Jumat, 01 Februari 2013

Salahkah Kalau Aku Juga Selingkuh 2



(Bagian sebelumnya bisa dibaca di sini)


Detak jantungku berpacu kencang seiring ketukan sepatu Hest di lantai hotel menuju lift. Keringat dingin mulai menjalari sekujur tubuhku. Perutku sekarang terasa begitu melilit. Semua seakan serba salah. Aku harus apa? Putar badan dan pulang? Atau lanjut terus dan menodai pernikahanku sendiri?

Aku seperti tidak dalam diriku malam ini. Setan apa ini yang begitu kuat mencengkram jantungku dan membutakan otakku? Aku benar-benar seperti sapi yang sudah di cocok hidungnya. Tanpa daya! Kemanapun majikannya pergi, kesanalah aku melangkah.

Bahkan koridor hotel ini terasa begitu panjang. Lift yang membawa kami naik dua lantaipun serasa teror waktu yang menggelayuti pikiranku. Nadiku mendidih begitu pintu kamar terbuka. Haruskah aku masuk?

"Kenapa bengong di sana?" Suara Hest membuyarkan lamunanku. Aku melempar senyum sambil mengedikkan bahuku.

***

"Aku lelah sekali," Hest mendesah seraya menghempaskan tubuhnya diatas ranjang. Matanya terpejam, berusaha dipejamkan tepatnya.

Aku melangkah ke arah kursi beberapa meter dari ranjang king size itu. Pergolakan dalam hatiku ini masih terus saja berlanjut. Rasa bersalah dan hasrat kelaki-lakianku kini sampai pada puncak pergulatannya. Lelaki mana yang tidak akan tergerak melihat seorang yang selama ini diidam-idamkan tergeletak pasrah di depannya. Setiap lelaki normal akan bergejolak dadanya. Begitupun aku!

Aku berdiri mematung memandang apa yang ada di depanku. Selangkah aku melangkah maju kearah kearah Hest yang terlihat begitu lelap. Aku tahu dia belum tertidur sepenuhnya, tapi rasa lelah yang menderanya, memaksanya untuk sejenak mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. Saat kakiku akan membuat langkah yang kedua, ada satu warning halus namun tegas di kepalaku. Sekali lagi, wajah setia istriku melintas sekilas di pelupuk mata.

Aku melangkah mundur dengan limbung. Saat kakiku serasa tidak lagi mampu menyanggah beban tubuhku, aku jatuh terhempas kebelakang, tepat pada kursi kayu bergaya abad pertengahan yang lembut itu. Sekali lagi aku merasakan kebuntuan. Aku mendesah, kali ini aku ingin benar-benar berteriak. Kupejamkan mataku, kutekan kuat keningku, sedapat mungkin kuhempaskan segala rasa ini.

"Kamu kenapa?" Suara lembut Hest membuyarkan lamunanku. Aku tergagap dibuatnya.

"Ah..., ti..., tidak. Aku, aku baik baik saja."

"Aku ingin memejamkan mataku sebentar. Kamu bisa menunggu bukan?"

"Ok, gak masalah," kegugupan yang menderaku tak bisa aku sembunyikan dari nada bicaraku. Hest pasti bisa merasakan apa yang terjadi padaku saat ini, ataukah dia sudah salah mengartikan keresahan ini dengan gejolak hasrat yang terlarang? Dia melempar senyum dari bibir merah ranumnya kearahku. Hatiku berdesir sakit, sekali lagi. "Kalau begitu, aku mau mandi dulu. Tidurlah."

"Bangunkan aku satu jam lagi ya."

"Ya...."

***

Satu jam sudah berlalu ketika ketukan lembut di pintu terdengar. Nasi goreng pesananku tadi sudah datang rupanya.

Seorang petugas hotel berpakaian seragam krem tersenyum lembut ketika pintu kubukakan. "Selamat malam, pak," sapanya beramah tamah.

"Selamat malam."

"Nasi goreng pesanan bapak."

"Oh, silahkan. Terimakasih ya."

"Mau diletakkan dimana pak?"

"Di atas meja saja."

"Boleh saya masuk kalau begitu, pak?"

"Silahkan...."

Petugas hotel itu bergegas masuk, meletakkan sepiring nasi goreng dan jus jeruk diatas meja, lalu melangkah keluar kamar. Dengan ramah, dia berpamitan sebelum keluar dari kamar.

"Tolong tutup pintunya lagi ya," seruku sebelum dia benar-benar keluar dari kamar.

Petugas hotel itu membalikkan badannya tepat diambang pintu. Tangan kanannya meraih anak kunci manual yang tadi aku tinggalkan tergantung di pintu, lalu menggenggamnya erat-erat. "Pak, maaf, ada seseorang yang ingin bertemu bapak."

Keningku berkerut. "Tamu?" Tanyaku bingung.

"Ya, pak."

Siapa yang ingin bertemu denganku malam-malam begini? Di sebuah hotel? Rasanya tidak ada seorangpun yang tahu kalau malam ini aku bermalam di sini bersama Hest.

"Siapa?"

Pintu kamar perlahan terbuka melebar sebelum pertanyaanku dijawab dan rasa heranku belum juga pergi sedikitpun. Sesaat kemudian, masuk sesosok wanita berpakaian serba hitam ke dalam kamar ini.

"Selamat malam," sapa tamu tengah malam itu lembut. Tatapannyapun lembut menatap kedua mataku. Senyumnya merekah dari bibir merah ranumnya, tapi rona kesedihan yang menggelayuti wajah cantiknya tidak bisa dia sembunyikan.

Tamu tengah malam itu memang cantik. Dia menawan dengan gaya berjalannya yang sangat aku kenal. Rambut hitamnya yang panjang terurai dan cincin ditangannya itu, adalah rambut dan cincin yang setiap hari aku lihat di rumah. Aku hafal betul bagaimana sejarah rambut hitam itu memanjang dengan perlahan dari pangkalnya yang kokoh. Begitupun dengan cincin itu. Aku masih ingat betul bagaimana cincin itu bisa dia dapatkan. Cincin pernikahan yang mahal harganya. Bahkan bagaimana perasaan dan debaran jantung dari lelaki yang menyematkannyapun aku tahu, masih aku ingat sampai sekarang. Aku tahu semua itu, hafal setiap detik sejarahnya, karena akulah lelaki yang menyematkannya di sana. Aku adalah suaminya, ayah dari anak-anaknya!

"Gladis...?"

"Bagaimana pesta malam ini sayang?" Tanyanya seraya mendekat kearahku. "Menyenangkan?"

Aku tak tahu harus berkata apa. Aku cuma berdiri mematung di tempatku. Aku serasa buntu, tak bisa berfikir, bahkan bergerak kecil sekalipun. Tubuhku serasa di strum listrik ribuan volt saat jemari istriku menyentuh lembut dadaku.

Di tempat tidur Hest menggeliat. Aku reflek menoleh padanya. Aku berharap Hest tidak membuka matanya sebelum aku bisa menyelesaikan masalahku dengan istriku. Aku berharap dengan sangat, tapi kenyataan berkata lain. Hest membuka mata indahnya perlahan, dan saat matanya terbuka sempurna, bayanganku dan istrikulah yang pertama kali jatuh di retina matanya.

Hest bangun dengan terburu buru. "Si, siapa dia?" Tanya Hest setengah menjerit.

"Halo, mbak." Gladis sudah melangkah mendekati Hest sebelum aku sempat menyadarinya. Gladis mengulurkan tangannya kearah Hest. Mengajaknya bersalaman. "Aku Gladis, istri mas Kems. Nama mbak siapa?"

"Istri?" Hest nanar mendesis. "Istri...?" Tanyanya lagi, semakin histeris. Matanya tajam menatap mataku. Ada bara api membara di sana. Siap membakar apapun yang dia pandang.

Hest menjelma singa betina yanng terluka kulitnya. Diraihnya tas coklat yang dia bawa tadi dari atas ranjang. Hest kemudian bergegas bangkit. Dengan nafasnya yang memburu akibat kemarahan yang memuncak, di tunjuknya wajahku dengan tangan kirinya. "Teganya kau....!!!" Hest meraung.

"B*@?#'...!!!" Hets mengumpatiku. Tanpa aba-aba, Hest berhambur ke arah pintu, tapi pintu dengan cepat menutup. Petugas hotel berseragam coklat itu menjegal langkah Hest. Dikuncinya pintu itu sebelum Hest bisa meraih pegangannya. Hest berhenti saat menabrak tubuh petugas hotel itu. Hest sekali lagi meraung.

"Buka pintu itu...!!!" Hest meraung di depan wajah si petugas hotel. Bukannya menyerahkan kunci pintu pada Hest, si petugas hotel justru mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Hest tidak bisa meraihnya. Bersamaan dengan itu, si petugas hotel membuka wig yang dia kenakan. Wig itu memang sedikit aneh menurutku sejak awal aku melihatnya tadi. Wig dengan bentuk poni panjang itu menutupi seluruh dahi si petugas hotel sampai hampir menutupi matanya juga.

Begitu wig itu terbuka, giliran akulah yang kembali terperanjat. "Rania...??!!" Seruku. Suaraku hanya berupa desis. Tertahan di tenggorokanku. Rania, dia adalah kisah cintaku yang lain sebelum aku menikahi Gladis. Belakangan aku baru tahu kalau dulunya Rania adalah sahabat karib Gladis. Aku tak pernah menyangka kalau malam ini akan berakhir sedemikian dramatisnya.

"Kau kenal dia juga?" Hest kembali meraung. "Kau memang benar-benar ba*#@¤#...!!!" Hest mengumpat kearahku. "Berikan kunci itu! Berikan!! Aku muak, aku mau pergi...!!!" Hest berusaha merebut kunci dari tangan Rania. Usaha Hest sia-sia. Rania lebih tinggi dari Hest. Dia mulai brutal. Hest mulai menendang dan mendorong Rania. Sesaat kemudian, mereka mulai bergelut.

Aku berhambur kearah mereka. Kupeluk tubuh Hest dari belakang untuk memisahkannya dari Rania. Diakhir usahaku, tubuh kami terpental kebelakang. Hest jatuh terjelebab dalam pelukanku, tapi dia masih terus berusaha memberontak. Hest meronta dan terus berteriak. Dia baru berhenti saat dia menyadari kalau usahanya sia-sia saja.

Malam itu semua kecamuk berakhir di sana. Hest tertunduk lemah dalam pelukanku. Gladis menangis sesenggukan di kursi bergaya abad pertengahan tadi, sedangkan Rania terlihat kuyu bersandar pada tembok di dekat pintu.

Aku?

Jangan lagi tanya bagaimana aku. Malam itu, aku seperti seonggok daging tanpa jiwa. Mati disaat aku masih bernafas!

***

Hembusan angin siang yang terik ini terasa begitu menyiksa kulitku. Panas dan perih menyentuh setiap pori-pori tubuhku yang terisi berabad kepedihan. Aku akhirnya takluk pada kenyataan. Seluruh kebanggaan akan keperkasaan sebagai seorang lelaki sekarang sudah luruh. Tunduk takluk di depan kelembutan hati seorang wanita.

Setelah malam itu, aku tidak pernah lagi menghubungi Hest. Hest menghilang begitu saja dari hidupku. Begitu menyiksa sebenarnya hari-hari yang aku lalui setelahnya. Bayangan kebahagiaan bertemu dengan seorang pujaan hati di masa lalu melebur dalam kubangan penyesalan yang tiada tara. Apakah aku pengecut karena tidak bernyali menghadapi Hest setelah semua sakit yang aku tancapkan kehatinya lagi ini? Aku tak berani membela diri.

Hest....

Hari ini aku mengenangnya lagi. Hampir utuh semua kisahku bersamanya. Sejak awal aku menatapnya untuk pertama kali, kemudian harapan yang kami bangun sampai pada rasa sakit tentang perpisahan kami. Semuanya! Semua rasa itu saat ini bertemu pada suatu siang yang terik. Aku mendesah. Air mataku menetes, menyesal. Pelukan terakhirku untuknya di kamar hotel itu menyisakan seribu jarum yang menancap di relung-relung dadaku.

Aku sebenarnya ingin membantunya keluar dari semua derita pada awalnya. Derita yang dia ceritakan dalam rintikan air mata di wajah sendunya, tapi tanpa sadar aku sudah menikamnya dengan kejam. Melumpuhkannya sampai tak berdaya sungguh.

"Aku lelah," katanya saat itu. Dia bercerita padaku tentang suaminya yang mulai bertingkah. Tentang pernikahan mereka yang sudah dalam tanda-tanda tidak dapat dipertahankan lagi. Hidupnya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Melanjutkan hidup bersama orang yang tidak lagi dia cintai demi anak-anaknya, atau memilih pergi untuk mencari kebahagiaan dirinya. Egoiskah dia bila dia kemudian pergi meninggalkan semua masalah dibelakangnya?

Ada harapan besar padaku saat pertama kali kami bertemu. Harapan besar akan kebahagiaan hidupnya dan untuk tidak melepas tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Sekarang kebahagiaan yang kami rancang itu hilang lenyap menyisakan seribu sembilu pada hidup kami masing-masing. Begitu bodohnya aku. Begitu nistanya tangan yang telah dengan sengaja memeluk tubuh yang seharusnya tidak dijamahnya itu. Tubuh yang harusnya di jaganya dengan sepenuh hati, beserta seluruh jiwa raganya.

Disisi lain Gladis berkata sudah sepenuhnya memaafkan segala khilafku. "Setiap orang punya salah, punya nafsu, tapi juga harus punya fikiran dan hati yang jernih untuk memaafkan," ujarnya suatu hari. Semudah itukah? Setegar itukah? Wanita.... Mereka memang selalu sulit untuk dimengerti. Mereka tegar dan kuat dalam kelembutannya yang tiada tara. Mereka bisa memaafkan lebih dari apa yang bisa dilakukan lelaki. Mereka adalah mahluk paling misterius yang pernah Tuhan ciptakan.

"Mas...," suara Gladis membuyarkan lamunanku siang ini.

"Ya...."

"Bagaimana kabar Hest?" Hatiku mencelos mendengar pertanyaanya. Hest? Kenapa dia justru bertanya tentang wanita yang karenanya hatinya telah terluka?

"Bagaimanapun dia seorang wanita, mas. Dia rapuh dalam ketegarannya sekalipun. Carilah dia, mas. Selesaikan apa yang sudah mas mulai ini."

Aku menatapnya tanpa berkedip. Wanita! Sampai detik inipun aku belum bisa benar-benar memahami mereka ternyata.


sumber gambar dari sini :


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
READ MORE - Salahkah Kalau Aku Juga Selingkuh 2

Baca juga yang ini