Selasa, 27 Desember 2011

Tuhan memberiku Rp. 2.592.000.000,00 pertahun secara gratis. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Suatu hari, aku sedang bersama temanku yang menderita penyakit asma. Waktu lagi asyik ngobrol, temenku itu tiba tiba mengeluarkan botol kecil dari dalam kantongnya.

"apa itu? Tanyaku,
" ini oksigen murni."
" oh, buat apa?"
" aku kan astma, ini membantu aku untuk tetap bertahan hidup....."

Entah kenapa, percakapan antara aku sama temen aku itu tetap membekas dalam ingatanku sampai sekarang. Iseng mulanya aku kemudian mencoba menghitung hitung berapa kiranya biaya yang kita butuhkan kalau seandainya, udara yang kita hirup ini tidak di berikan secara gratis oleh Tuhan. Satu botol oksigen murni itu harganya Rp.195.000,00 untuk pemakaian maksimal 30 menit. Kalau di hitung hitung mengnngunakan logika matematika, anggaplah Tuhan memberikan kita diskon untuk pembelian oksingen murni ini jadi Rp.150.000,00 untuk bernafas selama 30 menit. Alasannya, kita sudah lama berlangganan oksigen, sejak lahir malah gegegegegege....

Jadi untuk bernafas selama satu jam saja, setiap orang harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 300.000,00. Kalau kita dalam satu hari hidup selama dua puluh empat jam, maka, uang yang harus kita keluarkan untuk bernafas dalam satu hari adalah 24xRp.300.000,00 = Rp. 7.200.000,00, dengan cara yang sama, maka kita butuh biaya Rp. 50.400.000 untuk bernafas selama satu minggu, dan Rp. 216.000.000,00 untuk bernafas selama satu bulan. Untuk satu tahun kita harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 2.592.000.000,00 Masyallah, tiba tiba saja pikiranku serasa berhenti untuk berfikir, gak mampu rasanya untuk menghitung lagi ketika aku mendapatkan angka Rp. 64.800.000.000,00. Itu adalah uang yang harus aku bayarkan untuk bernafas selama 25 tahun, selama masa hidup aku ini. Aku cuma bisa diam, terharu, kemudian mulai muncul bayangan segala dosa yang pernah aku lakukan. Tuhan sudah memberi aku Rp. 64.800.000.000,00 selama hidup 25 tahunku. Sedangkan aku? Aku telah membalasnya dengan melanggar banyak larangannya.

Tuhanku hanya meminta kita untuk solat lima kali sehari. Bila di setiap waktu solat kita butuh waktu 10 menit, maka dalam satu hari, kita hanya butuh waktu 5x10menit = 50 menit, atau seharga Rp. 250.000,00 dari nafas kita sehari. Padahal dalam satu hari, Tuhan sudah memberi kita Rp. 7.200.000,00 secara gratis untuk udara yang kita hirup. Ya Tuhan, betapa gak pantasnya aku. Betapa besarnya nikmat yang telah engkau berikan pada kami. Sedangkan untuk waktu solat yang sangat murah itu, hambamu ini masih enggan......

Kalau kita mau meneruskan menghitung hitung nikmat Tuhan yang diberikan secara gratis, cobalah lihat matahari. Setiap hari berapa energi yang dekeluarkannya untuk di pancarkan ke dalam kehidupan kita. Kalau matahari padam, tapi kita dan bumi ini masih utuh, maka dari mana kita akan mendapatkan energi yang kita butuhkan. Tanpa matahari, angin akan berhenti mengalir, yang berarti kita harus berpindah tempat setiap kali ingin bernafas. Tanpa matahari, tumbuhan tidak akan menghasilakan makanan, yang berarti, kita tinggal menghitung hari untuk menyambut kematian.....

Kemudian kita lihat jantung kita. Bila jantung ini mengalami gangguan, kita butuh dokter untuk memperbaikinya. Dan untuk perbaikan jantung ini (operasi jantung) kita harus membayar setidaknya Rp. 60juta sekali perbaikan. Itu biaya perbaikan kawan, bukan biaya pembuatan. Jadi berapakah yang sudah Tuhan gratiskan untuk kita untuk pembuatan jantung ini? Otakku yang lemah ini rasanya gak mampu untuk menghitungnnya.

Sekarang berapa biaya yang sudah di gratiskan Tuhan untuk nafas, untuk sinar matahari, untuk jantung? Kemudian untuk tangan kita, untuk mata…….

Aku cuma bisa tetunduk malu mengingat semua ini,
Malu mengigat setiap dosa yang sudah aku perbuat,
Malu untuk mengingat setiap solat yang aku tinggalkan,
Tergetar seluruh badan aku kita di bacakan untukku ayat yang terjemahannya

"maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
Ya Tuhan, maafkanlah kami....

repost dari :

Kamis, 01 Desember 2011

Aku Benci Kalian, Bloofers

Aku menggeram,

“aku benci kalian Bloofers, sungguh! Mulai sekarang jangan cari aku lagi. Dan aku tidak akan mengingat kalian lagi. Aku keluar…..”

Klik keluar dari grup, isi beberapa isian, selesai…..

***

Mataku mengerjap, memandang apa yang dilakukan kakakku.

“ini blogging,” jelas kakakku tanpa aku tanya. “Blogging itu mengasikkan Nan, kamu harus mencobanya suatu saat” kakakku melanjutkan atau lebih tepatnya, mulai nyerocos….

 Aku memandang kakaku lekat. Aku akui memang aku sedikit berbeda dengan kakakku yang satu ini. Kakak lebih terbuka, lebih ceria dan lebih supel dari pada aku. Aku cenderung pendiam tapi pantang menyerah. Aku termasuk orang yang gigih,tapi  itu menurut aku sendiri sih, semacam pendapat pribadi gitu J

 Aku juga jarang bertanya. Aku lebih suka mencari jawaban hal hal yang ingin aku ketahui lewat membaca atau cari infonya di internet. Tapi kakakku, menurut aku juga tipe orang yang kadang suka terlalu banyak bicara. Tapi dia cerdas, kakakku itu tau begitu banyak hal. Dia seperti gak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Ada aja hal yang dia omongin. Dari bola sampe presiden dia tau. Kakak kadang juga sering nyerocos tentang hal hal aneh yang aku gak tau sama sekali. Kemaren dia aku dengar sedang berbicara dengan serius pada seseorang lewat handphone-nya. Entah dengan siapa dia berbicara, aku juga tidak terlalu bisa menangkap apa yang dia bicarakan. Terlalu banyak istilah aneh yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Freemasonry, persaudaraan, lambang lambang pagan, ah, entahlah apa lagi. Terlalu aneh bagi aku. Dan hari ini kakakku nyerocos di depanku masalah blogging. Apa lagi itu?

“ Di blog yang kamu buat, kamu bisa mengisi dengan apapun yang kamu suka. Kamu bisa isi dengan karya kamu Nan, bisa kamu isi puisi puisi kamu, cerpen cerpen kamu. Kakak lihat kamu suka menulis tuh. Jadi mungkin blogging itu cocok buat kamu Nan. Selain itu Nan, kamu juga bisa isi blog kamu dengan apa yang kamu pikirkan, apa yang kamu rasakan, intinya, singkatnya kamu bisa isi blog kamu itu seperti kamu mengisi buku harian saja Nan. Kamu bebas curhat disana. Kamu kasi info tentang hobi kamu, tentang internet, tentang dunia komputer juga bisa Nan.” Aku mulia tertarik dengan penjelasan dari kakakku ini. Blogging, suatu hal yang baru bagiku, dan aku suka dan selalu tertangtang untuk mencoba sesuatu yang baru.

“Karena semua tulisan kamu itu di unggah di dunia maya, maka setiap orang yang berkunjung dan menggunakan internet, bisa membaca apa yang kamu tulis di blog kamu Nan. Mereka bisa mengomentari tulisan tulisan kamu, memberi penilaian atau sejenis itulah Nan. Maka itu blogging menurut kakak itu seru Nan. Percaya deh, kamu harus mencobanya suatu saat…” kakakku masih berusaha meyakinkan aku dengan penuh semangat.

“Tapi aku sudah punya Facebook dan Twitter kak. Sama aja kan sama blogging?’ tanyaku.

“ Ya jelas beda lah Nan, walau sebenarnya ada samanya sih sedikit, antara blogging, facebook atau twitter. Sama sama menulis di internet. Di facebook kamu bisa membuat catatan untuk menceritakan hal yang lebih dari sekedar dari status. Di twitter juga sama, tapi kan karakternya sangat di batasi Nan. Tapi di blog kamu bebas sebebas bebasnya. Kamu bisa kasi gambar, kamu bisa menulis sangat banyak. Sampe puas nulisnya. Selain itu, tulisan kamu di blog bisa di tampilkan sebagai hasil pencarian oleh google. Ne kakak kasih contoh…”

Kakakku membuka google. “ Ne misal kakak tadi posting di blog kakak tentang… nah yang ini, tentang internet dan pendidikan…., kalau kamu buka google, terus kamu ketik kata kuncinya….. enter….. jreng…  salah satu hasil pencarian dari google langsung menuju pada posting blog kakak tadi bukan? Keren Nan, blogging itu keren….kalau pengunjung google itu meng-klik tautan ini, berarti dia akan membaca apa yang kamu tulis di blog kamu Nan, keren kan? Tulisan kita di baca banyak orang”

Aku tersenyum. Aku rasanya mulai terpengaruh pada penjelasan kakakku ini. Blogging itu keren, blogger tentu kumpulan orang orang keren. Aku tersenyum lebih lebar.

“Gimana Nan? Keren kan. Kakak tau kamu pasti tertarik…. Hebatnya lagi Nan, kalau blogging kamu sukses, kamu bisa cari uang dari blog kamu..”

“wah, ya kah? Gimana caranya?”

Rupanya sekarang aku mulai benar benar tertarik pada dunia blogging. Apa lagi sekarang menyangkut uang. Siapa yang gak tertarik sama uang coba? Aku menajamkan telingaku, siap siap dengerin penjelasan kakakku selanjutnya. Tapi tepat bersaman dengan itu, bel rumah kami berdering.

“Nah Nan, ini kayaknya yang kakak tunggu tunggu sore ini Nan. Ini adalah bagian lain yang mengasikkan dari Bloging Nan.”

“ Tamu itu maksud kakak?” tanyaku

“ Ya Nan. Mungkin itu temen kakak, coba bukain sana, kalau cari kakak, bilang suruh tunggu di teras Nan, kakak mau ambil tikar dulu buat di gelar di depan”

Aku mengerutkan kening. “ Emang banyak yang mau dateng kak? Kok sampe gelar tikar segala?”

“ Nanti kamu lihat sendiri dah Nan, acara kakak sore ini pasti seru. Kopdar Nan….”

Walah apa lagi itu? Satu lagi istilah aneh yang di omongin kakakku. “ apa itu?” tanyaku penasaran.

Kakakku memandang aku sebentar, antara gak percaya dan ingin menjelaskan. Tapi, “ sudah sana buka dulu pintunya, kasian kalau tamunya nunggu terlalu lama, kakak mau ambil tikar dulu.”

“ Apa tadi?” tanyaku, belum juga beranjak dari tempatku. Sementara kakak sudah melangkah ke belakang buat ngambil tikar.

“ Apanya? Buka pintu?” kakakku menoleh.

“ Bukan, acara kakak sore ini sama temen temennya.”

“ Kopdar…”

“ Apa itu?

“ Buka dulu pintunya, nanti kakak kasi tahu…” kakak menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap aku.

“ Gak…!”

“ Nan, bukain pintu dulu, kakak mau ambil tikar ne, kasian tamunya….” Kakak berkacak pinggang, mulai gak sabar sepertinya.

“ itu temen kakak kan? Aku mau googling aja..”

“ Buka pintu nan….”

“ gak….! Aku mau cari arti kopdar di google..”

“ Nan….”

“ Gak, ….. aku mau googling….”

“ Awas kamu nan….”

Brak…..

Kututup pintu kamar, menguncinya dari dalam dan mulai nyalain komputerku. Aman sekarang. Kadang kakakku memang begitu, sok jadi bos menurutku. Dan  itu tidak menyenangkan sama sekali!

***

“ Nan, kamu dah punya blog ya?” tanya kakakku suatu siang. Hm, Kakakku sudah tahu rupanya.

“ Ya, kenapa?”

“ Rame yang dateng berkunjung?”

Aku menggeleng. Lesu.

“ Udah berapa lama?” tanyanya lagi.

“ Sebulan….”

“ Sebenarnya ada bebearapa trik buat menarik pengunjung ke blog kita Nan. Nanti kakak kasi tau kamu, sekarang kakak mau pergi berkemah dulu sama temen temen.”

“ Lama?”

“ Apanya?”

“ Kemahnya?”

“ Gak, Cuma seminggu aja kok. Kamu googling aja dulu, cari tau gimana caranya biar blog kamu laris.”

“ Males….”

“ tumben, “ kakakku menatapku dengan padangan gak percaya. Mungkin ini memang aneh waktu aku males tanya tanya sama mbah google.

“ Bisaanya kamu semangat cari cari di google. Kenapa sekarang kok ngambek sama mbah?” aku diam  aja. Mood aku lagi jelek sekarang. Mungkin karena mikirin blog aku itu, jadi sedikit stress rasanya. “ Gini aja, coba kamu gabung di facebook di grupnya para blogger. Mungkin itu bisa membantu sementara.”

“ Nama grupnya?”

“bloof, blog of friendship”

***

Ini sudah bulan ketiga aku ngeblog. Sudah sepuluh posting yang aku buat selama ini. Tapi kok gini ya? Blogku sepi sepi aja. Gak ada tanda tanda kemajuan. Aku jadi males mau ngeblog lagi. Blogging gak asik. Gak seperti apa yang kakakku ceritain sama aku.

Padahal aku dah gabungan di bloof seperti apa yang kakak seranin ke aku. Tapi hasilnya sama saja. Mengecewakan!

“ Halo Nan..” kakakku menyapaku sepulang sekolah. Aku lagi di depan tv waktu itu. Lagi nonton film kartun kesuakaanku. Aku cuek aja, habis  males aku sama kakak sekarang. Kakak gak bisa bantu aku blogging. Blog kakak pasti sukses tuh. Buktinya tiap malem dia begadang ngobrol sama temen temennya sesama blogger, apa lagi sama temen temenya di bloof, gak pernah absen kayaknya. Coba blog aku, mana pernah dia ke sana? Tahu namanya aja mungkin gak….

Kakak yang menyebalkan. Grup yang menyebalkan. Aku benci kakakku, aku benci bloofer semua….

“ Kamu kenapa Nan?” tanya kakkaku menyelidik. Aku diam saja, males….

“ Hei Nan, kamu kenapa? Ngambek ya?” dia kenapa sih? Kakak mulai usil dah kalau aku sudah diem begini. Apa gak tau dia kalau aku lagi males? Males ngomong, apa lagi sama kakak.!

“ Andai aku halal bagimu …..
Aku ingin menggenggam dan digenggam tanganmu
Aku ingin menjadi pelipur lara hatimu

Jika aku halal bagimu,
Aku ingin menjadi sandaran dan bersandar di bahumu…..” **

Hei, itu kan puisi yang aku posting di blog aku belum lama ini. Kok kakak tahu? Aku menoleh ke arah kakakku. Mungkin ekpresiku terlihat konyol sekarang.

“ hehehehhehehehe, kenapa Nan, wajah kamu kok jadi memerah gitu? Kayak sapi ompong kamu? “

“ Tau dari mana ?” tanyaku penasaran, surprise juga sebenarnya….

“ ehhehehehehhehehe, kamu posting seminggu yang lalu toh? Di blog kamu? “ inilah aku” itu nama blog kamu bukan?”

Kakak…., aku jadi terharu…. (lebay dah),  aku menundukkan kepala.

Kakak mendekat kearahku, lalu duduk di depanku dan memengang kedua bahuku. Nyata sekali kalau kakak begitu sayang sama aku. Aku saja yang kadang kadang egois. Ah tidak tidak, gak setiap saat kakak begini. Ini pasti ada maksud yang tersembunyi.

“ Nan, kamu tahu kan kalu di dunia ini kita gak bisa hidup sendiri? Gak bisa egois dan mau menang sendiri. “ aih, kakakku mulai nyerocos lagi neh, kali ini apa yang mau dia omongin?

“ Sini kakak tunjukkan sesuatu.

Kakak bangkit dari duduknya dan mulai melangkah ke depan komputer. Tapi aku tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku masih gak ngerti apa yang sebenarnya akan dilakukan kakakku yang aneh itu.

Kakak menoleh, “ Nan, sini, kakak tunjukkan sesuatu ini, mau tau gak?”

Seperti sapi yang sudah di tusuk hidungnya, aku bangkit juga dari tempat dudukku. Kakak menggeserkan kursi kecil agar aku bisa duduk di dekatnya. “Duduk sini Nan,”

Kakak mulai menyalakan komputer, membuka firefox, kemudian login di facebooknya sendiri. Halaman yang di tuju kakak tentu saja, gak lain dan gak bukan adalah halaman bloof, halaman grup yang aku benci  sekali.

“Bagiamana menurut kamu blogger blogger yang bergabung di bloof ini Nan?”

“ Mereka egois, aku gak suka, mereka gak pernah care sama Nan. Mereka cuma mentingin keinginan dan kemauan mereka sendiri, mereka gak pernah tau apa yang Nan mau dari mereka....”

“ Emang Nan ngerti apa yang di maui oleh bloofers yang lain?” kakakku memotong kata kataku.

Aku diam. Aku kesal, kesal sekali. Jadi kakak  memanggilku cuma buat ini? Jadi kakak sekarang lebih membela temen tememnya di bloof dari pada adiknya sendiri?

“ Aku benci kakak! Aku benci bloofers....” aku meradang. Kecewa sekali rasanya punya kakak seperti ini. Aku pergi meninggalkan kakakku sendiri. Pergi ke kamar dan mengunci pintu.

***

“ Nan, lagi ngapain?” mama menghampiri aku yang lagi asik dengan game onlineku di facebook sore itu. Aku diam saja. Males mau ngomong.

“ Nan di tanya mama kok diem aja? Nan lagi marah ya sama kakak?”

Aku diam. Dalam hati aku menggerutu. Mama sudah bahas ini. Pasti mama sudah tau kalau aku lagi berseteru sama kakak. Pasti kakak yang ngadu sama mama. Dasar anak manja. Apa apa mama, ini juga mama yang dilibatin. Anak mama banget sih kakakku itu.

“ Nan, mama tahu kalian sedang marahan sekarang. Mama mendengar kemaren ribut ribut kalian berdua. Nan marah sama kakak kenapa?”

“ Habis kakak tuh ma, sukanya belain temen temennya di bloof, bukannya belain aku. Eh malah kakak belain mereka.”

“ Oh ya? Emang kamu ada masalah Nan sama temen temen kakak di bloof itu? Mereka bloger bukan?”

“ Ya, Nan benci mereka.....”

“ Nan benci anak anak Bloofers? Kenapa?”

“ Mereka egois ma, setiap Nan posting tautan terbaru di grup itu, gak ada yang mau nanggepin tautan Nan itu. Padahal Nan kan juga pengen blog Nan di kunjungi. Bukan cuma blog mereka yang mesti dikunjungi....”

“ Apa Nan pernah berkunjung ke blog mereka? “

Aku diam. Dalam hati kecilku, aku mengakui kalau memang aku gak pernah berkunjung ke blog manapun. Bahkan blog kakak. Oh ya, blog kakak apa ya namanya? Nan gak tau....

“ Apa Nan pernah meluangkan waktu nan buat berinteraksi sama mereka di luar bahas dan sekedar posting tautan blog Nan di sana?

Aku diam. Kemudian menggeleng lesu. Aku menunduk....

“ Apa itu perlu...? “ tanyaku lemah.

Mama tersenyum. Lalu dengan lembut merangkulku.

“ Nan, dunia maya itu gak jauh beda sama dunia nyata Nan. Di dunia maya itu juga ada dan terjadi hukum timbal balik Nan. Kalau kamu mau blog kamu di kunjungi oleh orang lain. Maka rajin rajinlah blog walking ke blog orang lain. Kasi komentar di blog mereka, tinggalin jejak kamu di buku tamunya.  Dengan berkomentar di blog mereka. Itu berarti Nan sudah menghargai jerih payah mereka untuk membuat tulisan di blog itu. Nan senang kan kalau ada yang berkunjung dan berkomentar di blog Nan?”

Aku mengannguk.

“ Nah begitulah juga mereka Nan, mereka juga sama seperi Nan. Mereka juga ingin blognya di kunjungi dan di komentari tulisannya. Maka lakukanlah itu, otomatis mereka akan mengingat Nan, menjadikan Nan teman mereka yang tidak terlupakan dan akan mengunjungi blog Nan tiap ada posting baru. Jangan pernah menuntut orang lain melakukan sesuatu sedang kita tidak pernah melakukan hal itu. Hukum sebab akibat juga berlaku di dunia maya Nan. Kamu mengerti itu Nan?”

Aku menggangguk. Bangkit dari pelukan mama lalu tersenyum.

“ Kakak mungkin bisa memberi solusi lebih dari pada yang mama bisa tentang blogging Nan.”

“ Kakak di mana ma?”

“ di depan komputer.” Mama tersenyum.

“ Blogging?”

“ Ya,”

“ Nan mau menemui kakak ma....”

Mama tersenyum. Maafkan aku kakak, maafkan aku bloofers. Sekarang aku akan jadi teman yang baik buat kalian....

** puisi itu pernah di posting di :


fakta  :
-          Apa jenis kelamin Nan?
-          Umur berapa dia kira kira?
-          Apa jenis kelamin kakak?
-          Berapa usia kakak menurut kalian?

Semua bebas kalian terjemahkan dan bayangkan sendiri ....

Blog resmi Bloof : http://bloofers.      ......org/

Jumat, 25 November 2011

Blue Corner

 
Layar facebookku berkedip kedip biru, lalu muncul angka kecil dalam lingkarang merah yang terus bertambah naik nilainya. Tapi aku diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard.

Blue Corner? 

Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue Corner malam ini?

***

Sebenarnya aku masih belum begitu percaya ini. Blue Corner? Benarkah? Ataukah aku salah baca? Apakah Dien tadi menuliskan blur corner? Sudut blur? Bukan sudut biru? Benarkah? Aku tak yakin. Begitu banyak yang terjadi, begitu banyak pertanyaan dalam otakkku sekarang. Aku merasakan sensasi yang benar benar membingungkan malam ini. bahagia, tentu, aku merasakannya. Tapi bahagia di balik debaran yang halus dan teramat menyiksa. Kalau nanti Kiran tahu, apa kata dia? Sungguh aku tak mau makin terpuruk di hadapannya. Kiran, bagaimanapun dia adalah putriku, anak yang sangat kusayangi. Hasil pernikahan dan buah cintaku bersama ji, suamiku.

Ji, …

Ji, maafkan aku. Malam ini aku mengigatnya lagi. Ya.., ji, dan setiap kali aku mengingatnya,  air mataku tumpah. Seperti juga saat ini. ketika aku menunggu taksi datang untuk menghadiri undangan, atau tepatnya, kencan pertamaku dengan Dien.

Waktu aku masih muda dulu, saat aku masih bunga desa yang lugu, yang mekar bersama teman teman di desaku, Ji mungkin bukan lelaki pertama yang aku kenal dan mampu menarik perhatianku. Sebelum ji, aku sudah pernah mencintai seorang yang lain secara serius. Aku pernah suka pada beberapa orang yang hadir sebelum ji hadir. Dan aku kira itu manusiawi bukan? Manusiawi kalau sebagai wanita yang normal, aku jatuh hati pada sosok seorang lelaki. Aku kira, hampir setiap orang yang tercipta kedunia ini, pasti pernah mengalami apa yang aku alami dalam hidupnya. Mencinta lebih dari satu orang!

Tapi cuma ji yang mampu membuktikan kalau cintaku ini berharga dan patut di balas dengan cinta yang indah pula. Maka itu, ji mengikatku dalam pernikahan. Membawaku ke istananya yang penuh dengan warna. Ji menjadikan aku wanita yang bangga telah menjadi ibu dari anak anaknya yang lucu. Ibu bagi Kinan dan Kiran. 

Ji mampu membawa keluarga kami menjadi keluarga yang indah. Walau kami hidup dalam kesederhanaan, tapi kami bahagia. Walaupun kami bukan keluarga yang bergelimang harta, tapi setidaknya, hidup kami berkucukupan. Ji, bukan pilihan yang salah untuk aku jadikan sebagai seorang suami. Ji rajin dalam bekerja, ulet dalam usahanya. Dia di senangi oleh teman temannya dipasar. 

Ji terkenal sebagai orang yang menyenangkan dalam lingkungan tetangga kami. Dan ji, sangat menyayangi aku, Kinan dan Kiran. Itu semua, cukup Kiranya bagiku sebagai alasan mengapa aku harus mencintainya, dan menghormatinya sebagai kepala keluarga kami. 

Bertahun tahun suasana itu terus terjalin. Aku, ji, Kinan dan si bungsu Kiran hidup sebagai keluarga yang saling melengkapi. Anak anak kami tumbuh dengan penuh kasih sayang. Semua perhatian yang berusaha aku dan ji berikan tidak membuat mereka merasa kehilangan masa kecilnya. Kami mendidiknya dengan keras sesekali, agar mereka tegar menghadapi gelombang kehidupan ini. 

Tapi, setenang tenangnya lautan, pasti ada juga badai yang datang untuk menguji kapal yang berlayar di atasnya. Seperti rumah tangga kami. Bukan juga tanpa masalah. Tapi kadang, masalah yang kecil, datang menerpa kehidupan kami. Pertengkaran pertengkaran kecil yang kemudian terjadi seiring usia pernikahan kami, mulanya bisa kami selesaikan dengan baik. Tanpa harus ada yang merasa melukai dan terlukai. Tapi semakin lama biduk rumah tangga ini kami lalui, semakin besar pula masalah yang harus kami hadapi, semakin beragam corak dan caranya datang.

Kadang hatiku goyah saat itu, kadang aku seperti kehilangan pegangan dan arah tujuan hidupku. Tapi dalam keadaan seperti itu, ji selalu ada buat aku. Ji selalu ada untuk menggenggam erat tanganku, menuntunku dalam setiap ketidak pastian yang aku rasakan. Ji selalu mampu menghapuskan segala setiap coretan hitam dalam jiwaku akibat goresan gelombang kehidupan itu. Ji selalu ada, untuk memberikan bahunya yang kekar saat aku menangis, memberikan dadanya yang bidang untuk tempatku bersandar kala duka, membuka tangannya lebar lebar untuk mendekapku bila aku kehilangan diriku sendiri. Ji, semakin lama, dia semakin membuatku yakin aku tidak pernah salah telah memilihnya dulu.

Bahagia dan sempurna, merupakan kata kata yang paling tepat untuk menggambaran keadaan keluarga kami saat itu. Tapi, seperti firman Tuhan, ketika sesuatu terlihat begitu sempurna, maka tunggulah ketidak sempurnaanya menampakkan diri. Dan hal inilah yang kemudian menjadi beban pikiranku..

“dinda, kenapa pagi ini dinda kelihatan lesu?” pagi itu ji bertanya padaku. Rupanya keresahan ini, terbaca olehnya di raut wajahku. Hatiku tersentuh. Begitu besarnya tautan hati kami. Jantungku berdegup lebih kencang.

“abang, kenapa bertanya seperti itu?” tanyaku mengalihkan perhatiannya. 

“itu, dinda kelihatan lesu, apa yang dinda pikirkan..”

Aku tersenyum, berusaha semanis  yang aku bisa. “mungkin aku capek aja bang, kerjaan kemaren numpuk, …” kilahku.

Ji tersenyum. Manis sekali, begitu menyejukkan jiwaku. Ji mendekat, meraih kepalaku, lalu mengecup lembut keningku, melambungkan jiwaku ketempat paling sahdu yang pernah manusia rasakan.

“dinda, kalau capek, istirahatlah, nanti abang bantuin kerjaanya…”

“kerjaan abang sendiri sudah banyak bang, rumah tangga masih bisa dinda kerjakan kok …. “

Pagi itu pembicaraan kami berlanjut. Tak seperti biasanya, ji pagi itu kelihatan tidak terburu buru berangkat kepasar mengurusi dagangannya. Dia seperti hendak berlama lama denganku. Pagi itu kami bicara banyak hal, lebih banyak dari yang biasanya kami bicarakan, lebih serius juga rasanya.

“juga tentang Kiran dinda, ingin rasanya aku Kiran itu cepet cepet nikah din. Setidaknya, sekarang ini umurku masih ada….”

“bang ji…” sergahku “ kenapa abang bicara seperti itu bang ….”

“ hidup manusia siapa yang tau dinda, abang bisa pergi kapan saja, bisa sekarang bisa besok atau ….”

“bang ji….! Abang ini ngomong apa sih bang, abang ini masih sehat, gak pantas ngomong seperti itu bang….”

“sekarang ini musimnya orang mati mendadak din…”

“musim? Emang mangga ada musimnya….”

Ji tertawa terkekeh…., aku merasakan wajahku merona sebentar…

“nah itulah din, sebelum tiba waktu abang, abang ingin sekali melihat Kiran menikah …” entah kenapa, mendengar kalimat itu di tuturkan ji, ada sebersit rasa perih yang menjalar di hatiku. Sebentar, sedikit, tapi perih sekali. Tiba tiba saja, selintas, bayangan hidup sendiri tanpa sosok ji di dekatku melintas cepat dan kuat. Menekan jiwaku. “menikahkannya di depan para undangan, melihat calon menantuku seperti apa, h,mmmmm….. “ kali ini ji seperti orang yang sedang menerawang, seolah memandang menembus masa depan “gagahkah? Gantengkah? Kayakah? Atau dari orang yang biasa saja …..”

Aku terdiam. Tak bisa menjawab apa yang ji lontarkan. Pertanyaan itu, telah lama pula muncul dalam benakku. Tapi aku simpan dalam dalam. Mungkin setiap ibu yang memiliki anak perempuan akan bertanya hal yang sama denganku “ tapi apapun pekerjaannya, siapapun dia, semoga dia bisa jadi yang terbaik buat Kiran, buat aku, juga buat dinda, …..”

***

Pagi itu ji berangkat setelah sekali lagi mencium keningku. 

Aku kemudian kembali tenggelam dalam kesibukannku di rumah. Menyapu, ngepel, memasak, sampai mencuci baju seluruh anggota keluarga. Termasuk baju Kinan dan Kiran, karena kedua anakku itu, sudah mampu mandiri saat itu, mereka bedua sudah bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Walaupun terkadang mereka ngotot untuk mencuci baju mereka sendiri.

Saat seluruh pekerjaanku rampung, seorang tetanggaku yang juga bekerja di pasar, datang mengetuk pintu.
“lo, tumben jam segini kamu ke sini. Gak jualan?” tanyaku. wajahnya memerah, seperti sedang terburu buru dan gelisah sekali. Aku kira, dia sedang kepanasan terpanggang matahari dalam pejalanan dari pasar ke sini.

“emmm, …” dia seperti kehabisan kata kata untuk berbicara, atau berusha merangkai kata yang paling cocok untuk diucapkan. “ ini…. ini….”

“kamu ini kenapa, aku ambilkan air dulu ya, kamu minum dulu ya, … kepanasan rupanya kamu ..”

“ gak.. gak usah …., ini tentang bang… bang ji…”

Mendengar nama suamiku di sebut, mendadak seperti ada yang menyentak di otakku. Aku menengang.

“bang ji? Ada apa dengan bang ji? ….” Tanyaku tak sabar.

“em.. ikut saja aku kepasar ya, bang ji sedang butuh bantuan…”

“ada apa dengan bang ji..” tiba tiba saja aku histeris, seperti sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Jantungku berdegup kencang sepanjang jalan. Berbagai pertanyaan dan terkaan timbul dan tenggelam dalam otakku.

Aku berhambur turun dari sepeda motor dan terus berlari kearah tempat bang ji berjualan begitu tiba di sana. Ada ambulan, banyak orang berkerumun, ada yang menangis, berdesas desus, wajah mereka menegang. Saat aku sudah dalam hitungan langkah, seorang ibu yang aku kenal berjualan di sebelah  ji, berhambur memelukku. Aku kaget. Kaget sekali. Aku menyeruak di antara kerumunan orng orang. Dan saat aku melihat apa yang terjadi, aku berteriak histeris, berhambur kearah tubuh  ji, memeluknya, memanggilnya, lalu suara orang berseru seru, gaduh, dan setelah itu, semua menjadi gelap. Gelap sekali.

***

Hari itu ji pergi untuk selamanya.

“serangan jantung bu, jantung ji berhenti berdetak mendadak” jelas dokter yang memfisumnya saat itu.
Sejak saat itu rasanya duniaku berhenti untuk berputar. Aku kehilangan arah. Sungguh!

Aku seperti hidup dalam kegelapan.  ji pergi menginggalkanku, meninggalkan Kinan, meninggalkan Kiran, menginggalkan keluarga bahagia kami. ji pergi meninggalkan segala impiannya…

“mana janjimu untuk menikahkan Kiran bang…. “ aku meradang, berhari hari lamanya.. “Kiran belum menikah bang, dia putrimu satu satunya bang…., sekarang siapa yang akan menjadi wali nikahnya.. siapa bang… bangun bang, bangun…. Jangan tinggalkan aku bang, jangan tinggalkan Kiran…, “

Aku seperti orang yang kehilangan segala kewarasanku. Aku lebur dalam dunia yang penuh dengan kegelapan. Aku tidak pernah berfikir dan masih belum pernah siap untuk menghadapi keadaan seburuk ini. aku pergi meninggalkan Tuhanku. Aku memprotesnya, meninggalkanNya karena Dia sudah meninggalkan aku, Dia sudah mengambil  ji dari aku. Meninggalkan aku dalam kegelapan yang tanpa batas. Aku meradang, untuk sekali lagi dan lagi…

Pada saat saat seperti itu, yang ada hanyalah pelukan dari Kiran. Dia memelukku dalam pelukan hangatnya. Kiran, putriku yang cantik itu, begitu pandai menenangkan aku. Dia sungguh pandai mengubah setiap kata, mengolahnya seolah seperti seorang koki handal yang mengubah tepung menjadi roti yang siap mengusap setiap rasa laparku. Mengisi jiwaku dengan anggur yang terbaik yang pernah ada.

Juga Kinan, putra sulungku itu. Dia sering mengganggam tanganku dalam genggamanya yang hangat. Menyalurkan ribuan semangat untuk jiwaku yang sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk melanjutkan hidup. Dialah yang menyuapkan suap demi suap nasi ketika aku tidak lagi tahu bagaimana caranya menggenggam sendok. Kinan dan Kiran, mereka selalu ada untukku kapan saja, bahkan di saat aku dalam keadaan yang paling terpuruk sekalipun. Aku bangga memiliki mereka sebagai darah dagingku.

Waktu berlalu dengan cepat dan lambat sekaligus. Aku pernah hilang diantara bilangan waktu. Aku seperti orang yang tidak lagi berjalan bersama jalannya waktu. Aku hampa, aku kosong, jiwaku tak sini. Dia sesekali pergi meninggalkanku untuk menemui ji di alam imajinasi. Palsu dan tidak pernah nyata. Yang membuatku, pada saat seperti itu, semakin terpuruk dalam keputusasaan dan kehampaan.

Semua seperti tak nyata. Seperti mayanya dunia yang kemudian aku kenal. Dunia tak nyata yang bernama facebook.

Ya, facebook, perkenalanku dengannya, mengubah setidaknya sebagian dari hidupku. Sebagian dari jiwaku, mengembalikannya pada nostalgia masa mudaku. Aku, di buatnya seperti masih seorang gadis yang belia. Yang mendambakan seorang pemuda yang akan mempersuntingku. Membuat aku seperti remaja putri yang selalu merasa pantas untuk di cintai dan di perebutkan.

***

Satu tahun sudah ji meninggalkanku. Dan tepat di satu tahun kepergian ji, Kiran melangsungkan pernikahannya. Ya…, akhirnya Kiran menikah juga.

Hari ini perasaanku kembali teraduk. Antara bahagia dan kesedihan yang mendalam. Aku bahagia akhirnya Kiran mendapatkan jodohnya. Menjalin jalinan suci dalam ikatan rumah tangga. Aku berdoa di malam pernikahan mereka, agar mereka bisa bahagia selamanya, bersama selamanya, bisa saling mengisi dalam suka dan duka. Seperti aku dan ji dulu.

Ji, hari ini, dipernikahan Kiran, aku mengingatmu kembali. Dan setiap mengigatmu, air mataku selalu jatuh tak bisa aku tahan. Dan itulah ji, karena itulah aku bersedih. Aku sedih karena dirimu ji. Karena ketidak adaanmu di sini ji, Karena di saat seperti  ini, kamu tak ada di sini ji. Ji, bukankah dulu kau berjanji untuk menikahkah Kiran, menjadi wali di hari pernikahannya? Ji, hari ini Kiran menikah ji, dengan seorang pemuda yang sesuai keinginanmu. Dia mungkin tidak terlalu tampan ji, tapi aku yakin dia adalah orang terbaik yang disiapkan Tuhan untuk Kiran, putri kita tercinta.

Ji, aku bahagia hari ini, tapi rasa sakit akan kehilangan dirimu membuat rasa itu seperti tak pernah lengkap. Tak pernah seperti yang aku inginkan ji. 

Semua kini hanya bisa aku tuangkan lewat dunia maya, dunia yang mereka sebut “Facebook” atau FB, bergitu mereka menyebutnya. Perlahan namun pasti, Fb mulai merasuki kehidupannku. Segala gundahku, segala curhatku, segala benci dan senangku, aku tumpahkan disana. Di hadapan ratusan teman dunia mayaku.

Perlahan, Fb memberiku tempat yang berbeda, tempat yang nyaman, yang aku butuhkan, yang bisa mengerti  aku sepenuhnya. Aku temukan persahabatan di sana, aku temukan canda, aku temukan tempat mencurahkan segala isi hati. Tapi tetap ji, aku tidak pernah menemukanmu di sana.

Ji, aku rindu ……

***

Sebuah taksi berwarna biru langit berhenti tepat di depan rumah ini. Aku beringsut, menyeka air mata, lalu bergegas pergi keluar halaman. 

Sopir taksi itu menanyakan apakah aku yang menelepon taksi tadi?

“Ya pak, ke restoran Blue Safir ya.” 

Sopir taksi itu mengiyakan perkataanku, membukakan pintu dan tersenyum semanis mungkin. Hanya saja mungkin dia tidak bisa menyembunyikan mimik penasaran di wajahnya. Aneh, itu mungkin kesannya terhadapku. Baru kali ini mungkin ada orang yang akan berangkat ke restoran Blue Safir dengan mata yang sembab.

Aku duduk di bangku belakang, dingin dan sendiri. PiKiranku masih di penuhi tanda tanya. Blue Corner di Blue Safir setahuku adalah tempat luar biasa. Tempat itu hanya bisa di pesan oleh orang orang yang berkantong tebal. Untuk pesan tempat itu saja, butuh uang senilai hampir lebih dari satu bulan gajiku. Itu belum untuk pesan makanan dan fasilitas tambahan lainnya. Kabarnya, Blue Corner itu adalah sebuah ruangan dengan view terbaik di kota ini. Bertempat di lantai 16 sebuah gedung bertingkat dengan pemandangan yang terbuka ke salah satu sudut kota yang menhadap ke laut. Tempat paling “hangat” dan paling romantis. Tempat ini biasanya di pakai untuk pertemuan keluarga, perjamuan tamu tamu penting atau sejenisnya.

Dan sekarang Dien mengundangku ke sana. Udangan yang terlalu istimewa untuk orang yang baru benar benar pertama kali ditemui. Dien, siapkah kamu yang sebenarnya?

Dien mulanya hanya sebuah nama diantara begitu banyak nama teman teman dunia mayaku di facebook. Aku tidak begitu ingat bagaimana kami berteman awalnya, entah aku yang add atau sebaliknya dia yang add  aku duluan. Aku sudah lupa. 

Tapi seiring berjalannya waktu, sosok Dien secara perlahan, menjadi sosok yang begitu menyita perhatianku. Dia begitu sopan, hangat, dan terkesan sangat berpendiidikan. Dien, secara garis besarnya, mampu membuat aku merasa nyaman berada di antara orang orang yang tidak aku kenal di dunia maya itu.
Tapi, tidak bisa aku pungkiri, kalau gara gara Dien jugalah aku harus meninggalkan Kiran dan Kinan. Meninggalkan kampung halamanku, bahkan meninggalkan tanah air di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. 
Ya…., semua itu gara gara Dien.

Gara gara dia aku terusir. Disingkirkan oleh anakku sendiri. Dinista oleh keluarga besar yang seharusnya menjaga aku yang sudah renta ini. Dien, semua ini gara gara dirimu…..

Semua berawal dari ketika aku mulai kehilangan kendali dan tidak bisa lagi mengatur waktuku untuk berselancar di dunia maya. Setiap hari, aku duduk didepan computer, menenteng laptop Kiran atau Kinan, online  lewat handphorne. Hanya untuk membuka satu  halaman : Facebook! Sekedar Cuma buat update status, chatting,  atau membalas dan komentar komentar teman teman dunia mayaku. Dan Dien adalah salah satunya. 

Mulanya Kinan dan Kiran serta keluarga besar menganggap itu masih dalam batasan yang wajar. Wajar kalau aku membutuhkan pelarian untuk bisa melupakan ji, atau setidaknya, meringankan beban piKiranku saat aku harus kehilangan orang yang sangat aku cintai. 

Mulanya, semua berjalan apa adanya, mengalir bagai air di mata air, mengalir dengan tenang dan terkendali. Aku online,  tapi masih tidak melupakan siapa diriku sebenarnya, masih bisa untuk melakukan pekerjaan pekerjaan lain yang harus aku lakukan. Aku masih bisa mencuci, bisa memasak, membantu membersihkan rumah walau sekarang sudah ada pembantu yang melakukan semua pekerjaan itu.

Kehidupan ekonomi kami sekarng membaik. Kinan sudah bekerja dan berpenghasilan tetap. Begitu juga dengan Kiran, walaupun dia tidak memiliki pekerjaan, tapi suaminya perlahan namun pasti mulai menduduki jabatan penting di tempatnya bekerja.

Dari sana juga awalnya. Kecemburuan kecemburuan sosial itu mulai terjadi. Gesekan orang orang yang sirik terhadap kehidupanku mulai lambat laun aku rasakan.

Semua berawal dari hal sederhana, dari gunjingan gunjingan tetangga yang tidak suka melihat orang lain merambah sukses. Mereka berargumen tanpa bukti. Mulai dari saat saat belanja di peracangan yang tiap hari lewat di jalan di depan rumah sampai pada arian RT/RW. Bahkan sampai akhirnya seluruh isi pasar juga tau apa yang terjadi menurut versi mereka.

Maka mulailah aku malu. Mulaiah tidak ada tempat buat aku untuk membela diri lagi. Aku tersudut sebagai seorang tua yang beranak dua tapi tidak pernah becus untuk mengurusi kedua anaknya. Maka mulailah aku di kenal sebagai orang tua yang tak tahu diri, yang menumpang di rumah anaknya tapi gak bisa berbuat apa apa buat membalasnya. Maka mulailah aku di kenal sebagai orang yang di pertanyakan kewarasannya karena telah sering mereka melihatku tertawa sendiri di depan rumah dengan handphone atau laptop di pangkuanku. Tidakkah mereka tahu apa itu dunia maya? Tidakkah mereka tahu apa itu facebook? Apa itu chatting? Aku pikir mereka terlalu naïf!

“mereka sudah besar, sudah bisa mengurus diri mereka sendiri” kilahku suatu hari. Tapi mereka tidak mau mendengar. Seolah mereka sudah buta dan tuli. Hanya hati mereka yang penuh dengan prasangka. Penuh dengan iri dan kebencian mendalam akan diriku.

“seharusnya dia sadar..” bisik mereka satu hari di sebuah kenduri. Bahkan mereka sudah tidak perduli kalau aku ada di belakang mereka dan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.

“ya, tidak tahu malu” yang satu lagi menimpali.

“sudah enak jadi orang kaya, tapi gak tau bagaimana berterimakasih”

“kasian anak anaknya, Kinan itu, kerja banting tulang siang malam, itu buat siapa coba. Kinan kan belum punya istri..”

“yang lebih kasian lagi itu sebenarnya suaminya si Kiran, masak di porotin gitu? Katanya sih, kalau minta minta gak diturutin, bisa bisa panas tuh isi rumah berhari hari…”

Dan gunjingan itu terus berlanjut. Dari satu orang keorang yang lain, dari satu rumah kerumah yang lain, hingga suatu hari, semua gunjingan itu, sampai juga ke telinga besanku. Ke rumah orang mertua Kiran yang tenang.

Aku tak berharap banyak mulanya. Cuma aku tahu, kalau mereka itu adalah orang berpendidikan dan terpandang. Setahuku, orang orang seperti itu tidak akan menanggapi gossip gossip murahan yang di hembuskan orang orang yang gak jelas seperti mereka.

Tapi ternyata aku salah. Aku salah….

Ternyata kehidupan tidak memihak kepadaku. Aku mulai terasing bahkan dalam keluargaku sendiri. Aku makin merasa tidak menemukan siapapun untuk berbagi di dunia ini. Bahkan aku mulai merasa kehilangan menantuku satu satunya, kehilangan Kinan kemudian, lalu Kiran! Ya aku kehilangan Kiran kemudian. Aku menangis, aku sedih, aku sendiri. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan…

Aku begitu terpuruk, aku begitu merasa lemah. Dan saat itulah, aku melihat kalau kematian itu mungkin lebih indah dari pada hidup yang aku jalani sekarang ini.

Tapi Dien datang menawarkan kesejukan bagiku. Dia datang dengan tangannya yangterbuka. Siap menyambutku dalam hangatnya persahabatan. Ya…, walau itu hanya lewat dunia maya.

Dien,

***

Aku menyeka air mataku. Ingatanku membawaku pada memori terberat dalam hidupku. Kenangan di mana aku terusir dari rumahku sendiri. Terusir dari tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar hidupku. Tempat dimana aku merajut kenangan kenangan indah berasama ji, bersama Kinan dan Kiran. Memori saat Kiran, anakku itu, yang aku cintai, mengusirku dari rumahnya sendiri, dari rumah yang aku berikan padanya atas dasar dia malu punya ibu seperti aku…

Ya, akhirnya,…

Akhrinya aku tahu kalau selama  ini Kiran telah malu punya ibu semacam aku. Ibu yang tidak berguna, ibu yang dipergunjingkan oleh tetangganya. Seorang ibu yang di pandang hina bahkan oleh keluarga mertua dari Kiran sendiri. Aku ibu yang benar benar memalukan di depan matanya.

Malam itu Kinan dan Kiran bertengkar hebat di depan kamarku. Mereka bersama menantuku berdebat panjang tentang aku. Membisikkan argument argument mereka satu sama lainnya. Mereka bertenkar berbisik. Tapi dengan bisikan yang keras, bisikan yang memekakkan telingaku. Bisikan yang  lebih kejam di telingaku dari dengungan seribu lebah beracun.

Tapi ibu tidak tuli, Kinan, ibu tidak tuli Kiran. Ibu tidak tidur,

Ibu mendengar apa yang kalian bicarakan malam itu. Ibu tahu semua itu. Maka jangan salahkan ibu bila ibu pergi di pagi buta itu. Di saat kalian masih tertidur pulas bersama mimpi mimpi indah kalian. Ibu pergi anak anakku, karena ibu tidak lagi ingin menjadi beban di kehidupan kalian. Ibu pergi, atas undangan seseorang.  Seseorang yang selama ini mampu menengkan hati ibu saat hati ini gundah.

Dia adalah Dien, 

Ya, Dienlah yang mendukung kepergianku malam itu. Hanya handphone dan beberapa potong pakaian yang aku bawa serta. Tidak ada yang lain. Di hatiku, aku hanya membawa galau. Galau sekali : meninggalkan anakku dan menyambut uluran tangan dari seorang yang belum kenal sepenuhnya. Aku pergi hanya bergantung pada sebuah janji. Janji Dien untuk membuat aku bahagia, menjadikan aku permata di hatinya. Memberiku kehangatan yang hilang dari hidupku. Kehangatan yang hilang bersama perginya Ji, hilangnya Kinan dan Kiran, kehangatan yang pergi bersama arus air yang berputar di kepalaku. Aku kalut,
Tapi sungguh aku seperti tidak memiliki pilihan lagi. Kalau kalian jadi aku, apa yang akan kalian lakukan? Di saat kalian di kucilkan, di musuhi, di anggap hina, terusir dari kehangatan sebuah keluarga, lalu apa yang akan kalian lakukan? Sedang di sana, di seberang negeri sana, ada orang lain yang mengulurkan tangannya dengan indah untuk menerimamu? Aku juga masih seorang manusia, manusia yang membutuhkan kehangatan dalam hidupnya.

>  malam ini, menginaplah di hotel, besok pagi aku transer semua biaya yang kamu butuhkan.
Itu sms dari Dien, malam itu, ketika aku terisak pergi di tengah gelapnya malam.

>  besok pagi, akan ada orangku menemui kamu, menguruskan semua kebutuhan kamu, dalam waktu dekat, kamu akan terbang ke sini. Aku akan menunggumu,

Aku terisak dalam dalam malam itu, ada desiran hangat di dalam dadaku diantara jutaan sembilu yang begitu tega mengiris persaanku. Aku terggugu dalam diam, aku gontai dalam melangkah. Aku hendak kembali, pulang kerumah dan memeluk mereka semua, kemudian melupakan Dien dan janji janjinya, lalu berpura pura aku tak tahu apa yang sudah terjadi. Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa berbuat begitu. Dengan langkah berat, dengan hati yang gontai, sampai akhirnya, di ujung malam itu, di pagi yang masih buta. Aku merebahkan tubuh rentaku di atas dipan hotel. Sendiri, sepi, hanya beraneka suara tak jelas yang berdengung di kepalaku, di sekelilingku, mengutukiku, membuatku lelah, lelah sekali…..

***

Taksi berwana biru itu melambat, lalu berbelok ke dalam halaman sebuah hotel megah entah bertingkat berapa. Tapi setidaknya, hotel ini berlantai lebih dari enam belas lantai. Karena Blue Corner terletak di lantai enam belas, tapi Blue Corner tidak terletak di lantai paling atas dari hotel ini. Aku tidak bisa memikirkannya, bukan waktunya aku kira untuk menebak berapa lantai hotel Blue Safir ini di bangun. PiKiranku sekarang cuma tertuju pada satu hal : benarkah Dien mengundangku ke Blue Corner malam ini? Aku masih bimbang.
Taksi berhenti tepat di depan lobi utama hotel Blue Safir. Aku membayar ongkos taksinya. Tapi sebelum turun, aku minta waktu pada sopir taksi yang budiman itu untuk di izinkan menyeka airmataku dan memperbaiki beberapa bagian make up-ku yang luntur karena air mata. 

Aku menghela nafas panjang, lalu bergegas keluar dari taksi. Aku coba mengukuhkan hatiku. Menata perasaanku. Sejenak aku terpaku di sana. Hanya diam saja, menatap penuh ketegangan ke arah pintu masuk hotel ini. Aku mendesah. Ingin rasanya tiba tiba aku berbalik saja, masuk lagi ke dalam taksi yang mengantarkanku tadi dan kembali pulang. Ya pulang, mungkin itu jauh lebih baik dari pada melakukan hal  yang bodoh di sini. Bagaimana nanti kalau apa yang ada di dalam Blue Corner bukan seperti apa yang aku bayangkan? Bagaimana nanti kalau di sana ternyata tidak ada Dien yang menungguku? Aku menoleh ke belakang, hendak berhambur masuk lagi kedalam taksi biru tadi. Tapi, taksi itu sudah melaju perlahan, meninggalkan aku di sini berbaur dengan angin malam dan perasan galauku. Aku mendesah, memejamkan mataku dan menguatkan hatiku.

“Ada yang bisa kami bantu bu?” tanya seorang petugas hotel kepadaku yang diam mamatung. Aku mencoba tersenyum, walau sulit sekali rasanya.

“Ouh ya, saya…. Em… begini…” bagaimana aku menjelaskannya?

“Ya, bagaimana?” jelas sekali dia mencoba dengan keras untuk membuatku merasa nyaman.

“Saya, saya mempunyai janji dengan seseorang di hotel ini. Di …. Di .. di Blue …. Blue…..” aku meruntuki diriku sendiri, aku terlihat gugup sekali malam ini, itu pasti!

“Blue Corner maksud ibu?” tanya petugas hotel itu,

“Nah ya itu dia, Blue…. Blue Corner,” aku sedikit lega. Entah sejak kapan tiba tiba nama itu menjadi sejenis nama hantu bagiku. Blue Corner ….

“Oh, kalau begitu mari saya antar bu, kita cek dulu di resepsionis. “

“Oh begitu ya, “

Petugas hotel itu membawaku ke meja resepsionis. Di sana mereka menanyakan beberapa keterangan dan identitasku. Aku panas dingin rasanya. Tak percaya kalau akhirnya ini benar benar terjadi.

“Baik ibu kalau begitu, Bapak Dien sudah menunggu ibu sejak setengah jam yang lalu. Bisa kami antar ibu ke Blue Corner sekarang?”

Aku kelalapan. Dien? Setengah jam yang lalu dia sudah di sini? Aku seakan masih belum percaya juga. Mimpikah ini?

“Bagaimana bu?” resepsionis itu bertanya lagi.

“O… o ….. Ok…. Ok…., bisa, bisa sekarang…”

Dan detik detik menuju Blue Corner adalah detik detik penuh ketegangan dalam hidupku. Aku masih trauma sebenarnya pada kejadian setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu. Hari di mana merupakan hari pertama kau menginjakkan kaki di negeri ini. Negeri yang sama sekali asing bagiku.

Hari itu, setelah beberapa jam penerbangan, akhirnya, sampailah aku di negeri ini. Negeri di mana Dien tinggal. Dari bandara, aku di jemput oleh orang kepercayaan Dien, lalu di antarkan ke sebuah hotel mewah di dekat bandara.

Aku mengiriminya sebuat pesan singkat. Dan tidak berapa lama kemudian, Dien menghubungiku lewat telepon hotel. Dari suaaranya, jelas sekali terpancar kebahagian dan semangat Dien begitu tahu aku ada di sini. Dien meneleponku hampir setengah jam lamanya. Dia menjelaskan beberapa rencana sehubungan kedatanganku di sini.

Dia berencana merekutku sebagai pegawai pada perusahannya. Karena  dia tau, walau begini, aku mempunyai ijasah S1 dan pengalaman kerja yang cukup di masa mudaku dulu. Itu membuatku senang. Dien juga menjanjikan untuk membantuku mendapatkan rumah di negeri itu dengan mudah. Atau setidaknya, kalau pun tidak, aku bisa menempati apartemennya yang ada tak jauh dari bandara ini. Dan tentang itu aku merasa keberatan. Aku lebih suka kalau nantinya bisa mendapatkan rumah sendiri dan menyicilnya dengan gaji yang aku dapatkan dari bekerja di perusahannya.

“Tidak masalah,semua bisa di atur” katanya sebelum akhirnya dia berpamitan dan menutup teleponnya.
Tapi aku tidak pernah menyangka kalau itu adalah telepon pertama dan terakhir yang aku terima dari dia selama aku berada di negeri ini. Karena setelah itu, Dien menghilang, nomor teleponnya tidak bisa di hubungi, facebooknya juga tidak lagi aktif. Dien menghilang, seperti di telan bumi. Entah apa yang ada dalam piKirannya saat itu, atau entah apa yang sebenarnya terjadi kemudian. Aku tidak pernah tau. Yang jelas, tidak ada kabar lagi dari dia setelahnya, tidak melalui facebook atau melalui media lain.

Aku benar benar shock waktu itu. Aku di sini, di negeri asing ini, seorang wanita, seorang diri, tanpa kerabat, tanpa teman, tanpa siapapun yang aku kenal. Aku tidak tahu bagaimana caranya aku mencari sosok Dien di negeri ini. Aku tidak mempunyai teman yang bisa memberiku keterangan tentang keberadaan Dien, walaupun teman itu juga berasal dari negeri ini. Negeri ini begitu luas, bahkan kota inipun begitu luas untuk menemukan dengan mudah sesorang diantara ribuan orang disini.

Aku putus asa sekali waktu itu. Aku menyesal. Menyesal sekali, mengapa dengan mudahnya aku meninggalkan kampung halamanku, meninggalkan Kiran dan Kinan, anak anaku itu, hanya karena gunjingan tetangga dan janji janji dari seorang lelaki yang baru saja aku kenal? Aku menangis tersedu di kamar hotel itu. Aku merasa aku adalah wanita paling bodoh waktu itu. Aku merasa kalau aku benar benar mahluk yang paling hina waktu itu. Kalau saja aku tidak ingat dosa dan kebesaran Tuhan, pasti aku sudah bunuh diri waktu itu. Tapi sukurlah, masih ada iman yang cukup di dadaku.

Selang beberapa hari kemudian, seorang teman di negeri ini berinisiatif untuk membawaku kerumahnya. Mulanya aku menolak. Aku tidak ingin merepotkan orang lain, apa lagi dia sudah berkeluarga. Tapi atas beberapa pertimbangan dan saran dari teman teman dunia maya yang bersimpati akan kisahku, akhirnya aku menerima juga tawaran itu.

Mulai saat itu, aku tinggal bersama dia di rumahnya yang sederhana. Mengingatkanku pada rumahku sendiri di kampung halamanku. Temanku itu, punya dua anak, laki laki dan perempuan. Mereka masih duduk di sekolah pendidikan dasar di negeri ini. Melihat kedua anak itu, aku jadi teringat akan Kinan dan Kiran sewaktu mereka kecil dulu. Tak terbendung, air mataku tumpah. Aku rindu pada mereka, aku rindu pada Kinan dan Kiran. Mereka pasti mencariku sekarang. Tapi, aku yakin mereka tidak akan menemukan aku di sini. Nomor handphone ku sudah aku ganti dengan nomor operator lokal negeri ini. Penyesalan dalam diriku kian membuncah. Aku semakin merasa buruk dan terpuruk waktu itu.

Sebulan setelah itu, aku mendapatkan pekerjaan yang aku anggap bagus untuk wanita seusiaku. Mulai saat itu, aku mulai juga menata hati, menata kehidupanku. Aku tahu aku pernah terpuruk, aku tahu aku pernah jatuh. Tapi aku sadar, bahwa bagaimanapun hidup ini harus terus di lanjutkan. Bagiamanapun, hidup ini harust terus di perjuangkan, seperti apa yang aku selalu ajarkan pada Kinan dan Kiran.

***

Berbulan bulan lamanya, aku berjuang untuk menata hidupku kembali setelah itu. Kehidupanku mulai membaik kembali. Keluarga temaku itu begitu hangat menerimaku. Mereka benar benar mengganggapku bagian dari keluarga besar mereka. 

Sekali lagi, aku menemukan hidupku setelah sempat meredup. Sekali lagi hidupku berwarna dengan indah. Hingga suatu hari,ketika aku sedang berselancar di dunia maya mengisi waktu kosongku, sesuatu yang di luar dugaan terjadi. Akun facebook  Dien aktif kembali.

Dia menyapaku lewat sarana chating  disana. Aku terpana, seolah tidak percaya. Setelah pergi begitu lama, benarkah sekarang Dien kembali? Aku benar benar shok melihatnya. 

Buru buru aku menutup laptopku, lalu bergegas tidur.

Tapi mataku tidak bisa aku pejamkan sedikitpun. Bayangan Dien, bayangan masa laluku, bayangan JI, semua tiba tiba bercampur aduk, datang dan menjelama di depan mataku. Kemudian bayangan Kinan dan Kiran. Kemudian ingatan akan kampung halamanku. Semua tiba tiaba saja muncul kala itu, seperti kaset film yang di putar ulang. Aku terguncang, dan untuk sekian kalinya, aku kembali tidak bisa membendung air mataku.

Aku menangis sendiri.

Hari hari berikutnya aku tidak membuka akun dunai mayaku. Aku merasa takut, takut sekali. Sebuah ketakutan aneh yang berisi harapan. Aku takut kalau apa yang aku lihat itu hanyalah sebuah fatamorgana. Aku takut kalau itu bukan benar benar Dien yang menyapaku. Tapi aku berharap, berharap sekali kalau yang menyapaku beberapa hari yang lalu itu adalah Dien. Aku berharap Dien akan meneleponku, tapi aku sadar, aku sudah dua kali ini mengganti nomer handphoneku. Jadi jelas, hal itu tidak akan terjadi.
Maka itu, tadi pagi aku memberanikan diri membuka akunku lagi. Dan seperti dugaanku, akun Dien juga aktif. Tak berapa lama kemudian, dia menyapaku

+ halo,
Aku merasa tengang. Tapi perlahan kujawab dia,

-  ya,
+ bagaimana keadannya?

Dia menanyakan kabarku. Apa yang harus aku katakan? Haruskah tiba tiba aku marah? Aku sungguh tidak tau. Yang aku lakukan selanjutnya adalah, menuliskan kalimat ini :
- apakah ini Dien?

+ ya ini aku, kenapa? Apa kamu sudah lupa aku?

- Dien, …. Hubungi aku sekarang, ini nomor hapeku.

Aku memberinya nomor handphoneku. Lalu Dien meneleponku sesaat kemudian.

“halo…” suara di seberang sana menyapaku. Jantungku serasa berhenti. Suara itu, suara Dien, ya suara Dien. Suara yang aku rindukan berbulan bulan lamanya. Aku tidak mampu berbuat apa apa lagi saat itu. Handphoneku jatuh tergeletak di lantai. Lalu sejurus kemudian, air mataku jatuh berderai pula. Dengan mata yang sembab, kuraih handphoneku, lalu kuputuskan sambungannya. Dien mencoba menghubungiku lagi, tapi beberapa kali pula aku abaikan.

Dien mulai menuliskan apa yang hendak dia sampaikan di chating facebook. Tapi tanganku tidak sanggup untuk menanggapinya. Layar facebookku berkedip kedip biru dengan angka merah yang terus beratambah nilainya. Tapi aku diam membatu. Tanganku kaku di atas keyboard. Saat itulah aku mendapat undangan dari Dien untuk datang ke Blue Corner malam ini

> aku tau kamu masih di sana, (tulisnya), aku ingin menjelaskan semuanya. Aku akan menunggumu di Blue Corner malam ini. Kamu tahu kan tempat itu. Aku tidak perduli kamu mau datang atau tidak, tapi yang jelas, aku akan menunggumu di sana, sampai kamu benar benar datang menemuiku.

Jantungku berhenti berdetak rasanya,

Blue Corner? 

Aku seakan tak percaya. Dien, benarkah kau mengundangku ke Blue Corner malam ini?

“maaf bu, kita sudah sampai…” sapa petugas hotel itu ramah.

Perlahan aku bangkit dari alam ingatanku, kembali ke alam nyataku. 

Ah, akhirnya, akhirnya aku didepan Blue Corner juga sekarang.

“silahkan bu, saya tingal ibu di sini?”

Petugas hotel itupun kemudian pergi menginggalkan aku disini sendiri. Aku menghela nafas panjang, lalu dengan memantapkan hati, aku membuka pintu Blue Corner. Bayangan Ji, Kinan dan Kiran melintas didepanku bersama dengan terbukanya pintu itu,

Ji, Kinan, Kiran, maafkan aku …..