Jumat, 25 Januari 2013

Who Are You, Master

Sudah berjam-jam aku duduk di pinggir jalan ini. Dua puluh meter dari kerumunan orang yang sedang asyik menonton sebuah pertunjukan jalanan. Apa yang istimewa dari pertunjukan kali ini? Entahlah, aku tak tahu pasti.

Pertunjukan jalanan seperti ini memang bukan hal yang tak biasa di negeri ini. Lumrah. Di musim seperti ini, dimana matahari bersinar cerah dengan sinarnya yang lembut, di sepanjang jalan di pusat kota ini berderet orang-orang dengan segala pertunjukannya. Banyak diantara mereka yang cuma diam berjam-jam dengan kostum yang membuatku berdecak kagum. Bayangkan, Berjam-jam! Aku heran ada orang yang mampu tidak mengubah posisinya selama itu. Apalah mereka tidak merasakan badan mereka pegal-pegal setelahnya? Aku lebih heran lagi ketika orang yang sama terlihat lagi keesokan harinya. Masih dengan kostum yang sama, dan kembali tidak bergerak selama berjam-jam.

Waktu kecil dulu, aku pernah ngotot pada ibu untuk didandani seperti orang yang aku temui di pinggir jalan suatu sore. Gagah sekali, dengan seluruh tubuh dicat warna coklat tanah, pedang buatan yang tampak sungguhan, dan dengan badan berotot besar hanya terbalut kain berwarna kuning emas di pinggannya. Tampak gagah sekali. Mengingatkanku pada karakter-karakter jagoan dari abad pertengahan yang sering aku lihat di tv. Ibu mengabulkan keinginanku dengan sarat aku harus sungguh-sungguh dan tidak boleh menangis. Aku sanggupi syarat yang ibu berikan dengan penuh pasti. Dengan bangga, aku berkoar bahwa aku bisa bertahan sehari penuh tanpa bergerak sekalipun. Hmmmm, apa yang kemudian terjadi? Belum satu jam kemudian aku pulang dengan tangis berderai menahan sakit di pinggangku. Selalu ada senyum tersungging di bibirku kalau aku ingat kejadian itu saat ini. 

Manusia tanah yang gagah berotot itu adalah kejadian yang tak bisa aku lupakan. Karakter pengamen jalanan pertama yang pernah aku kagumi. Aku masih menyimpan fotonya sampai sekarang. Fotonya berdua denganku.

Setelahnya, bertahun-tahun kemudian, aku masih bisa menyaksikan begitu banyak pertunjukan lain yang serupa. Semua indah. Penuh dengan karakter masing-masing, tapi tak satupun yang aku kagumi melebihi karakter manusia tanah itu. Apa bedanya? Sering kali aku berfikir keras tentang hal itu, tapi sampai sekarangpun aku tidak pernah menemukan jawabannya. Unik dan beda saja yang aku rasa tentang dia. Sayangnya, aku tak sempat bertanya siapa dia sebenarnya sebelum dia benar-benar pergi.

Sampai hari ini ketika tiba-tiba aku menemukan lagi satu pertunjukan yang mampu membuatku terpaku, aku masih belum tahu siapa manusia tanah itu sebenarnya. Pertunjukan kali ini bukan pertunjukan tunggal seperti pertunjukan manusia tanah itu. Mereka bertiga. Yang dilakukannyapun aku rasa bisa dilakukan oleh banyak orang yang lain, tapi yang ini berbeda. Ada hal yang unik yang tidak bisa aku jelaskan dari cara mereka membawakan pertunjukannya.

Satu yang hari ini berpakain putih tulang itu adalah seorang mc aku kira. Dia sibuk bicara saja dalam bahasa inggris yang fasih sejak tadi. Dari bentuk wajahnya dia pasti bukan orang lokal atau orang dari negara-negara dekat sini. Sekali pandang saja setiap orang akan langsung terbayang wajah-wajah orang asia. Asia jauh. Mungkin tenggara atau timur, entahlah. Dia enerjik, dengan mimik wajah yang selalu pas dengan suasana. Unik, enerjik.

Satu lagi seorang penari. Aku ragu dia lelaki atau wanita. Tubuhnya yang gemulai dengan gerakan yang halus, lembut, lalu berubah kasar dan beringas dengan seketika mengingatkan aku pada karakter tari tradisional dari bali. Aku pernah nonton tarian serupa di Youtube sewaktu aku mencari referensi liburan keluar negeri. Bali. Aku tahu nama itu, tapi aku tidak tahu dimana tempatnya. Negeri yang indah dengan ombak dan pantai yang mengagumkan, katanya. Tarian dan adat yang masih terjaga kelestariannya. Bali, warna tradisonal dengan nama yang mendunia. 

Ah..., penari itu! Dia mengingatkanku pada impian mendalamku untuk mengunjungi tanah para dewa. Hatiku semakin menggebu untuk menabung lebih banyak lagi uang untuk secepatnya bisa terbang ke sana. Bali!

Perlahan aku turun meninggalkan balkon tempat dimana sejak berjam-jam yang lalu aku menyaksikan atraksi mereka. Aku ingin menontonnya dari jarak yang lebih dekat. Rasanya ada detail-detail kecil dari sang penari yang aku lewatkan sejak tadi. Aku yakin pasti akan lebih mengagumkan kalau aku menyaksikannya dari dekat.

Benar saja, ketika aku duduk bersimpuh tepat di depan mereka, dugaanku itu benar. Bukan saja gerakan kasar-lembut-gemulai-rancak yang bisa memanjakan mataku, tapi gerakan jemari, leher, bahkan mata dari penari itu sungguh memikat. Baru kali ini dalam hidupku aku menyaksikan secara langsung mata yang bisa berputar dengan indah seperti itu.

Tak lama kemudian pertunjukan digantikan oleh satu anggota mereka yang lain. Satu orang yang berpakaian hitam dengan kepala plontos itu aku yakin adalah pesulap, magician. Bisa aku tahu langsung dari apa yang dia lakukan. Sama seperti yang seperti magician yang lain, pertunjukan trik sulapnya mengagumkan. Tapi yang ini beda. Dimana bedanya? Aku tak tahu. Ada satu daya tarik sendiri yang terpancar dari caranya membawakan trik-trik sulapnya. Caranya berinteraksi dengan penonton juga unik. Bagaimana bisa dijelaskan? Entahlah. Yang aku tahu, ini adalah kolaborasi pertunjukan yang 'beda'.
Begitu terpukaunya aku sampai-sampai aku aku tidak menyadari saat mc mereka mengumumkan kalau pertunjukan hari ini sudah usai. Aku sibuk dengan khayalanku sendiri bahwa aku adalah salah satu dari mereka, orang-orang unik yang mengagumkan itu. Betapa membahagiakan dan membanggakan rasanya bisa menjadi seperti mereka. Unik dengan cara mereka sendiri.

Mereka segera berkemas dengan cepat, dan mulai meninggalkan tempat pertunjukan mereka dengan menyeret tas besar tempat aksesoris pertunjukan mereka ditempatkan. Aku berlarian mengejar mereka sebelum sang magician benar-benar melangkahkan kakinya keatas bus yang akan membawa mereka entah kemana. Sang mc dan penari sudah lebih dulu masuk ke dalam bus.

"Hai, master..., who are you?" Aku berteriak sambil berlari mengejar bus yang sudah mulai menderu. Sang magician sempat menoleh kearahku. Dia tak menjawab, hanya tersenyum sebelum kemudian menghilang ditelan pintu bus. "What's your name....!!!?"

Aku melambatkan gerakan lariku dengan nafas yang terengah-engah. Sudah terlambat, pikirku. Mereka sudah pergi. Besok masihkah mereka akan kembali ke sini lagi? Ada harap dan putus asa yang merebak bersamaan di dadaku. Aku pasrah.

Aku terpaku di pinggir jalan. Berdiri sendiri menatap bus merah itu membawa mereka pergi. Siapa mereka? Mereka mengagumkan. Sungguh! Aku akan menyesal kalau aku sampai kehilangan jejak orang-orang hebat itu. Tapi kemana harus aku cari? Aku ingin bertanya lebih tentang Bali pada penari itu. Negeri para dewa. Aku ingin bertanya dari mana mc itu belajar berkomunikasi. Aku juga ingin tahu bagaimana magician itu membangun pesonanya.

Belum jauh bus merah itu melaju, sang magician menjulurkan kepalanya keluar jendela. Dengan senyumnya yang khas, dia menatapku lembut. Sedetik kemudian, dia melempatkan selembar kertas kearahku. Kertas itu melayang tersapu angin mendekat kepadaku. Detik berikutnya, hatiku terlonjak membaca apa yang tertulis di sana. 

"I'm Deddy Corbuzier, a magician."

Deddy Corbuzier. Aku tersenyum tanpa sadar. Semoga ini bisa menjadi pintu jalan bagiku untuk tahu siapa dua orang hebat yang lain itu. Who are you, master?


Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone
READ MORE - Who Are You, Master

Baca juga yang ini