cukup untuk membuat sensasi perlombaan malam ini tak terjabarkan.

Tapi malam ini, rupanya takdir berkata lain padaku.  Saat sedang melaju dengan kecepatan diatas angin, tepat beberapa meter setelah belokan pertama yang mengarah ke pusat industri di kota ini, tiba tiba sebuah raungan panjang di sertai cahaya yang membutakan mata menyambut kami. Aku mendengar pekikan, ada suara keras logam beradu di jalanan. Tapi aku cepat menyadari itu. Aku sadar ada sebuah truk proyek berukuran raksasa yang mejaju lambat di depan kami. Cepat cepat aku banting stir kearah kanan. Arah motorku tak lagi bisa di kendalikan, terus merengsek dengan laju yang sempoyongan. Aku masih sempat melihat pembatas jalan itu sebelum benturan keras antara pembatas jalan dan motorku terjadi. Tapi entah bagaimana tepatnya. Tiba tiba saja, aku sudah merasa tubuhku melayang bebas di udara tanpa beban. Dan sesaat kemudian, semuanya jadi gelap yang sempurna……

***

Hari ini adalah hari ke tujuh setelah kejadian di malam itu. Semua yang ada, yang bisa di ketahui dan diingat tiba tiba jadi begitu pahitnya. Bukan hanya kematian lawan balapan motor liarku yang membuat hatiku miris. Tapi lebih dari itu, dua hari yang lalu, ketika aku terbangun dari komaku selama lima hari, sebuah berita duka yang mendalam yang tak pernah aku kira menghujam telingaku. Ibuku meninggal! Ibuku meninggal akibat serangan jantung mendengar kecelakaan yang aku alami……

Tuhan, andaikan aku engkau perbolehkan untuk kembali ke malam itu, aku ingin meminta padamu : jangan pernah Engkau kirimkan dua ekor cicak itu padaku. Biarlah saja aku tidak menyadari keberadaan lubang di langit langit kamarku. Tuhan, hari ini aku menyadari, bahwa aku kalah, aku lemah, aku gagal. Aku gagal mengukuhkan diriku sebagai sang juara di arena balap liar. Aku gagal menjadi raja jalanan seperti impianku. Tapi di balik semua kegagalanku kali ini, ada hikmah besar yang bisa aku ambil. Tuhan, aku sedih, tapi terima kasih sudah memberiku gagalan dan kesedihan ini…….

di posting pertama kali di http://laranta.blogspot.com/2011/02/aku-adalah-sang-juara-tak-ada-yang.html

READ MORE - Cicak di Dinding : Awal Kegagalanku

Baca juga yang ini