Layar facebookku
berkedip kedip biru, lalu muncul angka kecil dalam lingkarang merah yang terus
bertambah naik nilainya. Tapi aku diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard.
Blue Corner?
Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue
Corner malam ini?
***
Sebenarnya aku masih belum begitu percaya ini. Blue Corner?
Benarkah? Ataukah aku salah baca? Apakah Dien tadi menuliskan blur corner?
Sudut blur? Bukan sudut biru? Benarkah? Aku tak yakin. Begitu banyak yang
terjadi, begitu banyak pertanyaan dalam otakkku sekarang. Aku merasakan sensasi
yang benar benar membingungkan malam ini. bahagia, tentu, aku merasakannya.
Tapi bahagia di balik debaran yang halus dan teramat menyiksa. Kalau nanti Kiran
tahu, apa kata dia? Sungguh aku tak mau makin terpuruk di hadapannya. Kiran,
bagaimanapun dia adalah putriku, anak yang sangat kusayangi. Hasil pernikahan
dan buah cintaku bersama ji, suamiku.
Ji, …
Ji, maafkan aku. Malam ini aku mengigatnya lagi. Ya.., ji, dan
setiap kali aku mengingatnya, air mataku
tumpah. Seperti juga saat ini. ketika aku menunggu taksi datang untuk
menghadiri undangan, atau tepatnya, kencan pertamaku dengan Dien.
Waktu aku masih muda dulu, saat aku masih bunga desa yang
lugu, yang mekar bersama teman teman di desaku, Ji mungkin bukan lelaki pertama
yang aku kenal dan mampu menarik perhatianku. Sebelum ji, aku sudah pernah
mencintai seorang yang lain secara serius. Aku pernah suka pada beberapa orang
yang hadir sebelum ji hadir. Dan aku kira itu manusiawi bukan? Manusiawi kalau
sebagai wanita yang normal, aku jatuh hati pada sosok seorang lelaki. Aku kira,
hampir setiap orang yang tercipta kedunia ini, pasti pernah mengalami apa yang
aku alami dalam hidupnya. Mencinta lebih dari satu orang!
Tapi cuma ji yang mampu membuktikan kalau cintaku ini
berharga dan patut di balas dengan cinta yang indah pula. Maka itu, ji
mengikatku dalam pernikahan. Membawaku ke istananya yang penuh dengan warna. Ji
menjadikan aku wanita yang bangga telah menjadi ibu dari anak anaknya yang
lucu. Ibu bagi Kinan dan Kiran.
Ji mampu membawa keluarga kami menjadi keluarga yang indah. Walau
kami hidup dalam kesederhanaan, tapi kami bahagia. Walaupun kami bukan keluarga
yang bergelimang harta, tapi setidaknya, hidup kami berkucukupan. Ji, bukan
pilihan yang salah untuk aku jadikan sebagai seorang suami. Ji rajin dalam
bekerja, ulet dalam usahanya. Dia di senangi oleh teman temannya dipasar.
Ji terkenal sebagai orang yang menyenangkan dalam lingkungan
tetangga kami. Dan ji, sangat menyayangi aku, Kinan dan Kiran. Itu semua,
cukup Kiranya bagiku sebagai alasan mengapa aku harus mencintainya, dan
menghormatinya sebagai kepala keluarga kami.
Bertahun tahun suasana itu terus terjalin. Aku, ji, Kinan
dan si bungsu Kiran hidup sebagai keluarga yang saling melengkapi. Anak anak
kami tumbuh dengan penuh kasih sayang. Semua perhatian yang berusaha aku dan ji
berikan tidak membuat mereka merasa kehilangan masa kecilnya. Kami mendidiknya
dengan keras sesekali, agar mereka tegar menghadapi gelombang kehidupan ini.
Tapi, setenang tenangnya lautan, pasti ada juga badai yang
datang untuk menguji kapal yang berlayar di atasnya. Seperti rumah tangga kami.
Bukan juga tanpa masalah. Tapi kadang, masalah yang kecil, datang menerpa
kehidupan kami. Pertengkaran pertengkaran kecil yang kemudian terjadi seiring
usia pernikahan kami, mulanya bisa kami selesaikan dengan baik. Tanpa harus ada
yang merasa melukai dan terlukai. Tapi semakin lama biduk rumah tangga ini kami
lalui, semakin besar pula masalah yang harus kami hadapi, semakin beragam corak
dan caranya datang.
Kadang hatiku goyah saat itu, kadang aku seperti kehilangan
pegangan dan arah tujuan hidupku. Tapi dalam keadaan seperti itu, ji selalu ada
buat aku. Ji selalu ada untuk menggenggam erat tanganku, menuntunku dalam
setiap ketidak pastian yang aku rasakan. Ji selalu mampu menghapuskan segala
setiap coretan hitam dalam jiwaku akibat goresan gelombang kehidupan itu. Ji
selalu ada, untuk memberikan bahunya yang kekar saat aku menangis, memberikan
dadanya yang bidang untuk tempatku bersandar kala duka, membuka tangannya lebar
lebar untuk mendekapku bila aku kehilangan diriku sendiri. Ji, semakin lama,
dia semakin membuatku yakin aku tidak pernah salah telah memilihnya dulu.
Bahagia dan sempurna, merupakan kata kata yang paling tepat untuk menggambaran keadaan keluarga kami saat itu. Tapi, seperti firman Tuhan,
ketika sesuatu terlihat begitu sempurna, maka tunggulah ketidak sempurnaanya
menampakkan diri. Dan hal inilah yang kemudian menjadi beban pikiranku..
“dinda, kenapa pagi ini dinda kelihatan lesu?” pagi itu ji
bertanya padaku. Rupanya keresahan ini, terbaca olehnya di raut wajahku. Hatiku
tersentuh. Begitu besarnya tautan hati kami. Jantungku berdegup lebih kencang.
“abang, kenapa bertanya seperti itu?” tanyaku mengalihkan
perhatiannya.
“itu, dinda kelihatan lesu, apa yang dinda pikirkan..”
Aku tersenyum, berusaha semanis yang aku bisa. “mungkin aku capek aja bang,
kerjaan kemaren numpuk, …” kilahku.
Ji tersenyum. Manis sekali, begitu menyejukkan jiwaku. Ji
mendekat, meraih kepalaku, lalu mengecup lembut keningku, melambungkan jiwaku
ketempat paling sahdu yang pernah manusia rasakan.
“dinda, kalau capek, istirahatlah, nanti abang bantuin
kerjaanya…”
“kerjaan abang sendiri sudah banyak bang, rumah tangga masih
bisa dinda kerjakan kok …. “
Pagi itu pembicaraan kami berlanjut. Tak seperti biasanya,
ji pagi itu kelihatan tidak terburu buru berangkat kepasar mengurusi
dagangannya. Dia seperti hendak berlama lama denganku. Pagi itu kami bicara
banyak hal, lebih banyak dari yang biasanya kami bicarakan, lebih serius juga
rasanya.
“juga tentang Kiran dinda, ingin rasanya aku Kiran itu cepet
cepet nikah din. Setidaknya, sekarang ini umurku masih ada….”
“bang ji…” sergahku “ kenapa abang bicara seperti itu bang
….”
“ hidup manusia siapa yang tau dinda, abang bisa pergi kapan
saja, bisa sekarang bisa besok atau ….”
“bang ji….! Abang ini ngomong apa sih bang, abang ini masih
sehat, gak pantas ngomong seperti itu bang….”
“sekarang ini musimnya orang mati mendadak din…”
“musim? Emang mangga ada musimnya….”
Ji tertawa terkekeh…., aku merasakan wajahku merona
sebentar…
“nah itulah din, sebelum tiba waktu abang, abang ingin sekali
melihat Kiran menikah …” entah kenapa, mendengar kalimat itu di tuturkan ji,
ada sebersit rasa perih yang menjalar di hatiku. Sebentar, sedikit, tapi perih
sekali. Tiba tiba saja, selintas, bayangan hidup sendiri tanpa sosok ji di
dekatku melintas cepat dan kuat. Menekan jiwaku. “menikahkannya di depan para
undangan, melihat calon menantuku seperti apa, h,mmmmm….. “ kali ini ji seperti
orang yang sedang menerawang, seolah memandang menembus masa depan “gagahkah?
Gantengkah? Kayakah? Atau dari orang yang biasa saja …..”
Aku terdiam. Tak bisa menjawab apa yang ji lontarkan.
Pertanyaan itu, telah lama pula muncul dalam benakku. Tapi aku simpan dalam
dalam. Mungkin setiap ibu yang memiliki anak perempuan akan bertanya hal yang
sama denganku “ tapi apapun pekerjaannya, siapapun dia, semoga dia bisa jadi
yang terbaik buat Kiran, buat aku, juga buat dinda, …..”
***
Pagi itu ji berangkat setelah sekali lagi mencium keningku.
Aku kemudian kembali tenggelam dalam kesibukannku di rumah.
Menyapu, ngepel, memasak, sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga.
Termasuk baju Kinan dan Kiran, karena kedua anakku itu, sudah mampu mandiri
saat itu, mereka bedua sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Walaupun
terkadang mereka ngotot untuk mencuci baju mereka sendiri.
Saat seluruh pekerjaanku rampung, seorang tetanggaku yang
juga bekerja di pasar, datang mengetuk pintu.
“lo, tumben jam segini kamu ke sini. Gak jualan?” tanyaku. wajahnya
memerah, seperti sedang terburu buru dan gelisah sekali. Aku kira, dia sedang kepanasan
terpanggang matahari dalam pejalanan dari pasar ke sini.
“emmm, …” dia seperti kehabisan kata kata untuk berbicara,
atau berusha merangkai kata yang paling cocok untuk diucapkan. “ ini…. ini….”
“kamu ini kenapa, aku ambilkan air dulu ya, kamu minum dulu
ya, … kepanasan rupanya kamu ..”
“ gak.. gak usah …., ini tentang bang… bang ji…”
Mendengar nama suamiku di sebut, mendadak seperti ada yang
menyentak di otakku. Aku menengang.
“bang ji? Ada apa dengan bang ji? ….” Tanyaku tak sabar.
“em.. ikut saja aku kepasar ya, bang ji sedang butuh
bantuan…”
“ada apa dengan bang ji..” tiba tiba saja aku histeris,
seperti sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Jantungku berdegup kencang
sepanjang jalan. Berbagai pertanyaan dan terkaan timbul dan tenggelam dalam
otakku.
Aku berhambur turun dari sepeda motor dan terus berlari
kearah tempat bang ji berjualan begitu tiba di sana. Ada ambulan, banyak orang
berkerumun, ada yang menangis, berdesas desus, wajah mereka menegang. Saat aku
sudah dalam hitungan langkah, seorang ibu yang aku kenal berjualan di sebelah ji, berhambur memelukku. Aku kaget. Kaget
sekali. Aku menyeruak di antara kerumunan orng orang. Dan saat aku melihat apa
yang terjadi, aku berteriak histeris, berhambur kearah tubuh ji, memeluknya, memanggilnya, lalu suara orang
berseru seru, gaduh, dan setelah itu, semua menjadi gelap. Gelap sekali.
***
Hari itu ji pergi untuk selamanya.
“serangan jantung bu, jantung ji berhenti berdetak mendadak”
jelas dokter yang memfisumnya saat itu.
Sejak saat itu rasanya duniaku berhenti untuk berputar. Aku
kehilangan arah. Sungguh!
Aku seperti hidup dalam kegelapan. ji pergi menginggalkanku, meninggalkan Kinan,
meninggalkan Kiran, menginggalkan keluarga bahagia kami. ji pergi meninggalkan
segala impiannya…
“mana janjimu untuk menikahkan Kiran bang…. “ aku meradang,
berhari hari lamanya.. “Kiran belum menikah bang, dia putrimu satu satunya
bang…., sekarang siapa yang akan menjadi wali nikahnya.. siapa bang… bangun
bang, bangun…. Jangan tinggalkan aku bang, jangan tinggalkan Kiran…, “
Aku seperti orang yang kehilangan segala kewarasanku. Aku
lebur dalam dunia yang penuh dengan kegelapan. Aku tidak pernah berfikir dan
masih belum pernah siap untuk menghadapi keadaan seburuk ini. aku pergi
meninggalkan Tuhanku. Aku memprotesnya, meninggalkanNya karena Dia sudah
meninggalkan aku, Dia sudah mengambil ji
dari aku. Meninggalkan aku dalam kegelapan yang tanpa batas. Aku meradang,
untuk sekali lagi dan lagi…
Pada saat saat seperti itu, yang ada hanyalah pelukan dari Kiran.
Dia memelukku dalam pelukan hangatnya. Kiran, putriku yang cantik itu, begitu
pandai menenangkan aku. Dia sungguh pandai mengubah setiap kata, mengolahnya
seolah seperti seorang koki handal yang mengubah tepung menjadi roti yang siap
mengusap setiap rasa laparku. Mengisi jiwaku dengan anggur yang terbaik yang
pernah ada.
Juga Kinan, putra sulungku itu. Dia sering mengganggam
tanganku dalam genggamanya yang hangat. Menyalurkan ribuan semangat untuk
jiwaku yang sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup.
Dialah yang menyuapkan suap demi suap nasi ketika aku tidak lagi tahu bagaimana
caranya menggenggam sendok. Kinan dan Kiran, mereka selalu ada untukku kapan
saja, bahkan di saat aku dalam keadaan yang paling terpuruk sekalipun. Aku
bangga memiliki mereka sebagai darah dagingku.
Waktu berlalu dengan cepat dan lambat sekaligus. Aku pernah
hilang diantara bilangan waktu. Aku seperti orang yang tidak lagi berjalan
bersama jalannya waktu. Aku hampa, aku kosong, jiwaku tak sini. Dia sesekali
pergi meninggalkanku untuk menemui ji di alam imajinasi. Palsu dan tidak pernah
nyata. Yang membuatku, pada saat seperti itu, semakin terpuruk dalam
keputusasaan dan kehampaan.
Semua seperti tak nyata. Seperti mayanya dunia yang kemudian
aku kenal. Dunia tak nyata yang bernama facebook.
Ya, facebook,
perkenalanku dengannya, mengubah setidaknya sebagian dari hidupku. Sebagian
dari jiwaku, mengembalikannya pada nostalgia masa mudaku. Aku, di buatnya
seperti masih seorang gadis yang belia. Yang mendambakan seorang pemuda yang
akan mempersuntingku. Membuat aku seperti remaja putri yang selalu merasa
pantas untuk di cintai dan di perebutkan.
***
Satu tahun sudah ji meninggalkanku. Dan tepat di satu tahun
kepergian ji, Kiran melangsungkan pernikahannya. Ya…, akhirnya Kiran menikah
juga.
Hari ini perasaanku kembali teraduk. Antara bahagia dan
kesedihan yang mendalam. Aku bahagia akhirnya Kiran mendapatkan jodohnya.
Menjalin jalinan suci dalam ikatan rumah tangga. Aku berdoa di malam pernikahan
mereka, agar mereka bisa bahagia selamanya, bersama selamanya, bisa saling
mengisi dalam suka dan duka. Seperti aku dan ji dulu.
Ji, hari ini, dipernikahan Kiran, aku mengingatmu kembali.
Dan setiap mengigatmu, air mataku selalu jatuh tak bisa aku tahan. Dan itulah
ji, karena itulah aku bersedih. Aku sedih karena dirimu ji. Karena ketidak
adaanmu di sini ji, Karena di saat seperti
ini, kamu tak ada di sini ji. Ji, bukankah dulu kau berjanji untuk
menikahkah Kiran, menjadi wali di hari pernikahannya? Ji, hari ini Kiran
menikah ji, dengan seorang pemuda yang sesuai keinginanmu. Dia mungkin tidak
terlalu tampan ji, tapi aku yakin dia adalah orang terbaik yang disiapkan Tuhan
untuk Kiran, putri kita tercinta.
Ji, aku bahagia hari ini, tapi rasa sakit akan kehilangan
dirimu membuat rasa itu seperti tak pernah lengkap. Tak pernah seperti yang aku
inginkan ji.
Semua kini hanya bisa aku tuangkan lewat dunia maya, dunia
yang mereka sebut “Facebook” atau FB,
bergitu mereka menyebutnya. Perlahan namun pasti, Fb mulai merasuki
kehidupannku. Segala gundahku, segala curhatku, segala benci dan senangku, aku
tumpahkan disana. Di hadapan ratusan teman dunia mayaku.
Perlahan, Fb memberiku tempat yang berbeda, tempat yang
nyaman, yang aku butuhkan, yang bisa mengerti
aku sepenuhnya. Aku temukan persahabatan di sana, aku temukan canda, aku
temukan tempat mencurahkan segala isi hati. Tapi tetap ji, aku tidak pernah
menemukanmu di sana.
Ji, aku rindu ……
***
Sebuah taksi berwarna biru langit berhenti tepat di depan
rumah ini. Aku beringsut, menyeka air mata, lalu bergegas pergi keluar halaman.
Sopir taksi itu menanyakan apakah aku yang menelepon taksi
tadi?
“Ya pak, ke restoran Blue Safir ya.”
Sopir taksi itu mengiyakan perkataanku, membukakan pintu dan
tersenyum semanis mungkin. Hanya saja mungkin dia tidak bisa menyembunyikan
mimik penasaran di wajahnya. Aneh, itu mungkin kesannya terhadapku. Baru kali
ini mungkin ada orang yang akan berangkat ke restoran Blue Safir dengan mata
yang sembab.
Aku duduk di bangku belakang, dingin dan sendiri. PiKiranku
masih di penuhi tanda tanya. Blue Corner di Blue Safir setahuku adalah tempat
luar biasa. Tempat itu hanya bisa di pesan oleh orang orang yang berkantong
tebal. Untuk pesan tempat itu saja, butuh uang senilai hampir lebih dari satu
bulan gajiku. Itu belum untuk pesan makanan dan fasilitas tambahan lainnya.
Kabarnya, Blue Corner itu adalah sebuah ruangan dengan view terbaik di kota ini. Bertempat di lantai 16 sebuah gedung
bertingkat dengan pemandangan yang terbuka ke salah satu sudut kota yang
menhadap ke laut. Tempat paling “hangat” dan paling romantis. Tempat ini
biasanya di pakai untuk pertemuan keluarga, perjamuan tamu tamu penting atau
sejenisnya.
Dan sekarang Dien mengundangku ke sana. Udangan yang terlalu
istimewa untuk orang yang baru benar benar pertama kali ditemui. Dien, siapkah
kamu yang sebenarnya?
Dien mulanya hanya sebuah nama diantara begitu banyak nama
teman teman dunia mayaku di facebook.
Aku tidak begitu ingat bagaimana kami berteman awalnya, entah aku yang add atau sebaliknya dia yang add aku duluan. Aku sudah lupa.
Tapi seiring berjalannya waktu, sosok Dien secara perlahan,
menjadi sosok yang begitu menyita perhatianku. Dia begitu sopan, hangat, dan
terkesan sangat berpendiidikan. Dien, secara garis besarnya, mampu membuat aku
merasa nyaman berada di antara orang orang yang tidak aku kenal di dunia maya
itu.
Tapi, tidak bisa aku pungkiri, kalau gara gara Dien jugalah
aku harus meninggalkan Kiran dan Kinan. Meninggalkan kampung halamanku, bahkan
meninggalkan tanah air di mana aku dilahirkan dan dibesarkan.
Ya…., semua itu
gara gara Dien.
Gara gara dia aku terusir. Disingkirkan oleh anakku sendiri.
Dinista oleh keluarga besar yang seharusnya menjaga aku yang sudah renta ini. Dien,
semua ini gara gara dirimu…..
Semua berawal dari ketika aku mulai kehilangan kendali dan
tidak bisa lagi mengatur waktuku untuk berselancar di dunia maya. Setiap hari,
aku duduk didepan computer, menenteng laptop Kiran atau Kinan, online lewat handphorne.
Hanya untuk membuka satu halaman : Facebook! Sekedar Cuma buat update status, chatting, atau membalas dan komentar komentar teman
teman dunia mayaku. Dan Dien adalah salah satunya.
Mulanya Kinan dan Kiran serta keluarga besar menganggap itu
masih dalam batasan yang wajar. Wajar kalau aku membutuhkan pelarian untuk bisa
melupakan ji, atau setidaknya, meringankan beban piKiranku saat aku harus
kehilangan orang yang sangat aku cintai.
Mulanya, semua berjalan apa adanya, mengalir bagai air di
mata air, mengalir dengan tenang dan terkendali. Aku online, tapi masih tidak
melupakan siapa diriku sebenarnya, masih bisa untuk melakukan pekerjaan
pekerjaan lain yang harus aku lakukan. Aku masih bisa mencuci, bisa memasak,
membantu membersihkan rumah walau sekarang sudah ada pembantu yang melakukan
semua pekerjaan itu.
Kehidupan ekonomi kami sekarng membaik. Kinan sudah bekerja
dan berpenghasilan tetap. Begitu juga dengan Kiran, walaupun dia tidak memiliki
pekerjaan, tapi suaminya perlahan namun pasti mulai menduduki jabatan penting
di tempatnya bekerja.
Dari sana juga awalnya. Kecemburuan kecemburuan sosial itu
mulai terjadi. Gesekan orang orang yang sirik terhadap kehidupanku mulai lambat
laun aku rasakan.
Semua berawal dari hal sederhana, dari gunjingan gunjingan
tetangga yang tidak suka melihat orang lain merambah sukses. Mereka berargumen
tanpa bukti. Mulai dari saat saat belanja di peracangan yang tiap hari lewat di
jalan di depan rumah sampai pada arian RT/RW. Bahkan sampai akhirnya seluruh
isi pasar juga tau apa yang terjadi menurut versi mereka.
Maka mulailah aku malu. Mulaiah tidak ada tempat buat aku
untuk membela diri lagi. Aku tersudut sebagai seorang tua yang beranak dua tapi
tidak pernah becus untuk mengurusi kedua anaknya. Maka mulailah aku di kenal
sebagai orang tua yang tak tahu diri, yang menumpang di rumah anaknya tapi gak
bisa berbuat apa apa buat membalasnya. Maka mulailah aku di kenal sebagai orang
yang di pertanyakan kewarasannya karena telah sering mereka melihatku tertawa
sendiri di depan rumah dengan handphone atau laptop di pangkuanku. Tidakkah
mereka tahu apa itu dunia maya? Tidakkah mereka tahu apa itu facebook? Apa itu chatting? Aku pikir mereka terlalu naïf!
“mereka sudah besar, sudah bisa mengurus diri mereka
sendiri” kilahku suatu hari. Tapi mereka tidak mau mendengar. Seolah mereka
sudah buta dan tuli. Hanya hati mereka yang penuh dengan prasangka. Penuh
dengan iri dan kebencian mendalam akan diriku.
“seharusnya dia sadar..” bisik mereka satu hari di sebuah
kenduri. Bahkan mereka sudah tidak perduli kalau aku ada di belakang mereka dan
bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
“ya, tidak tahu malu” yang satu lagi menimpali.
“sudah enak jadi orang kaya, tapi gak tau bagaimana
berterimakasih”
“kasian anak anaknya, Kinan itu, kerja banting tulang siang
malam, itu buat siapa coba. Kinan kan belum punya istri..”
“yang lebih kasian lagi itu sebenarnya suaminya si Kiran,
masak di porotin gitu? Katanya sih, kalau minta minta gak diturutin, bisa bisa
panas tuh isi rumah berhari hari…”
Dan gunjingan itu terus berlanjut. Dari satu orang keorang
yang lain, dari satu rumah kerumah yang lain, hingga suatu hari, semua
gunjingan itu, sampai juga ke telinga besanku. Ke rumah orang mertua Kiran yang
tenang.
Aku tak berharap banyak mulanya. Cuma aku tahu, kalau mereka
itu adalah orang berpendidikan dan terpandang. Setahuku, orang orang seperti
itu tidak akan menanggapi gossip gossip murahan yang di hembuskan orang orang
yang gak jelas seperti mereka.
Tapi ternyata aku salah. Aku salah….
Ternyata kehidupan tidak memihak kepadaku. Aku mulai
terasing bahkan dalam keluargaku sendiri. Aku makin merasa tidak menemukan
siapapun untuk berbagi di dunia ini. Bahkan aku mulai merasa kehilangan
menantuku satu satunya, kehilangan Kinan kemudian, lalu Kiran! Ya aku
kehilangan Kiran kemudian. Aku menangis, aku sedih, aku sendiri. Aku tak tau
apa yang harus aku lakukan…
Aku begitu terpuruk, aku begitu merasa lemah. Dan saat
itulah, aku melihat kalau kematian itu mungkin lebih indah dari pada hidup yang
aku jalani sekarang ini.
Tapi Dien datang menawarkan kesejukan bagiku. Dia datang
dengan tangannya yangterbuka. Siap menyambutku dalam hangatnya persahabatan.
Ya…, walau itu hanya lewat dunia maya.
Dien,
***
Aku menyeka air mataku. Ingatanku membawaku pada memori
terberat dalam hidupku. Kenangan di mana aku terusir dari rumahku sendiri.
Terusir dari tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar hidupku. Tempat
dimana aku merajut kenangan kenangan indah berasama ji, bersama Kinan dan Kiran.
Memori saat Kiran, anakku itu, yang aku cintai, mengusirku dari rumahnya
sendiri, dari rumah yang aku berikan padanya atas dasar dia malu punya ibu
seperti aku…
Ya, akhirnya,…
Akhrinya aku tahu kalau selama ini Kiran telah malu punya ibu semacam aku.
Ibu yang tidak berguna, ibu yang dipergunjingkan oleh tetangganya. Seorang ibu
yang di pandang hina bahkan oleh keluarga mertua dari Kiran sendiri. Aku ibu
yang benar benar memalukan di depan matanya.
Malam itu Kinan dan Kiran bertengkar hebat di depan kamarku.
Mereka bersama menantuku berdebat panjang tentang aku. Membisikkan argument
argument mereka satu sama lainnya. Mereka bertenkar berbisik. Tapi dengan
bisikan yang keras, bisikan yang memekakkan telingaku. Bisikan yang lebih kejam di telingaku dari dengungan
seribu lebah beracun.
Tapi ibu tidak tuli, Kinan, ibu tidak tuli Kiran. Ibu tidak
tidur,
Ibu mendengar apa yang kalian bicarakan malam itu. Ibu tahu
semua itu. Maka jangan salahkan ibu bila ibu pergi di pagi buta itu. Di saat
kalian masih tertidur pulas bersama mimpi mimpi indah kalian. Ibu pergi anak
anakku, karena ibu tidak lagi ingin menjadi beban di kehidupan kalian. Ibu
pergi, atas undangan seseorang. Seseorang
yang selama ini mampu menengkan hati ibu saat hati ini gundah.
Dia adalah Dien,
Ya, Dienlah yang mendukung kepergianku malam itu. Hanya handphone dan beberapa potong pakaian
yang aku bawa serta. Tidak ada yang lain. Di hatiku, aku hanya membawa galau.
Galau sekali : meninggalkan anakku dan menyambut uluran tangan dari seorang
yang belum kenal sepenuhnya. Aku pergi hanya bergantung pada sebuah janji.
Janji Dien untuk membuat aku bahagia, menjadikan aku permata di hatinya.
Memberiku kehangatan yang hilang dari hidupku. Kehangatan yang hilang bersama
perginya Ji, hilangnya Kinan dan Kiran, kehangatan yang pergi bersama arus air
yang berputar di kepalaku. Aku kalut,
Tapi sungguh aku seperti tidak memiliki pilihan lagi. Kalau
kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan? Di saat kalian di kucilkan, di
musuhi, di anggap hina, terusir dari kehangatan sebuah keluarga, lalu apa yang
akan kalian lakukan? Sedang di sana, di seberang negeri sana, ada orang lain
yang mengulurkan tangannya dengan indah untuk menerimamu? Aku juga masih seorang
manusia, manusia yang membutuhkan kehangatan dalam hidupnya.
> malam ini,
menginaplah di hotel, besok pagi aku transer semua biaya yang kamu butuhkan.
Itu sms dari Dien, malam itu, ketika aku terisak pergi di
tengah gelapnya malam.
> besok pagi, akan
ada orangku menemui kamu, menguruskan semua kebutuhan kamu, dalam waktu dekat,
kamu akan terbang ke sini. Aku akan menunggumu,
Aku terisak dalam dalam malam itu, ada desiran hangat di
dalam dadaku diantara jutaan sembilu yang begitu tega mengiris persaanku. Aku terggugu
dalam diam, aku gontai dalam melangkah. Aku hendak kembali, pulang kerumah dan
memeluk mereka semua, kemudian melupakan Dien dan janji janjinya, lalu berpura
pura aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa berbuat
begitu. Dengan langkah berat, dengan hati yang gontai, sampai akhirnya, di
ujung malam itu, di pagi yang masih buta. Aku merebahkan tubuh rentaku di atas
dipan hotel. Sendiri, sepi, hanya beraneka suara tak jelas yang berdengung di
kepalaku, di sekelilingku, mengutukiku, membuatku lelah, lelah sekali…..
***
Taksi berwana biru itu melambat, lalu berbelok ke dalam
halaman sebuah hotel megah entah bertingkat berapa. Tapi setidaknya, hotel ini
berlantai lebih dari enam belas lantai. Karena Blue Corner terletak di lantai
enam belas, tapi Blue Corner tidak terletak di lantai paling atas dari hotel
ini. Aku tidak bisa memikirkannya, bukan waktunya aku kira untuk menebak berapa
lantai hotel Blue Safir ini di bangun. PiKiranku sekarang cuma tertuju pada
satu hal : benarkah Dien mengundangku ke Blue Corner malam ini? Aku masih
bimbang.
Taksi berhenti tepat di depan lobi utama hotel Blue Safir. Aku
membayar ongkos taksinya. Tapi sebelum turun, aku minta waktu pada sopir taksi
yang budiman itu untuk di izinkan menyeka airmataku dan memperbaiki beberapa
bagian make up-ku yang luntur karena
air mata.
Aku menghela nafas panjang, lalu bergegas keluar dari taksi.
Aku coba mengukuhkan hatiku. Menata perasaanku. Sejenak aku terpaku di sana. Hanya
diam saja, menatap penuh ketegangan ke arah pintu masuk hotel ini. Aku mendesah.
Ingin rasanya tiba tiba aku berbalik saja, masuk lagi ke dalam taksi yang
mengantarkanku tadi dan kembali pulang. Ya pulang, mungkin itu jauh lebih baik
dari pada melakukan hal yang bodoh di
sini. Bagaimana nanti kalau apa yang ada di dalam Blue Corner bukan seperti apa
yang aku bayangkan? Bagaimana nanti kalau di sana ternyata tidak ada Dien yang
menungguku? Aku menoleh ke belakang, hendak berhambur masuk lagi kedalam taksi
biru tadi. Tapi, taksi itu sudah melaju perlahan, meninggalkan aku di sini
berbaur dengan angin malam dan perasan galauku. Aku mendesah, memejamkan mataku
dan menguatkan hatiku.
“Ada yang bisa kami bantu bu?” tanya seorang petugas hotel
kepadaku yang diam mamatung. Aku mencoba tersenyum, walau sulit sekali rasanya.
“Ouh ya, saya…. Em… begini…” bagaimana aku menjelaskannya?
“Ya, bagaimana?” jelas sekali dia mencoba dengan keras untuk
membuatku merasa nyaman.
“Saya, saya mempunyai janji dengan seseorang di hotel ini. Di
…. Di .. di Blue …. Blue…..” aku meruntuki diriku sendiri, aku terlihat gugup
sekali malam ini, itu pasti!
“Blue Corner maksud ibu?” tanya petugas hotel itu,
“Nah ya itu dia, Blue…. Blue Corner,” aku sedikit lega. Entah
sejak kapan tiba tiba nama itu menjadi sejenis nama hantu bagiku. Blue Corner ….
“Oh, kalau begitu mari saya antar bu, kita cek dulu di resepsionis.
“
“Oh begitu ya, “
Petugas hotel itu membawaku ke meja resepsionis. Di sana
mereka menanyakan beberapa keterangan dan identitasku. Aku panas dingin rasanya.
Tak percaya kalau akhirnya ini benar benar terjadi.
“Baik ibu kalau begitu, Bapak Dien sudah menunggu ibu sejak
setengah jam yang lalu. Bisa kami antar ibu ke Blue Corner sekarang?”
Aku kelalapan. Dien? Setengah jam yang lalu dia sudah di sini?
Aku seakan masih belum percaya juga. Mimpikah ini?
“Bagaimana bu?” resepsionis itu bertanya lagi.
“O… o ….. Ok…. Ok…., bisa, bisa sekarang…”
Dan detik detik menuju Blue Corner adalah detik detik penuh
ketegangan dalam hidupku. Aku masih trauma sebenarnya pada kejadian setahun
yang lalu. Ya, setahun yang lalu. Hari di mana merupakan hari pertama kau
menginjakkan kaki di negeri ini. Negeri yang sama sekali asing bagiku.
Hari itu, setelah beberapa jam penerbangan, akhirnya,
sampailah aku di negeri ini. Negeri di mana Dien tinggal. Dari bandara, aku di
jemput oleh orang kepercayaan Dien, lalu di antarkan ke sebuah hotel mewah di
dekat bandara.
Aku mengiriminya sebuat pesan singkat. Dan tidak berapa lama
kemudian, Dien menghubungiku lewat telepon hotel. Dari suaaranya, jelas sekali
terpancar kebahagian dan semangat Dien begitu tahu aku ada di sini. Dien meneleponku
hampir setengah jam lamanya. Dia menjelaskan beberapa rencana sehubungan
kedatanganku di sini.
Dia berencana merekutku sebagai pegawai pada perusahannya. Karena
dia tau, walau begini, aku mempunyai
ijasah S1 dan pengalaman kerja yang cukup di masa mudaku dulu. Itu membuatku
senang. Dien juga menjanjikan untuk membantuku mendapatkan rumah di negeri itu
dengan mudah. Atau setidaknya, kalau pun tidak, aku bisa menempati apartemennya
yang ada tak jauh dari bandara ini. Dan tentang itu aku merasa keberatan. Aku lebih
suka kalau nantinya bisa mendapatkan rumah sendiri dan menyicilnya dengan gaji
yang aku dapatkan dari bekerja di perusahannya.
“Tidak masalah,semua bisa di atur” katanya sebelum akhirnya
dia berpamitan dan menutup teleponnya.
Tapi aku tidak pernah menyangka kalau itu adalah telepon
pertama dan terakhir yang aku terima dari dia selama aku berada di negeri ini. Karena
setelah itu, Dien menghilang, nomor teleponnya tidak bisa di hubungi, facebooknya juga tidak lagi aktif. Dien menghilang,
seperti di telan bumi. Entah apa yang ada dalam piKirannya saat itu, atau entah
apa yang sebenarnya terjadi kemudian. Aku tidak pernah tau. Yang jelas, tidak
ada kabar lagi dari dia setelahnya, tidak melalui facebook atau melalui media lain.
Aku benar benar shock waktu itu. Aku di sini, di negeri
asing ini, seorang wanita, seorang diri, tanpa kerabat, tanpa teman, tanpa
siapapun yang aku kenal. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku mencari sosok Dien
di negeri ini. Aku tidak mempunyai teman yang bisa memberiku keterangan tentang
keberadaan Dien, walaupun teman itu juga berasal dari negeri ini. Negeri ini
begitu luas, bahkan kota inipun begitu luas untuk menemukan dengan mudah
sesorang diantara ribuan orang disini.
Aku putus asa sekali waktu itu. Aku menyesal. Menyesal sekali,
mengapa dengan mudahnya aku meninggalkan kampung halamanku, meninggalkan Kiran
dan Kinan, anak anaku itu, hanya karena gunjingan tetangga dan janji janji dari
seorang lelaki yang baru saja aku kenal? Aku menangis tersedu di kamar hotel
itu. Aku merasa aku adalah wanita paling bodoh waktu itu. Aku merasa kalau aku
benar benar mahluk yang paling hina waktu itu. Kalau saja aku tidak ingat dosa
dan kebesaran Tuhan, pasti aku sudah bunuh diri waktu itu. Tapi sukurlah, masih
ada iman yang cukup di dadaku.
Selang beberapa hari kemudian, seorang teman di negeri ini
berinisiatif untuk membawaku kerumahnya. Mulanya aku menolak. Aku tidak ingin
merepotkan orang lain, apa lagi dia sudah berkeluarga. Tapi atas beberapa
pertimbangan dan saran dari teman teman dunia maya yang bersimpati akan
kisahku, akhirnya aku menerima juga tawaran itu.
Mulai saat itu, aku tinggal bersama dia di rumahnya yang
sederhana. Mengingatkanku pada rumahku sendiri di kampung halamanku. Temanku itu,
punya dua anak, laki laki dan perempuan. Mereka masih duduk di sekolah
pendidikan dasar di negeri ini. Melihat kedua anak itu, aku jadi teringat akan Kinan
dan Kiran sewaktu mereka kecil dulu. Tak terbendung, air mataku tumpah. Aku rindu
pada mereka, aku rindu pada Kinan dan Kiran. Mereka pasti mencariku sekarang. Tapi,
aku yakin mereka tidak akan menemukan aku di sini. Nomor handphone ku sudah aku ganti dengan nomor operator lokal negeri
ini. Penyesalan dalam diriku kian membuncah. Aku semakin merasa buruk dan
terpuruk waktu itu.
Sebulan setelah itu, aku mendapatkan pekerjaan yang aku
anggap bagus untuk wanita seusiaku. Mulai saat itu, aku mulai juga menata hati,
menata kehidupanku. Aku tahu aku pernah terpuruk, aku tahu aku pernah jatuh. Tapi
aku sadar, bahwa bagaimanapun hidup ini harus terus di lanjutkan. Bagiamanapun,
hidup ini harust terus di perjuangkan, seperti apa yang aku selalu ajarkan pada
Kinan dan Kiran.
***
Berbulan bulan lamanya, aku berjuang untuk menata hidupku
kembali setelah itu. Kehidupanku mulai membaik kembali. Keluarga temaku itu
begitu hangat menerimaku. Mereka benar benar mengganggapku bagian dari keluarga
besar mereka.
Sekali lagi, aku menemukan hidupku setelah sempat meredup. Sekali
lagi hidupku berwarna dengan indah. Hingga suatu hari,ketika aku sedang
berselancar di dunia maya mengisi waktu kosongku, sesuatu yang di luar dugaan
terjadi. Akun facebook Dien aktif kembali.
Dia menyapaku lewat sarana chating disana. Aku terpana,
seolah tidak percaya. Setelah pergi begitu lama, benarkah sekarang Dien
kembali? Aku benar benar shok melihatnya.
Buru buru aku menutup laptopku, lalu bergegas tidur.
Tapi mataku tidak bisa aku pejamkan sedikitpun. Bayangan Dien,
bayangan masa laluku, bayangan JI, semua tiba tiba bercampur aduk, datang dan
menjelama di depan mataku. Kemudian bayangan Kinan dan Kiran. Kemudian ingatan
akan kampung halamanku. Semua tiba tiaba saja muncul kala itu, seperti kaset
film yang di putar ulang. Aku terguncang, dan untuk sekian kalinya, aku kembali
tidak bisa membendung air mataku.
Aku menangis sendiri.
Hari hari berikutnya aku tidak membuka akun dunai mayaku. Aku
merasa takut, takut sekali. Sebuah ketakutan aneh yang berisi harapan. Aku takut
kalau apa yang aku lihat itu hanyalah sebuah fatamorgana. Aku takut kalau itu
bukan benar benar Dien yang menyapaku. Tapi aku berharap, berharap sekali kalau
yang menyapaku beberapa hari yang lalu itu adalah Dien. Aku berharap Dien akan
meneleponku, tapi aku sadar, aku sudah dua kali ini mengganti nomer handphoneku. Jadi jelas, hal itu tidak
akan terjadi.
Maka itu, tadi pagi aku memberanikan diri membuka akunku
lagi. Dan seperti dugaanku, akun Dien juga aktif. Tak berapa lama kemudian, dia
menyapaku
+ halo,
Aku merasa tengang. Tapi perlahan kujawab dia,
- ya,
+ bagaimana keadannya?
Dia menanyakan kabarku. Apa yang harus aku katakan? Haruskah
tiba tiba aku marah? Aku sungguh tidak tau. Yang aku lakukan selanjutnya
adalah, menuliskan kalimat ini :
- apakah ini Dien?
+ ya ini aku, kenapa? Apa kamu sudah lupa aku?
- Dien, …. Hubungi aku sekarang, ini nomor hapeku.
Aku memberinya nomor handphoneku.
Lalu Dien meneleponku sesaat kemudian.
“halo…” suara di seberang sana menyapaku. Jantungku serasa
berhenti. Suara itu, suara Dien, ya suara Dien. Suara yang aku rindukan
berbulan bulan lamanya. Aku tidak mampu berbuat apa apa lagi saat itu. Handphoneku jatuh tergeletak di lantai. Lalu
sejurus kemudian, air mataku jatuh berderai pula. Dengan mata yang sembab,
kuraih handphoneku, lalu kuputuskan
sambungannya. Dien mencoba menghubungiku lagi, tapi beberapa kali pula aku abaikan.
Dien mulai menuliskan apa yang hendak dia sampaikan di chating facebook. Tapi tanganku tidak
sanggup untuk menanggapinya. Layar facebookku
berkedip kedip biru dengan angka merah yang terus beratambah nilainya. Tapi aku
diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard. Saat itulah aku mendapat undangan
dari Dien untuk datang ke Blue Corner malam ini
> aku tau kamu masih di sana, (tulisnya), aku ingin
menjelaskan semuanya. Aku akan menunggumu di Blue Corner malam ini. Kamu tahu
kan tempat itu. Aku tidak perduli kamu mau datang atau tidak, tapi yang jelas,
aku akan menunggumu di sana, sampai kamu benar benar datang menemuiku.
Jantungku berhenti berdetak rasanya,
Blue Corner?
Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue
Corner malam ini?
“maaf bu, kita sudah sampai…” sapa petugas hotel itu ramah.
Perlahan aku bangkit dari alam ingatanku, kembali ke alam
nyataku.
Ah, akhirnya, akhirnya aku didepan Blue Corner juga sekarang.
“silahkan bu, saya tingal ibu di sini?”
Petugas hotel itupun kemudian pergi menginggalkan aku disini
sendiri. Aku menghela nafas panjang, lalu dengan memantapkan hati, aku membuka
pintu Blue Corner. Bayangan Ji, Kinan dan Kiran melintas didepanku bersama
dengan terbukanya pintu itu,
Ji, Kinan, Kiran, maafkan aku …..