Jumat, 25 November 2011

Blue Corner

 
Layar facebookku berkedip kedip biru, lalu muncul angka kecil dalam lingkarang merah yang terus bertambah naik nilainya. Tapi aku diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard.

Blue Corner? 

Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue Corner malam ini?

***

Sebenarnya aku masih belum begitu percaya ini. Blue Corner? Benarkah? Ataukah aku salah baca? Apakah Dien tadi menuliskan blur corner? Sudut blur? Bukan sudut biru? Benarkah? Aku tak yakin. Begitu banyak yang terjadi, begitu banyak pertanyaan dalam otakkku sekarang. Aku merasakan sensasi yang benar benar membingungkan malam ini. bahagia, tentu, aku merasakannya. Tapi bahagia di balik debaran yang halus dan teramat menyiksa. Kalau nanti Kiran tahu, apa kata dia? Sungguh aku tak mau makin terpuruk di hadapannya. Kiran, bagaimanapun dia adalah putriku, anak yang sangat kusayangi. Hasil pernikahan dan buah cintaku bersama ji, suamiku.

Ji, …

Ji, maafkan aku. Malam ini aku mengigatnya lagi. Ya.., ji, dan setiap kali aku mengingatnya,  air mataku tumpah. Seperti juga saat ini. ketika aku menunggu taksi datang untuk menghadiri undangan, atau tepatnya, kencan pertamaku dengan Dien.

Waktu aku masih muda dulu, saat aku masih bunga desa yang lugu, yang mekar bersama teman teman di desaku, Ji mungkin bukan lelaki pertama yang aku kenal dan mampu menarik perhatianku. Sebelum ji, aku sudah pernah mencintai seorang yang lain secara serius. Aku pernah suka pada beberapa orang yang hadir sebelum ji hadir. Dan aku kira itu manusiawi bukan? Manusiawi kalau sebagai wanita yang normal, aku jatuh hati pada sosok seorang lelaki. Aku kira, hampir setiap orang yang tercipta kedunia ini, pasti pernah mengalami apa yang aku alami dalam hidupnya. Mencinta lebih dari satu orang!

Tapi cuma ji yang mampu membuktikan kalau cintaku ini berharga dan patut di balas dengan cinta yang indah pula. Maka itu, ji mengikatku dalam pernikahan. Membawaku ke istananya yang penuh dengan warna. Ji menjadikan aku wanita yang bangga telah menjadi ibu dari anak anaknya yang lucu. Ibu bagi Kinan dan Kiran. 

Ji mampu membawa keluarga kami menjadi keluarga yang indah. Walau kami hidup dalam kesederhanaan, tapi kami bahagia. Walaupun kami bukan keluarga yang bergelimang harta, tapi setidaknya, hidup kami berkucukupan. Ji, bukan pilihan yang salah untuk aku jadikan sebagai seorang suami. Ji rajin dalam bekerja, ulet dalam usahanya. Dia di senangi oleh teman temannya dipasar. 

Ji terkenal sebagai orang yang menyenangkan dalam lingkungan tetangga kami. Dan ji, sangat menyayangi aku, Kinan dan Kiran. Itu semua, cukup Kiranya bagiku sebagai alasan mengapa aku harus mencintainya, dan menghormatinya sebagai kepala keluarga kami. 

Bertahun tahun suasana itu terus terjalin. Aku, ji, Kinan dan si bungsu Kiran hidup sebagai keluarga yang saling melengkapi. Anak anak kami tumbuh dengan penuh kasih sayang. Semua perhatian yang berusaha aku dan ji berikan tidak membuat mereka merasa kehilangan masa kecilnya. Kami mendidiknya dengan keras sesekali, agar mereka tegar menghadapi gelombang kehidupan ini. 

Tapi, setenang tenangnya lautan, pasti ada juga badai yang datang untuk menguji kapal yang berlayar di atasnya. Seperti rumah tangga kami. Bukan juga tanpa masalah. Tapi kadang, masalah yang kecil, datang menerpa kehidupan kami. Pertengkaran pertengkaran kecil yang kemudian terjadi seiring usia pernikahan kami, mulanya bisa kami selesaikan dengan baik. Tanpa harus ada yang merasa melukai dan terlukai. Tapi semakin lama biduk rumah tangga ini kami lalui, semakin besar pula masalah yang harus kami hadapi, semakin beragam corak dan caranya datang.

Kadang hatiku goyah saat itu, kadang aku seperti kehilangan pegangan dan arah tujuan hidupku. Tapi dalam keadaan seperti itu, ji selalu ada buat aku. Ji selalu ada untuk menggenggam erat tanganku, menuntunku dalam setiap ketidak pastian yang aku rasakan. Ji selalu mampu menghapuskan segala setiap coretan hitam dalam jiwaku akibat goresan gelombang kehidupan itu. Ji selalu ada, untuk memberikan bahunya yang kekar saat aku menangis, memberikan dadanya yang bidang untuk tempatku bersandar kala duka, membuka tangannya lebar lebar untuk mendekapku bila aku kehilangan diriku sendiri. Ji, semakin lama, dia semakin membuatku yakin aku tidak pernah salah telah memilihnya dulu.

Bahagia dan sempurna, merupakan kata kata yang paling tepat untuk menggambaran keadaan keluarga kami saat itu. Tapi, seperti firman Tuhan, ketika sesuatu terlihat begitu sempurna, maka tunggulah ketidak sempurnaanya menampakkan diri. Dan hal inilah yang kemudian menjadi beban pikiranku..

“dinda, kenapa pagi ini dinda kelihatan lesu?” pagi itu ji bertanya padaku. Rupanya keresahan ini, terbaca olehnya di raut wajahku. Hatiku tersentuh. Begitu besarnya tautan hati kami. Jantungku berdegup lebih kencang.

“abang, kenapa bertanya seperti itu?” tanyaku mengalihkan perhatiannya. 

“itu, dinda kelihatan lesu, apa yang dinda pikirkan..”

Aku tersenyum, berusaha semanis  yang aku bisa. “mungkin aku capek aja bang, kerjaan kemaren numpuk, …” kilahku.

Ji tersenyum. Manis sekali, begitu menyejukkan jiwaku. Ji mendekat, meraih kepalaku, lalu mengecup lembut keningku, melambungkan jiwaku ketempat paling sahdu yang pernah manusia rasakan.

“dinda, kalau capek, istirahatlah, nanti abang bantuin kerjaanya…”

“kerjaan abang sendiri sudah banyak bang, rumah tangga masih bisa dinda kerjakan kok …. “

Pagi itu pembicaraan kami berlanjut. Tak seperti biasanya, ji pagi itu kelihatan tidak terburu buru berangkat kepasar mengurusi dagangannya. Dia seperti hendak berlama lama denganku. Pagi itu kami bicara banyak hal, lebih banyak dari yang biasanya kami bicarakan, lebih serius juga rasanya.

“juga tentang Kiran dinda, ingin rasanya aku Kiran itu cepet cepet nikah din. Setidaknya, sekarang ini umurku masih ada….”

“bang ji…” sergahku “ kenapa abang bicara seperti itu bang ….”

“ hidup manusia siapa yang tau dinda, abang bisa pergi kapan saja, bisa sekarang bisa besok atau ….”

“bang ji….! Abang ini ngomong apa sih bang, abang ini masih sehat, gak pantas ngomong seperti itu bang….”

“sekarang ini musimnya orang mati mendadak din…”

“musim? Emang mangga ada musimnya….”

Ji tertawa terkekeh…., aku merasakan wajahku merona sebentar…

“nah itulah din, sebelum tiba waktu abang, abang ingin sekali melihat Kiran menikah …” entah kenapa, mendengar kalimat itu di tuturkan ji, ada sebersit rasa perih yang menjalar di hatiku. Sebentar, sedikit, tapi perih sekali. Tiba tiba saja, selintas, bayangan hidup sendiri tanpa sosok ji di dekatku melintas cepat dan kuat. Menekan jiwaku. “menikahkannya di depan para undangan, melihat calon menantuku seperti apa, h,mmmmm….. “ kali ini ji seperti orang yang sedang menerawang, seolah memandang menembus masa depan “gagahkah? Gantengkah? Kayakah? Atau dari orang yang biasa saja …..”

Aku terdiam. Tak bisa menjawab apa yang ji lontarkan. Pertanyaan itu, telah lama pula muncul dalam benakku. Tapi aku simpan dalam dalam. Mungkin setiap ibu yang memiliki anak perempuan akan bertanya hal yang sama denganku “ tapi apapun pekerjaannya, siapapun dia, semoga dia bisa jadi yang terbaik buat Kiran, buat aku, juga buat dinda, …..”

***

Pagi itu ji berangkat setelah sekali lagi mencium keningku. 

Aku kemudian kembali tenggelam dalam kesibukannku di rumah. Menyapu, ngepel, memasak, sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga. Termasuk baju Kinan dan Kiran, karena kedua anakku itu, sudah mampu mandiri saat itu, mereka bedua sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Walaupun terkadang mereka ngotot untuk mencuci baju mereka sendiri.

Saat seluruh pekerjaanku rampung, seorang tetanggaku yang juga bekerja di pasar, datang mengetuk pintu.
“lo, tumben jam segini kamu ke sini. Gak jualan?” tanyaku. wajahnya memerah, seperti sedang terburu buru dan gelisah sekali. Aku kira, dia sedang kepanasan terpanggang matahari dalam pejalanan dari pasar ke sini.

“emmm, …” dia seperti kehabisan kata kata untuk berbicara, atau berusha merangkai kata yang paling cocok untuk diucapkan. “ ini…. ini….”

“kamu ini kenapa, aku ambilkan air dulu ya, kamu minum dulu ya, … kepanasan rupanya kamu ..”

“ gak.. gak usah …., ini tentang bang… bang ji…”

Mendengar nama suamiku di sebut, mendadak seperti ada yang menyentak di otakku. Aku menengang.

“bang ji? Ada apa dengan bang ji? ….” Tanyaku tak sabar.

“em.. ikut saja aku kepasar ya, bang ji sedang butuh bantuan…”

“ada apa dengan bang ji..” tiba tiba saja aku histeris, seperti sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Jantungku berdegup kencang sepanjang jalan. Berbagai pertanyaan dan terkaan timbul dan tenggelam dalam otakku.

Aku berhambur turun dari sepeda motor dan terus berlari kearah tempat bang ji berjualan begitu tiba di sana. Ada ambulan, banyak orang berkerumun, ada yang menangis, berdesas desus, wajah mereka menegang. Saat aku sudah dalam hitungan langkah, seorang ibu yang aku kenal berjualan di sebelah  ji, berhambur memelukku. Aku kaget. Kaget sekali. Aku menyeruak di antara kerumunan orng orang. Dan saat aku melihat apa yang terjadi, aku berteriak histeris, berhambur kearah tubuh  ji, memeluknya, memanggilnya, lalu suara orang berseru seru, gaduh, dan setelah itu, semua menjadi gelap. Gelap sekali.

***

Hari itu ji pergi untuk selamanya.

“serangan jantung bu, jantung ji berhenti berdetak mendadak” jelas dokter yang memfisumnya saat itu.
Sejak saat itu rasanya duniaku berhenti untuk berputar. Aku kehilangan arah. Sungguh!

Aku seperti hidup dalam kegelapan.  ji pergi menginggalkanku, meninggalkan Kinan, meninggalkan Kiran, menginggalkan keluarga bahagia kami. ji pergi meninggalkan segala impiannya…

“mana janjimu untuk menikahkan Kiran bang…. “ aku meradang, berhari hari lamanya.. “Kiran belum menikah bang, dia putrimu satu satunya bang…., sekarang siapa yang akan menjadi wali nikahnya.. siapa bang… bangun bang, bangun…. Jangan tinggalkan aku bang, jangan tinggalkan Kiran…, “

Aku seperti orang yang kehilangan segala kewarasanku. Aku lebur dalam dunia yang penuh dengan kegelapan. Aku tidak pernah berfikir dan masih belum pernah siap untuk menghadapi keadaan seburuk ini. aku pergi meninggalkan Tuhanku. Aku memprotesnya, meninggalkanNya karena Dia sudah meninggalkan aku, Dia sudah mengambil  ji dari aku. Meninggalkan aku dalam kegelapan yang tanpa batas. Aku meradang, untuk sekali lagi dan lagi…

Pada saat saat seperti itu, yang ada hanyalah pelukan dari Kiran. Dia memelukku dalam pelukan hangatnya. Kiran, putriku yang cantik itu, begitu pandai menenangkan aku. Dia sungguh pandai mengubah setiap kata, mengolahnya seolah seperti seorang koki handal yang mengubah tepung menjadi roti yang siap mengusap setiap rasa laparku. Mengisi jiwaku dengan anggur yang terbaik yang pernah ada.

Juga Kinan, putra sulungku itu. Dia sering mengganggam tanganku dalam genggamanya yang hangat. Menyalurkan ribuan semangat untuk jiwaku yang sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup. Dialah yang menyuapkan suap demi suap nasi ketika aku tidak lagi tahu bagaimana caranya menggenggam sendok. Kinan dan Kiran, mereka selalu ada untukku kapan saja, bahkan di saat aku dalam keadaan yang paling terpuruk sekalipun. Aku bangga memiliki mereka sebagai darah dagingku.

Waktu berlalu dengan cepat dan lambat sekaligus. Aku pernah hilang diantara bilangan waktu. Aku seperti orang yang tidak lagi berjalan bersama jalannya waktu. Aku hampa, aku kosong, jiwaku tak sini. Dia sesekali pergi meninggalkanku untuk menemui ji di alam imajinasi. Palsu dan tidak pernah nyata. Yang membuatku, pada saat seperti itu, semakin terpuruk dalam keputusasaan dan kehampaan.

Semua seperti tak nyata. Seperti mayanya dunia yang kemudian aku kenal. Dunia tak nyata yang bernama facebook.

Ya, facebook, perkenalanku dengannya, mengubah setidaknya sebagian dari hidupku. Sebagian dari jiwaku, mengembalikannya pada nostalgia masa mudaku. Aku, di buatnya seperti masih seorang gadis yang belia. Yang mendambakan seorang pemuda yang akan mempersuntingku. Membuat aku seperti remaja putri yang selalu merasa pantas untuk di cintai dan di perebutkan.

***

Satu tahun sudah ji meninggalkanku. Dan tepat di satu tahun kepergian ji, Kiran melangsungkan pernikahannya. Ya…, akhirnya Kiran menikah juga.

Hari ini perasaanku kembali teraduk. Antara bahagia dan kesedihan yang mendalam. Aku bahagia akhirnya Kiran mendapatkan jodohnya. Menjalin jalinan suci dalam ikatan rumah tangga. Aku berdoa di malam pernikahan mereka, agar mereka bisa bahagia selamanya, bersama selamanya, bisa saling mengisi dalam suka dan duka. Seperti aku dan ji dulu.

Ji, hari ini, dipernikahan Kiran, aku mengingatmu kembali. Dan setiap mengigatmu, air mataku selalu jatuh tak bisa aku tahan. Dan itulah ji, karena itulah aku bersedih. Aku sedih karena dirimu ji. Karena ketidak adaanmu di sini ji, Karena di saat seperti  ini, kamu tak ada di sini ji. Ji, bukankah dulu kau berjanji untuk menikahkah Kiran, menjadi wali di hari pernikahannya? Ji, hari ini Kiran menikah ji, dengan seorang pemuda yang sesuai keinginanmu. Dia mungkin tidak terlalu tampan ji, tapi aku yakin dia adalah orang terbaik yang disiapkan Tuhan untuk Kiran, putri kita tercinta.

Ji, aku bahagia hari ini, tapi rasa sakit akan kehilangan dirimu membuat rasa itu seperti tak pernah lengkap. Tak pernah seperti yang aku inginkan ji. 

Semua kini hanya bisa aku tuangkan lewat dunia maya, dunia yang mereka sebut “Facebook” atau FB, bergitu mereka menyebutnya. Perlahan namun pasti, Fb mulai merasuki kehidupannku. Segala gundahku, segala curhatku, segala benci dan senangku, aku tumpahkan disana. Di hadapan ratusan teman dunia mayaku.

Perlahan, Fb memberiku tempat yang berbeda, tempat yang nyaman, yang aku butuhkan, yang bisa mengerti  aku sepenuhnya. Aku temukan persahabatan di sana, aku temukan canda, aku temukan tempat mencurahkan segala isi hati. Tapi tetap ji, aku tidak pernah menemukanmu di sana.

Ji, aku rindu ……

***

Sebuah taksi berwarna biru langit berhenti tepat di depan rumah ini. Aku beringsut, menyeka air mata, lalu bergegas pergi keluar halaman. 

Sopir taksi itu menanyakan apakah aku yang menelepon taksi tadi?

“Ya pak, ke restoran Blue Safir ya.” 

Sopir taksi itu mengiyakan perkataanku, membukakan pintu dan tersenyum semanis mungkin. Hanya saja mungkin dia tidak bisa menyembunyikan mimik penasaran di wajahnya. Aneh, itu mungkin kesannya terhadapku. Baru kali ini mungkin ada orang yang akan berangkat ke restoran Blue Safir dengan mata yang sembab.

Aku duduk di bangku belakang, dingin dan sendiri. PiKiranku masih di penuhi tanda tanya. Blue Corner di Blue Safir setahuku adalah tempat luar biasa. Tempat itu hanya bisa di pesan oleh orang orang yang berkantong tebal. Untuk pesan tempat itu saja, butuh uang senilai hampir lebih dari satu bulan gajiku. Itu belum untuk pesan makanan dan fasilitas tambahan lainnya. Kabarnya, Blue Corner itu adalah sebuah ruangan dengan view terbaik di kota ini. Bertempat di lantai 16 sebuah gedung bertingkat dengan pemandangan yang terbuka ke salah satu sudut kota yang menhadap ke laut. Tempat paling “hangat” dan paling romantis. Tempat ini biasanya di pakai untuk pertemuan keluarga, perjamuan tamu tamu penting atau sejenisnya.

Dan sekarang Dien mengundangku ke sana. Udangan yang terlalu istimewa untuk orang yang baru benar benar pertama kali ditemui. Dien, siapkah kamu yang sebenarnya?

Dien mulanya hanya sebuah nama diantara begitu banyak nama teman teman dunia mayaku di facebook. Aku tidak begitu ingat bagaimana kami berteman awalnya, entah aku yang add atau sebaliknya dia yang add  aku duluan. Aku sudah lupa. 

Tapi seiring berjalannya waktu, sosok Dien secara perlahan, menjadi sosok yang begitu menyita perhatianku. Dia begitu sopan, hangat, dan terkesan sangat berpendiidikan. Dien, secara garis besarnya, mampu membuat aku merasa nyaman berada di antara orang orang yang tidak aku kenal di dunia maya itu.
Tapi, tidak bisa aku pungkiri, kalau gara gara Dien jugalah aku harus meninggalkan Kiran dan Kinan. Meninggalkan kampung halamanku, bahkan meninggalkan tanah air di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. 
Ya…., semua itu gara gara Dien.

Gara gara dia aku terusir. Disingkirkan oleh anakku sendiri. Dinista oleh keluarga besar yang seharusnya menjaga aku yang sudah renta ini. Dien, semua ini gara gara dirimu…..

Semua berawal dari ketika aku mulai kehilangan kendali dan tidak bisa lagi mengatur waktuku untuk berselancar di dunia maya. Setiap hari, aku duduk didepan computer, menenteng laptop Kiran atau Kinan, online  lewat handphorne. Hanya untuk membuka satu  halaman : Facebook! Sekedar Cuma buat update status, chatting,  atau membalas dan komentar komentar teman teman dunia mayaku. Dan Dien adalah salah satunya. 

Mulanya Kinan dan Kiran serta keluarga besar menganggap itu masih dalam batasan yang wajar. Wajar kalau aku membutuhkan pelarian untuk bisa melupakan ji, atau setidaknya, meringankan beban piKiranku saat aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai. 

Mulanya, semua berjalan apa adanya, mengalir bagai air di mata air, mengalir dengan tenang dan terkendali. Aku online,  tapi masih tidak melupakan siapa diriku sebenarnya, masih bisa untuk melakukan pekerjaan pekerjaan lain yang harus aku lakukan. Aku masih bisa mencuci, bisa memasak, membantu membersihkan rumah walau sekarang sudah ada pembantu yang melakukan semua pekerjaan itu.

Kehidupan ekonomi kami sekarng membaik. Kinan sudah bekerja dan berpenghasilan tetap. Begitu juga dengan Kiran, walaupun dia tidak memiliki pekerjaan, tapi suaminya perlahan namun pasti mulai menduduki jabatan penting di tempatnya bekerja.

Dari sana juga awalnya. Kecemburuan kecemburuan sosial itu mulai terjadi. Gesekan orang orang yang sirik terhadap kehidupanku mulai lambat laun aku rasakan.

Semua berawal dari hal sederhana, dari gunjingan gunjingan tetangga yang tidak suka melihat orang lain merambah sukses. Mereka berargumen tanpa bukti. Mulai dari saat saat belanja di peracangan yang tiap hari lewat di jalan di depan rumah sampai pada arian RT/RW. Bahkan sampai akhirnya seluruh isi pasar juga tau apa yang terjadi menurut versi mereka.

Maka mulailah aku malu. Mulaiah tidak ada tempat buat aku untuk membela diri lagi. Aku tersudut sebagai seorang tua yang beranak dua tapi tidak pernah becus untuk mengurusi kedua anaknya. Maka mulailah aku di kenal sebagai orang tua yang tak tahu diri, yang menumpang di rumah anaknya tapi gak bisa berbuat apa apa buat membalasnya. Maka mulailah aku di kenal sebagai orang yang di pertanyakan kewarasannya karena telah sering mereka melihatku tertawa sendiri di depan rumah dengan handphone atau laptop di pangkuanku. Tidakkah mereka tahu apa itu dunia maya? Tidakkah mereka tahu apa itu facebook? Apa itu chatting? Aku pikir mereka terlalu naïf!

“mereka sudah besar, sudah bisa mengurus diri mereka sendiri” kilahku suatu hari. Tapi mereka tidak mau mendengar. Seolah mereka sudah buta dan tuli. Hanya hati mereka yang penuh dengan prasangka. Penuh dengan iri dan kebencian mendalam akan diriku.

“seharusnya dia sadar..” bisik mereka satu hari di sebuah kenduri. Bahkan mereka sudah tidak perduli kalau aku ada di belakang mereka dan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“ya, tidak tahu malu” yang satu lagi menimpali.

“sudah enak jadi orang kaya, tapi gak tau bagaimana berterimakasih”

“kasian anak anaknya, Kinan itu, kerja banting tulang siang malam, itu buat siapa coba. Kinan kan belum punya istri..”

“yang lebih kasian lagi itu sebenarnya suaminya si Kiran, masak di porotin gitu? Katanya sih, kalau minta minta gak diturutin, bisa bisa panas tuh isi rumah berhari hari…”

Dan gunjingan itu terus berlanjut. Dari satu orang keorang yang lain, dari satu rumah kerumah yang lain, hingga suatu hari, semua gunjingan itu, sampai juga ke telinga besanku. Ke rumah orang mertua Kiran yang tenang.

Aku tak berharap banyak mulanya. Cuma aku tahu, kalau mereka itu adalah orang berpendidikan dan terpandang. Setahuku, orang orang seperti itu tidak akan menanggapi gossip gossip murahan yang di hembuskan orang orang yang gak jelas seperti mereka.

Tapi ternyata aku salah. Aku salah….

Ternyata kehidupan tidak memihak kepadaku. Aku mulai terasing bahkan dalam keluargaku sendiri. Aku makin merasa tidak menemukan siapapun untuk berbagi di dunia ini. Bahkan aku mulai merasa kehilangan menantuku satu satunya, kehilangan Kinan kemudian, lalu Kiran! Ya aku kehilangan Kiran kemudian. Aku menangis, aku sedih, aku sendiri. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan…

Aku begitu terpuruk, aku begitu merasa lemah. Dan saat itulah, aku melihat kalau kematian itu mungkin lebih indah dari pada hidup yang aku jalani sekarang ini.

Tapi Dien datang menawarkan kesejukan bagiku. Dia datang dengan tangannya yangterbuka. Siap menyambutku dalam hangatnya persahabatan. Ya…, walau itu hanya lewat dunia maya.

Dien,

***

Aku menyeka air mataku. Ingatanku membawaku pada memori terberat dalam hidupku. Kenangan di mana aku terusir dari rumahku sendiri. Terusir dari tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar hidupku. Tempat dimana aku merajut kenangan kenangan indah berasama ji, bersama Kinan dan Kiran. Memori saat Kiran, anakku itu, yang aku cintai, mengusirku dari rumahnya sendiri, dari rumah yang aku berikan padanya atas dasar dia malu punya ibu seperti aku…

Ya, akhirnya,…

Akhrinya aku tahu kalau selama  ini Kiran telah malu punya ibu semacam aku. Ibu yang tidak berguna, ibu yang dipergunjingkan oleh tetangganya. Seorang ibu yang di pandang hina bahkan oleh keluarga mertua dari Kiran sendiri. Aku ibu yang benar benar memalukan di depan matanya.

Malam itu Kinan dan Kiran bertengkar hebat di depan kamarku. Mereka bersama menantuku berdebat panjang tentang aku. Membisikkan argument argument mereka satu sama lainnya. Mereka bertenkar berbisik. Tapi dengan bisikan yang keras, bisikan yang memekakkan telingaku. Bisikan yang  lebih kejam di telingaku dari dengungan seribu lebah beracun.

Tapi ibu tidak tuli, Kinan, ibu tidak tuli Kiran. Ibu tidak tidur,

Ibu mendengar apa yang kalian bicarakan malam itu. Ibu tahu semua itu. Maka jangan salahkan ibu bila ibu pergi di pagi buta itu. Di saat kalian masih tertidur pulas bersama mimpi mimpi indah kalian. Ibu pergi anak anakku, karena ibu tidak lagi ingin menjadi beban di kehidupan kalian. Ibu pergi, atas undangan seseorang.  Seseorang yang selama ini mampu menengkan hati ibu saat hati ini gundah.

Dia adalah Dien, 

Ya, Dienlah yang mendukung kepergianku malam itu. Hanya handphone dan beberapa potong pakaian yang aku bawa serta. Tidak ada yang lain. Di hatiku, aku hanya membawa galau. Galau sekali : meninggalkan anakku dan menyambut uluran tangan dari seorang yang belum kenal sepenuhnya. Aku pergi hanya bergantung pada sebuah janji. Janji Dien untuk membuat aku bahagia, menjadikan aku permata di hatinya. Memberiku kehangatan yang hilang dari hidupku. Kehangatan yang hilang bersama perginya Ji, hilangnya Kinan dan Kiran, kehangatan yang pergi bersama arus air yang berputar di kepalaku. Aku kalut,
Tapi sungguh aku seperti tidak memiliki pilihan lagi. Kalau kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan? Di saat kalian di kucilkan, di musuhi, di anggap hina, terusir dari kehangatan sebuah keluarga, lalu apa yang akan kalian lakukan? Sedang di sana, di seberang negeri sana, ada orang lain yang mengulurkan tangannya dengan indah untuk menerimamu? Aku juga masih seorang manusia, manusia yang membutuhkan kehangatan dalam hidupnya.

>  malam ini, menginaplah di hotel, besok pagi aku transer semua biaya yang kamu butuhkan.
Itu sms dari Dien, malam itu, ketika aku terisak pergi di tengah gelapnya malam.

>  besok pagi, akan ada orangku menemui kamu, menguruskan semua kebutuhan kamu, dalam waktu dekat, kamu akan terbang ke sini. Aku akan menunggumu,

Aku terisak dalam dalam malam itu, ada desiran hangat di dalam dadaku diantara jutaan sembilu yang begitu tega mengiris persaanku. Aku terggugu dalam diam, aku gontai dalam melangkah. Aku hendak kembali, pulang kerumah dan memeluk mereka semua, kemudian melupakan Dien dan janji janjinya, lalu berpura pura aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa berbuat begitu. Dengan langkah berat, dengan hati yang gontai, sampai akhirnya, di ujung malam itu, di pagi yang masih buta. Aku merebahkan tubuh rentaku di atas dipan hotel. Sendiri, sepi, hanya beraneka suara tak jelas yang berdengung di kepalaku, di sekelilingku, mengutukiku, membuatku lelah, lelah sekali…..

***

Taksi berwana biru itu melambat, lalu berbelok ke dalam halaman sebuah hotel megah entah bertingkat berapa. Tapi setidaknya, hotel ini berlantai lebih dari enam belas lantai. Karena Blue Corner terletak di lantai enam belas, tapi Blue Corner tidak terletak di lantai paling atas dari hotel ini. Aku tidak bisa memikirkannya, bukan waktunya aku kira untuk menebak berapa lantai hotel Blue Safir ini di bangun. PiKiranku sekarang cuma tertuju pada satu hal : benarkah Dien mengundangku ke Blue Corner malam ini? Aku masih bimbang.
Taksi berhenti tepat di depan lobi utama hotel Blue Safir. Aku membayar ongkos taksinya. Tapi sebelum turun, aku minta waktu pada sopir taksi yang budiman itu untuk di izinkan menyeka airmataku dan memperbaiki beberapa bagian make up-ku yang luntur karena air mata. 

Aku menghela nafas panjang, lalu bergegas keluar dari taksi. Aku coba mengukuhkan hatiku. Menata perasaanku. Sejenak aku terpaku di sana. Hanya diam saja, menatap penuh ketegangan ke arah pintu masuk hotel ini. Aku mendesah. Ingin rasanya tiba tiba aku berbalik saja, masuk lagi ke dalam taksi yang mengantarkanku tadi dan kembali pulang. Ya pulang, mungkin itu jauh lebih baik dari pada melakukan hal  yang bodoh di sini. Bagaimana nanti kalau apa yang ada di dalam Blue Corner bukan seperti apa yang aku bayangkan? Bagaimana nanti kalau di sana ternyata tidak ada Dien yang menungguku? Aku menoleh ke belakang, hendak berhambur masuk lagi kedalam taksi biru tadi. Tapi, taksi itu sudah melaju perlahan, meninggalkan aku di sini berbaur dengan angin malam dan perasan galauku. Aku mendesah, memejamkan mataku dan menguatkan hatiku.

“Ada yang bisa kami bantu bu?” tanya seorang petugas hotel kepadaku yang diam mamatung. Aku mencoba tersenyum, walau sulit sekali rasanya.

“Ouh ya, saya…. Em… begini…” bagaimana aku menjelaskannya?

“Ya, bagaimana?” jelas sekali dia mencoba dengan keras untuk membuatku merasa nyaman.

“Saya, saya mempunyai janji dengan seseorang di hotel ini. Di …. Di .. di Blue …. Blue…..” aku meruntuki diriku sendiri, aku terlihat gugup sekali malam ini, itu pasti!

“Blue Corner maksud ibu?” tanya petugas hotel itu,

“Nah ya itu dia, Blue…. Blue Corner,” aku sedikit lega. Entah sejak kapan tiba tiba nama itu menjadi sejenis nama hantu bagiku. Blue Corner ….

“Oh, kalau begitu mari saya antar bu, kita cek dulu di resepsionis. “

“Oh begitu ya, “

Petugas hotel itu membawaku ke meja resepsionis. Di sana mereka menanyakan beberapa keterangan dan identitasku. Aku panas dingin rasanya. Tak percaya kalau akhirnya ini benar benar terjadi.

“Baik ibu kalau begitu, Bapak Dien sudah menunggu ibu sejak setengah jam yang lalu. Bisa kami antar ibu ke Blue Corner sekarang?”

Aku kelalapan. Dien? Setengah jam yang lalu dia sudah di sini? Aku seakan masih belum percaya juga. Mimpikah ini?

“Bagaimana bu?” resepsionis itu bertanya lagi.

“O… o ….. Ok…. Ok…., bisa, bisa sekarang…”

Dan detik detik menuju Blue Corner adalah detik detik penuh ketegangan dalam hidupku. Aku masih trauma sebenarnya pada kejadian setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu. Hari di mana merupakan hari pertama kau menginjakkan kaki di negeri ini. Negeri yang sama sekali asing bagiku.

Hari itu, setelah beberapa jam penerbangan, akhirnya, sampailah aku di negeri ini. Negeri di mana Dien tinggal. Dari bandara, aku di jemput oleh orang kepercayaan Dien, lalu di antarkan ke sebuah hotel mewah di dekat bandara.

Aku mengiriminya sebuat pesan singkat. Dan tidak berapa lama kemudian, Dien menghubungiku lewat telepon hotel. Dari suaaranya, jelas sekali terpancar kebahagian dan semangat Dien begitu tahu aku ada di sini. Dien meneleponku hampir setengah jam lamanya. Dia menjelaskan beberapa rencana sehubungan kedatanganku di sini.

Dia berencana merekutku sebagai pegawai pada perusahannya. Karena  dia tau, walau begini, aku mempunyai ijasah S1 dan pengalaman kerja yang cukup di masa mudaku dulu. Itu membuatku senang. Dien juga menjanjikan untuk membantuku mendapatkan rumah di negeri itu dengan mudah. Atau setidaknya, kalau pun tidak, aku bisa menempati apartemennya yang ada tak jauh dari bandara ini. Dan tentang itu aku merasa keberatan. Aku lebih suka kalau nantinya bisa mendapatkan rumah sendiri dan menyicilnya dengan gaji yang aku dapatkan dari bekerja di perusahannya.

“Tidak masalah,semua bisa di atur” katanya sebelum akhirnya dia berpamitan dan menutup teleponnya.
Tapi aku tidak pernah menyangka kalau itu adalah telepon pertama dan terakhir yang aku terima dari dia selama aku berada di negeri ini. Karena setelah itu, Dien menghilang, nomor teleponnya tidak bisa di hubungi, facebooknya juga tidak lagi aktif. Dien menghilang, seperti di telan bumi. Entah apa yang ada dalam piKirannya saat itu, atau entah apa yang sebenarnya terjadi kemudian. Aku tidak pernah tau. Yang jelas, tidak ada kabar lagi dari dia setelahnya, tidak melalui facebook atau melalui media lain.

Aku benar benar shock waktu itu. Aku di sini, di negeri asing ini, seorang wanita, seorang diri, tanpa kerabat, tanpa teman, tanpa siapapun yang aku kenal. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku mencari sosok Dien di negeri ini. Aku tidak mempunyai teman yang bisa memberiku keterangan tentang keberadaan Dien, walaupun teman itu juga berasal dari negeri ini. Negeri ini begitu luas, bahkan kota inipun begitu luas untuk menemukan dengan mudah sesorang diantara ribuan orang disini.

Aku putus asa sekali waktu itu. Aku menyesal. Menyesal sekali, mengapa dengan mudahnya aku meninggalkan kampung halamanku, meninggalkan Kiran dan Kinan, anak anaku itu, hanya karena gunjingan tetangga dan janji janji dari seorang lelaki yang baru saja aku kenal? Aku menangis tersedu di kamar hotel itu. Aku merasa aku adalah wanita paling bodoh waktu itu. Aku merasa kalau aku benar benar mahluk yang paling hina waktu itu. Kalau saja aku tidak ingat dosa dan kebesaran Tuhan, pasti aku sudah bunuh diri waktu itu. Tapi sukurlah, masih ada iman yang cukup di dadaku.

Selang beberapa hari kemudian, seorang teman di negeri ini berinisiatif untuk membawaku kerumahnya. Mulanya aku menolak. Aku tidak ingin merepotkan orang lain, apa lagi dia sudah berkeluarga. Tapi atas beberapa pertimbangan dan saran dari teman teman dunia maya yang bersimpati akan kisahku, akhirnya aku menerima juga tawaran itu.

Mulai saat itu, aku tinggal bersama dia di rumahnya yang sederhana. Mengingatkanku pada rumahku sendiri di kampung halamanku. Temanku itu, punya dua anak, laki laki dan perempuan. Mereka masih duduk di sekolah pendidikan dasar di negeri ini. Melihat kedua anak itu, aku jadi teringat akan Kinan dan Kiran sewaktu mereka kecil dulu. Tak terbendung, air mataku tumpah. Aku rindu pada mereka, aku rindu pada Kinan dan Kiran. Mereka pasti mencariku sekarang. Tapi, aku yakin mereka tidak akan menemukan aku di sini. Nomor handphone ku sudah aku ganti dengan nomor operator lokal negeri ini. Penyesalan dalam diriku kian membuncah. Aku semakin merasa buruk dan terpuruk waktu itu.

Sebulan setelah itu, aku mendapatkan pekerjaan yang aku anggap bagus untuk wanita seusiaku. Mulai saat itu, aku mulai juga menata hati, menata kehidupanku. Aku tahu aku pernah terpuruk, aku tahu aku pernah jatuh. Tapi aku sadar, bahwa bagaimanapun hidup ini harus terus di lanjutkan. Bagiamanapun, hidup ini harust terus di perjuangkan, seperti apa yang aku selalu ajarkan pada Kinan dan Kiran.

***

Berbulan bulan lamanya, aku berjuang untuk menata hidupku kembali setelah itu. Kehidupanku mulai membaik kembali. Keluarga temaku itu begitu hangat menerimaku. Mereka benar benar mengganggapku bagian dari keluarga besar mereka. 

Sekali lagi, aku menemukan hidupku setelah sempat meredup. Sekali lagi hidupku berwarna dengan indah. Hingga suatu hari,ketika aku sedang berselancar di dunia maya mengisi waktu kosongku, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Akun facebook  Dien aktif kembali.

Dia menyapaku lewat sarana chating  disana. Aku terpana, seolah tidak percaya. Setelah pergi begitu lama, benarkah sekarang Dien kembali? Aku benar benar shok melihatnya. 

Buru buru aku menutup laptopku, lalu bergegas tidur.

Tapi mataku tidak bisa aku pejamkan sedikitpun. Bayangan Dien, bayangan masa laluku, bayangan JI, semua tiba tiba bercampur aduk, datang dan menjelama di depan mataku. Kemudian bayangan Kinan dan Kiran. Kemudian ingatan akan kampung halamanku. Semua tiba tiaba saja muncul kala itu, seperti kaset film yang di putar ulang. Aku terguncang, dan untuk sekian kalinya, aku kembali tidak bisa membendung air mataku.

Aku menangis sendiri.

Hari hari berikutnya aku tidak membuka akun dunai mayaku. Aku merasa takut, takut sekali. Sebuah ketakutan aneh yang berisi harapan. Aku takut kalau apa yang aku lihat itu hanyalah sebuah fatamorgana. Aku takut kalau itu bukan benar benar Dien yang menyapaku. Tapi aku berharap, berharap sekali kalau yang menyapaku beberapa hari yang lalu itu adalah Dien. Aku berharap Dien akan meneleponku, tapi aku sadar, aku sudah dua kali ini mengganti nomer handphoneku. Jadi jelas, hal itu tidak akan terjadi.
Maka itu, tadi pagi aku memberanikan diri membuka akunku lagi. Dan seperti dugaanku, akun Dien juga aktif. Tak berapa lama kemudian, dia menyapaku

+ halo,
Aku merasa tengang. Tapi perlahan kujawab dia,

-  ya,
+ bagaimana keadannya?

Dia menanyakan kabarku. Apa yang harus aku katakan? Haruskah tiba tiba aku marah? Aku sungguh tidak tau. Yang aku lakukan selanjutnya adalah, menuliskan kalimat ini :
- apakah ini Dien?

+ ya ini aku, kenapa? Apa kamu sudah lupa aku?

- Dien, …. Hubungi aku sekarang, ini nomor hapeku.

Aku memberinya nomor handphoneku. Lalu Dien meneleponku sesaat kemudian.

“halo…” suara di seberang sana menyapaku. Jantungku serasa berhenti. Suara itu, suara Dien, ya suara Dien. Suara yang aku rindukan berbulan bulan lamanya. Aku tidak mampu berbuat apa apa lagi saat itu. Handphoneku jatuh tergeletak di lantai. Lalu sejurus kemudian, air mataku jatuh berderai pula. Dengan mata yang sembab, kuraih handphoneku, lalu kuputuskan sambungannya. Dien mencoba menghubungiku lagi, tapi beberapa kali pula aku abaikan.

Dien mulai menuliskan apa yang hendak dia sampaikan di chating facebook. Tapi tanganku tidak sanggup untuk menanggapinya. Layar facebookku berkedip kedip biru dengan angka merah yang terus beratambah nilainya. Tapi aku diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard. Saat itulah aku mendapat undangan dari Dien untuk datang ke Blue Corner malam ini

> aku tau kamu masih di sana, (tulisnya), aku ingin menjelaskan semuanya. Aku akan menunggumu di Blue Corner malam ini. Kamu tahu kan tempat itu. Aku tidak perduli kamu mau datang atau tidak, tapi yang jelas, aku akan menunggumu di sana, sampai kamu benar benar datang menemuiku.

Jantungku berhenti berdetak rasanya,

Blue Corner? 

Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue Corner malam ini?

“maaf bu, kita sudah sampai…” sapa petugas hotel itu ramah.

Perlahan aku bangkit dari alam ingatanku, kembali ke alam nyataku. 

Ah, akhirnya, akhirnya aku didepan Blue Corner juga sekarang.

“silahkan bu, saya tingal ibu di sini?”

Petugas hotel itupun kemudian pergi menginggalkan aku disini sendiri. Aku menghela nafas panjang, lalu dengan memantapkan hati, aku membuka pintu Blue Corner. Bayangan Ji, Kinan dan Kiran melintas didepanku bersama dengan terbukanya pintu itu,

Ji, Kinan, Kiran, maafkan aku …..