Senin, 20 Oktober 2014

Nur

Aku mengingatnya dengan tertegun. Dia...

Banyak orang yang hadir dalam hidupku datang dan pergi begitu saja. Sebagian meninggalkan bekas yang mendalam. Sebagian lagi meninggalkan jejak yang samar samar untuk diingat. Sementara sebagian yang lain meninggalkanku tanpa bisa aku ingat lagi tentang mereka. Mereka hanyalah sebaris bayangan semu yang pernah hadir dalam hidupku. Tak lebih.

Tapi dia...

Dia ini siapa? Aku bahkan ingin melupakannya. Menganggapnya hanya sebagai kepingan tak diinginkan dari masa laluku. Kalau aku pernah mengaguminya, itu hanya sebatas fisiknya saja. Tak pernah lebih dan aku berharap tak pernah ada selain itu.

***

"Nur," sapanya. Delapan tahun yang lalu, dan aku tersenyum. 

Aku bunga saat itu. Aku bunga yang ingin dipetik setiap kumbang yang lewat. Dan dia, sama saja. Berbaik padaku cuma untuk mendapatkan kecantikan ini. Kemolekan ini. Tapi maaf, walau dia sebenarnya menarik, aku bukan untuknya.

"Dia kere..." bisikku pada mbak Rus. "Mau makan apa aku sama dia?"

"Makan nasilah, masak makan cinta aja..." jawab  mbak Rus dan tawa kamipun pecah. "Dia lho tadi sempat ngobrol sama kau Nur." Imbuh mbak Rus.

"Bicarain aku?"

"Ya ialah, apa lagi?"

"Wedew... Apa katanya mbak?"

"Dia bilang kalau dia suka kamu itu bukan cuma karena kamu itu cantik Nur." 

"Wah..., Dia bilang begitu mbak? Dia bilang suka sama aku katanya?"

"Ya..., Sumpah Nur dia bilang begitu."

"Terus... Terus?"

"Katanya dia suka kamu itu karena kamu juga rajin ibadahnya. Rajin simpen uangnya. Urusan wajah kamu, itu nomor sekiannya."

"Hmmm.... gitu ya mbak. Tapi ogah ah. Aku mau cari yang kaya aja. Bosen aku mbak hidup kere gini."

***

Air mataku meleleh mengenang delapan tahun yang lalu itu. Aku tahu sekarang senja sudah turun, dan aku di sini sendiri dalam kesendirianku. Aku yang sekarang bukanlah aku yang delapan tahun yang lalu. Aku yang sekarang bukanlah bunga seperti dulu lagi. Sekarang aku hanyalah sampah. Sampah yang bahkan orang terdekatku dulupun tak mau lagi mengenalku.

Kututup telingaku rapat-rapat terkadang. Teriakan-teriakan penghinaan itu, pengusiran itu, terkadang masih saja terdengar menggema di telinga ini saat aku sendiri begini. Sekarang aku hanya bisa menangis. Mengutuki segalanya.

"Nur." Untuk sekali lagi suara itu memanggil namaku sore ini. Masih dengan cara yang sama. Dengan nada yang sama, Tapi dengan irama yang lebih berat. Irama yang menandakan kemapanan dan kedewasaaannya.

Aku tak berani memandangnya. Aku hanya bisa menundukkan mata di tempat pembaringan ini.

"Sudah diminum obatnya?" tanyanya. Dan aku hanya bisa menggeleng.

"Kenapa?" cecarnya. Aku menjawabnya dengan diam dan sedikit air mata yang menetes.

"Jangan diam saja Nur. Bicaralah. Aku harus menghubungi siapa? Suamimu? Beri aku nama dan alamatnya biar aku bisa menghubunginya."

Aku kembali menggeleng. Suami? Siapa yang mau beristrikan orang seperti aku? yang menjual tubuhnya demi sekerat emas dan sebotol minuman setiap malam? Mereka bahkan meludah di tubuhku!

"Nur," dia menggenggam tanganku. Aku beringsut menarik tanganku dari genggamannya.

"Maaf dok," lirihku. "Saya pasien anda. Anda tidak berhak kurang ajar pada saya."

"Maaf Nur. Aku hanya ingin menolongmmu. Maaf juga kalau selama ini aku selalu mencari tahu tentangmu. Aku, maaf... aku tahu jalan hidupmu..."

Hatiku tertohok begitu kerasnya. Ngilu terasa dengan sangat. Itu aib yang tak ingin aku ceritakan pada siapapun. Aib yang ingin aku bawa pergi sendiri.

"Aku juga tahu kamu masih sendiri. Aku tahu kamu tak bersuami."

"Kalau begitu kenapa dokter tanyakan dimana suami saya?"

"Maaf..." lirih suaranya terdengar. "Aku tak seharusnya berkata seperti itu."

Sunyi kemudian menggantung, beberapa saat. Memberi kesempatan kepada kami untuk saling bermain dengan pikiran masing-masing. Aku dengan pikiranku yang terasa sakit dan dia dengan entah apa yang dia pikirkan.

"Nur, maukah kamu menjadi istriku?"

Kalimat itu sederhana. Telah aku dengar dari ribuan mulut yang berbeda. Kalimat yang dulu aku jawab dengan candaan, bahkan hinaan. Sekarang, di ruang rumah sakit yang serba putih ini, dalam keadaan terbaring hina seperti ini, baru kali ini kalimat itu terdengar seperti bom yang meledak di telingaku. Sakit sampai ke ulu hati.

"Jangan permainkan saya dok." jawabku. Sekali ini aku tatap matanya. Mata bening yang masih sama seperti dulu.

"Aku tidak sedang mempermainkanmu Nur. Aku jujur dan aku ingin memperistrimu. Aku tahu masa lalumu, aku tahu kehidupanmu...

"Dan aku akan hidup tak lama lagi dok!"

"Maka itu biarkan aku membahagiakanmu disisa hidupmu itu. Rasa ini adalah rasa yang aku pendam delapan tahun Nur. Tidak pernah berubah. Itu mengapa aku membujang. Nur, jadilah istriku. Aku ingin mengangkat namamu. Aku tak ingin kamu mati sebagai pelacur kelas kakap, aku ingin kamu meninggalkan dunia ini dengan menyandang namaku di dalam namamu. Sebagai wanita terhormat yang bersuami orang baik-baik. Seperti namamu, Nur yang berarti cahaya. Aku ingin kamu tetap becahaya seperti Nur yang dulu aku kenal."

Aku sekali lagi membuang muka, entah jawaban apa yang harus aku katakan.