Rabu, 29 Februari 2012

Telling

“ Dan inilah juara 1 kita kali ini adalah...” Guru bahasa Indonesia kami diam sesaat, menatap kami satu persatu, dari ujung ke ujung. “ Siapa dia kira kira?” Beliau tersenyum simpul, membuat kami penasaran dan bertanya tanya. Karya siapakah kira kira yang layak dinobatkan sebagai yang terbaik kali ini?
“ Roni!” Seorang dari kami berusaha menebak.
“ Yani, Si ratu puisi...” Yang lain menerka.
“ Sayangnya bukan...” Bu Meli, Guru Bahasa Indonesia kami berseru.
“ Agnes...”
“ Maya...”
Bu Meli masih menggeleng.
Kami diam, semakin penasaran. Bu Meli memang jago membuat suasana mencekam dan sedikit menegangkan. Mirip acara kuis kuis di televisi.
“ Irma...” hei, itu namaku.
“ S.. Saya...?” tanyaku tergagap.
“ Ya irma, kamu ...” Bu Meli tersenyum kearahku, diikuti seisi kelas yang ikut-ikutan menoleh kearahku. Pandangan mereka seolah menembus kepalaku, menusuk langsung tepat pada jantungku. “ Silahkan maju ke depan Irma, kita akan membahas cerpenmu...”
What? Benarkah itu? Aku? Cerpenku?
“ Irma, ayo bergegas, teman teman yang lain ingin tahu apa yang kamu tuliskan dalam cerpenmu” Bu Meli setengah mendesak.
Aku segera maju ke depan kelas dengan langkah yang ragu ragu. Aku masih  seakan tidak percaya, bagaimana cerpen yang aku buat dalam keadaan yang galau itu bisa di nilai baik, bahkan yang terbaik oleh Bu Meli?
Aku mulai membacakan cerpenku dengan perasaan yang campur aduk. Sebenarnya cerita yang aku tuliskan itu sederhana saja. Mirip sebuah surat terakhir dari seorang anak penderita kanker ganas stadium akhir. Dalam cerpenku itu, aku ingin berusaha mengungkapkan bagaimana kira kira perasaan tokoh utamaku itu menghadapi hari hari terakhir hidupnya. Harapan harapannya dan segala yang ingin dia ungkapkan untuk terakhir kalinya sebelum semuanya benar benar diluar kendali dan berakhir.
“ Tak ada yang tahu kapan saat terakhir kita bertemu dengan seseorang.” Tulisku di akhir cerpen yang aku buat. “Ajal adalah sebuah misteri Ilahi. Maka itu, aku ingin berbuat baik kepada semua orang, karena aku tak tahu apakah aku bisa meminta maaf untuk setiap kesalahanku ketika perjumpaan yang terakhir yang misterus itu terjadi.
Tapi menurutku, penderita kanker adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk tahu kapan dia akan mati, sehingga dia tahu kapan waktunya akan berakhir dan berusaha memperbaiki diri serta meminta maaf kepada setiap orang.”
Aku menyelesaikan tugas membaca cerpenku sendiri di depan kelas dengan air mata yang berderai derai membasahi pipiku. Butuh beberapa saat untuk bisa mengendalikan diriku sendiri dan berhenti dari sesenggukan yang mengguncang tubuhku keras keras.
“ Tulisanmu sangat emosional, Irma. Itu yang ibu suka dari cerpenmu.” Kata Bu Meli setelah aku bisa menguasai diri dan emosiku, “ Kalau boleh tahu, dari mana inspirasi cerpenmu itu Irma?”
Butuh lebih banyak waktu lagi buatku untuk bisa menjawab pertanyaan yang berat itu. Kuhela nafas panjang sebelum akhirnya aku menjawabnya dengan sebuah kalimat singkat.
“ Sebenarnya, saya menulis perasaan saya sendiri, Bu.”
Aku berusaha tersenyum dan menatap dengan tegar seluruh isi kelas sebelum aku menegaskan kepada meraka tentang keadaan yang sebenarnya. “ Saya menderita kanker payudara  stadium akhir, dan cerpen ini adalah perasaan saya sendiri,”

18 komentar:

  1. wah selalu suka dengan cerpen nya om ridwan..ajarin aku bikin cerpen donk om hhehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah, makasih apresiasinya tia,

      kalau mau belajar menulis, mulailah suka membaca ...

      Hapus
  2. Balasan
    1. makasih bund,
      ada masukan?

      Hapus
    2. Ehm, masukannya, teruslah berlatih menulis. Lagi, lagi dan lagi :)

      Hapus
  3. wah, kalau suntuk bisa baca cerpen...

    BalasHapus
  4. ada yang mengambang dipelupuk mata ketika membaca cerpen ini...

    BalasHapus
  5. ooooooooooooom...
    cerpen ini kok ada rasa beda dari cerpen2 sebelumnya....
    aku kok bukannya kasian sama irma. justru salut :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. dimana letak bedanya?
      irma terlihat tegar? semua orang punya kesan dan pendapatnya sendiri,

      Hapus
  6. saya merinding membacanya bg...
    kisah yang sangat menyentuh..

    BalasHapus
  7. sukurlah kalau tulisan dari orang yang baru belajar merangkai kata ini berkenan buat pembacanya ...

    BalasHapus
  8. kasian Irma-nya :((
    semoga dia baik-baik saja.. jadi ingat waktu SMA disuruh baca pidato di depan seisi kelas, tapi ga sedih, malah berapi-api :)

    BalasHapus
  9. Beruntung sekali aku kenal mas Ridwan...

    BalasHapus

silahkan berkomentar di kolom komentar ini untuk meninggalkan jejak di blog ini. gunakan komentar anda sebagai bukti kunjugan anda ke blog ini. terimakasih.
.
.
.