Kamis, 29 Maret 2012

Blogger OMDO




Riki baru saja pulang dari masjid saat aku sedang asyik mengetik di laptopku.

“ Akhir akhir ini aku lihat kamu sibuk bener. Lagi ngerjain apaan sih?” cerocosnya tanpa aba aba seraya duduk menjajariku di lantai kamar kos ini. Aku dan Riki berbagi satu kamar kos ini untuk kami berdua. Istilah kerennya, aku dan Riki itu roomate.

“ Biasa, lagi buat postingan di blogku” jawabku tanpa menoleh.

“ Kirain ada tugas kuliah, serius amat sih…”

“ Aku punya target baru, bro!”

“ Apaan tuh?”

“ Aku harus update blog aku setidaknya dua sampai tigak kali dalam seminggu. Keren gak bro?” jawabku sambil menoleh dan nyengir kuda kearahnya.

“ Gila kamu, emang dapet mana idenya kalau update blog sampe sesering itu? Yakin kamu bisa?” tanyanya serius.

“ Maka itu aku harus giat bro, kalau ide, gampanglah, cari sana sini. Kamu kayak meragukan aku aja bro…” jawabku lagi sambil menepuk dadaku sendiri, membanggakan diri.

“ Pantesan kemarin aku lihat kamu tidur sampai malem banget kalau gak salah. Terus pagi paginya hampir telat tuh masuk kuliah pagi. Terus tugas tugas kuliahnya gimana? Gak ketinggalan ne kuliahnya?”

“ Gampang lah bro, semua bisa diatur …”

“ Hm, gitu yah? Salut dah sama kamu. Bukannya blog kamu itu blog dakwah itu ya? Kamu tulis pribadi itu semuanya?”

“ Lah ialah aku tulis pribadi. Maksud kamu aku copas dari blog lain gitu? Sori bro, gak jaman sekarang copas copas plagiat gitu. Kalau ingin dihargai, kalau ingin benar benar puas, tulis sendiri, itu baru namanya blogger sejati….”

“ Oke oke, aku memang salut sama kerja keras kamu buat nulis di blog kamu itu. Aku salut seorang mahasiswa seperti kamu itu masih menyempatkan diri untuk berdakwah. Bener aku salut…” ucapnya bersungguh sungguh. Mendengarnya aku benar benar seperti dilambungkan tinggi tinggi. Senang sekali rasanya ada yang memperhatikan kerja kerasku selama ini.

“ Wah beneran neh?” tanyaku berusaha meyakinkan diri kalau aku tidak baru saja salah dengar apa yang di ucapkan roomateku itu.

“ Bener aku salut, aku bangga sama kamu dalam hal itu. Tapi gini lo bro, kamu itu penulis blog dakwah bukan? Tapi kenapa kegiatan kamu sehari hari itu malah gak sesuai dengan apa yang kamu tulis di blog kamu?”

“ Maksudmu?” aku mengernyitkan dahi.

“ Ok kamu menulis tentang dakwah dan Islam, tapi kenapa kamu sendiri  yang lalai dalam melaksanakan apa yang kamu tulis di sana? Kemarin malam kamu nulis sampai gak solat isyak sama subuh bukan? Kalau kamu terus terus ada di kamar ini dan jarang bergaul lagi seperti dulu, kapan kamu bisa melakukan yang kamu tulis di blog kamu? Menjalin ukhkuah? Menjalin silaturahmi? Menjalankan peranmu sebagai mahluk sosial? Padahal itu kan yang kamu serukan. Tapi kenapa kamu sendiri yang melanggarnya? Seperti kemarin malam juga, waktu Sol datang sama teman temannya ke kamar sebelah, kenapa juga kamu masih harus bergabung dengan mereka? Minum minum sampe teler, nonton film film dewasa? Apa itu? Dakwah macam apa itu?

Bro, lakukanlah sendiri dulu apa yang kamu harus lakukan, baru setelah itu kamu bisa menyerukan hal itu kepada orang lain. Jadikanlah dirimu tauladan bagi orang lain bro, bukan hanya sekedar jadi blogger omdo, blogger omong doang …!”

Mendengarnya aku hanya bisa diam. Kata kata itu telak sekali mengenai pikiran dan jiwaku. Tak ada yang bisa aku sangkal, karena memang demikianlah seharusnya, bukan seperti apa yang aku lakukan selama ini.

“ Sudahlah, daripada aku banyak nyerocos, aku mau makan dulu bro, dah laper ne. sori ya bro, kalau kata kataku gak enak di kamu. Neh kamu dengerin lagu ini aja.”

Riki segera beranjak pergi tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri. Tapi buat apa juga aku membela diri. Untuk apa? Toh semua yang dikatakannya adalah kebenaran.

Aku termangu di depan laptopku, sementara sebuah lagu merdu mengalun dari laptop si Riki, tak jauh dari tempatku duduk.

sepohon kayu daunnya rimbun
lebat bunganya serta buahnya
walaupun hidup seribu tahun
bila tak sembahyang apa gunanya 2x

kami bekerja sehari-hari
untuk belanja rumah sendiri
walaupun hidup seribu tahun
bila tak sembahyang apa gunanya 2x

kami sembahyang fardhu sembahyang
sunahpun ada bukan sembarang
supaya Allah menjadi sayang
kami bekerja hatilah riang

oh....oh....oh....oh......

kami sembahyang limalah waktu
siang dan malam sudahlah tentu
hidup dikubur yatim piatu
tinggalah seorang dipukul dipalu

dipukul dipalu sehari-hari
barulah ia sadarkan diri
hidup didunia tiada berarti
akhirat di sana sangatlah rugi

Senin, 26 Maret 2012

But-Chi


 
“ Anas…”

“ Ya,…”

“ Apa benar kamu mencintaiku?”

Hm…., akhirnya pertanyaan itu terlontar juga malam ini. Aku mendesah. Seperti berat sekali harus aku katakan apa yang sebenarnya aku rasakan dan yang sedang terjadi selama ini. Pertanyaan tentang cinta, pertanyaan tentang kesungguhan akan sebuah hubungan seperti ini, sudah kerap kali membuatku gamang. Apakah aku memang benar benar mencintainya? Lebih dari sekedar perasaan seorang kakak kepada adik perempuannya? Lebih dari sekedar perasaan seorang sahabat yang ingin selalu bersama dengan seorang sahabat wanitanya? Aku bahkan masih sering ragu. Seriuskah aku? Nyatakah ini?

Aku bangkit dari posisi membungkukku dan menegakkan posisi dudukku. Kualihkan pandangaku padanya dan kuberikan senyum setulus yang aku bisa. Kuraih kepalanya yang berambut pedek itu, lalu kutarik agar merabah di dadaku. Dia diam saja. Seperti yang sudah sudah selama ini.

“ Apakah itu penting, Dyan?” tanyaku.

“ Entahlah, Nas, aku juga tak tahu itu penting atau tidak. Aku hanya mendengar dari teman teman selama ini, kalau sebenarnya kamu itu mengganggapku lebih dari seorang sahabat.”

“ Hm…, Kadang mereka itu terlalu ikut campur melebihi kapasitas mereka sebagai teman, Dyan. Mungkin saja mereka itu cemburu melihat kedekatan kita selama ini. Biarlah mereka dengan pikiran mereka sendiri, kita jalani aja kehidupan kita seperti ini, sebagai sahabat.”

Mendengar ucapanku, perlahan Dyan bangkit dari dadaku. Di tatapnya aku dalam dalam dengan pandangan yang langsung tertuju pada mataku. “ Tapi sahabat tidak ada yang berpelukan seperti kita, Nas. Sahabat tidak bergandengan tangan berjam jam saat berjalan di keramaian. Sahabat tidak seperti itu.. Tidak merasakah suasana mesrah seperti yang kamu rasakan malam ini. Sahabat itu seperti Eka dan Maya yang selalu having fun, selalu ada untuk satu sama lainnya, seperti Bayu, Nina dan Angga. Mereka selalu bersama tapi mereka tidak pernah terlihat mesrah seperti yang kamu lakukan kepadaku. Yang aku tahu, seorang sahabat tidak ada yang memeluk sahabatnya dalam diam, juga tidak berusaha menciumnya…”

“ Lalu apakah penting untuk tahu apakah aku mencintaimu?” potongku.

“ Penting Nas, penting sekali. Agar aku tahu apa yang sebenarnya terjadi antara kita. Apakah kamu menganggapku sahabat, atau seorang kekasih…”

“ Lalu kamu sendiri mengganggapku apa?” sergahku, sekali lagi.

Dyan terdiam, tapi pandangannya nanar. Bibirnya bergetar perlahan menandakan gejolak hatinya yang mulai gusar. Aku jadi seperti tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mengapa malam ini tiba tiba dia bertingkah seperti ini?. Malam ini, dia seolah olah bukan Dyan yang selama ini aku kenal. Dyan yang lembut dan selalu berhati hati. Apakah urusan cinta dan hati seperti ini bisa membuat seorang wanita berubah drastis?

“ Anas, sebenarnya aku ingin kamu tahu malam ini… ka, kalau, Kalau aku sedang jatuh cinta..”

Deg…! Jantungku seolah berhenti berdetak. Tiba tiba saja seperti puluhan ribu volt telah menyengat jantungku detik itu juga. Ada rasa curiga yang menghantui, ada rasa khawatir yang sangat yang aku rasakan. Benarkah itu? Benarkah Dyan jatuh cinta? Pada siapa? Padakukah? Atau ada orang lain? Tiba tiba malam ini aku rasa menjadi malam yang sangat penting dalam hidupku. Tiba tiba saja udara malam ini aku rasa begitu panas. Panas dan menipis, membuatku serasa sulit untuk bernafas.

Kucoba untuk menahan diri untuk tidak bertindak bodoh di luar apa yang seharusnya aku lakukan. Tapi dari rona wajahku, dari helaan nafasku, aku yakin Dyan sudah membaca apa yang sedang terjadi padaku.

“ Apakah kamu mencintaiku, Dyan?” tanyaku tiba tiba, yang membuatku merasa begitu bodoh sudah menanyakan hal itu secepat ini. Seharusnya aku bisa lebih tenang, tidak tergesa gesa seperti ini. Aku menggerutu dalam hatiku, membuatku semakin merasakan perasaan bersalah dan kesal yang amat sangat pada diriku sendiri.

 “ Kamu mencintaiku bukan, Nas…, Jawab pertanyaanku dengan jujur, Nas.” Kali ini nada yang keluar dari kata katanya lebih terasa seperti sebuah desakan dari pada sebuah pertanyaan biasa.

“ Tadi aku yang bertanya lebih dulu, Dyan. Apakah aku orang yang kamu cintai?”

“ Dalam hal ini seharusnya pria punya kesempatan lebih dulu untuk bicara, Nas.”

Mendengarnya membuatku diam. Aku cuma bisa memandangnya dan membiarkan angin yang semilir di taman Bungkul malam ini membelai hati yang sedang terombang ambing. Aku tahu aku ragu. Ragu untuk mengartikan perasaanku sendiri. Cintakah ini? Atau hanya perasaan kedekatan seorang sahabat? Aku juga ragu, apakah aku orang yang di cintai Dyan? Kalau ya, bagaimana selanjutnya? Apakah ketika nanti aku menjadi pacarnya semua akan berjalan seperti ketika aku menjadi sahabatnya?

Begitu banyak pertanyaan yang tiba tiba muncul. Pertanyaan pertanyaan yang kemudian membuatku ragu. Keraguan yang kemudian berkembang menjadi sebuah ketakutan : aku takut kehilangan dia. Baik sebagai sahabat maupun sebagai…

“ A.., A… ah, aku tak sanggup mengatakannya. Tolong jangan desak aku.”

“ Berati benar apa yang aku dengar selama ini?” air matanya mulai tumpah, suaranya mulai serak, “ Berarti benar kalau kamu memang mencintaiku Nas?”

“ Dyan, kenapa menangis…” aku berusaha merangkulnya. Tapi Dyan malah menepiskan tanganku.

“ Akhirnya…, akhirnya apa yang aku takutkan… terjadi juga…” tangisnya kini benar benar pecah. Membuatku semakin bingung harus berbuat apa.

“ Dyan, sudahlah, tidak seharusnya seperti ini. Tidak seharusnya kamu menangis. Kita bisa bicara baik baik bukan…” aku berusaha membujuknya. Aku benar benar tidak tahu harus berbuat apa. Ini untuk pertama kalinya dalam hidupku harus menghadapi seorang wanita menangis di depanku karena cintanya padaku.

“ Tapi aku mencintai orang lain, Nas….”

Deg! Dunia seakan sekarang berhenti berputar, angin seolah berhenti berhembus dan orang orang yang bising di sana, seolah olah sekarang seperti film bisu yang sedang diputar. Bahkan darahkupun seperti berhenti mengalir.

“ Aku sebenarnya tidak ingin kamu tahu tentang ini, Nas. Tapi semua sekarang sudah terlanjur… aku, aku .. aku harus mengatakan kebenarannya…”

“ Siapa orang itu, Dyan?” tanyaku, dengan berusaha keras untuk menyembunyikan seluruh gejolak di hatiku.

“ Mi… Mitha….” Jawabnya di tengah isak tangisnya.

“ Mitha? Dia… dia wanita bukan? Mitha itu mantanku?” tanyaku tak habis mengerti.

“ Ya benar, Nas. Mitha mantanmu itu. Dia kekasihku. Kami sepasang kekasih. Dan karena akulah dia memutuskanmu waktu itu. Anas, temaku yang baik, sabahabatku yang terbaik, aku harap kamu bisa menerima kenyataan ini….aku harap kamu bisa memahami keadaanku, dan kita…., kita masih bisa bersahabat seperti sedia kala bukan….?”

Dunia sekarang menjadi gelap di mataku. Otakku, tiba tiba terasa sangat sakit dan tersayat sayat. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku katakan? Tiba bita aku ingin sekali berlari dan berteriak. Hingga hilang pedih dan perih yang begitu kejam dengan tiba tiba merenggut segalanya dariku ini.


Selasa, 06 Maret 2012

Tikus

“ AAAAAAAAAAAAA....... Tolong....... Tolong.......” Aku berlari berhambur keluar dari kamar mandi. “ Ayah..... Ayah.....”
“ Ada apa Naila.... ada apa.... Hei hei tenang ayah di sini  .... tenang tenang.... Naila, Naila .....ada apa?”  Ayah mendekapku dalam pelukannya, berusaha menenangkanku yang mulai menangis keras keras.
“ Ayah......  Ayah..... “ aku masih meraung raung ketakutan, sementara ayah terus mendekapku dalam dalam.
“ Cup cup...  ayo sini.. sini,,, duduk dulu di sini.” Ayah membimbingku kearah kursi di ruang tengah. “ ini minum.” Ayah menyodorkan segelas air putih kearahku.
Aku minum banyak banyak dari gelas yang ayah sodorkan kearahku. Perlahan, tangisanku mulai mereda.
“ Ada apa?” Tanya ayah mendesakku.
“ Ti... Tikus...” Jawabku terbata bata. “ A... Ada tikus di kamar mandi...”
Ayah mendesah seraya menghembuskan nafas panjang. “ Hanya tikus?” tanyanya setengah kecewa.
Hah? Kok ayah bilang ‘hanya’ tikus? “ Tikus ayah.. Tikus, tikusnya besar! Besar, hitam, lewat di dikaki Nai!” jawabku histeris sambil menghentak hentakkan kakiku ke lantai.
“ Ok.., Ok... Nai mau apa di kamar mandi?”
“ Nai mau wudu.” Aku masih merajuk. Masih kesal melihat tangagapan ayah yang sepertinya menganggap ini hal biasa saja.
“ Nai belum solat isya’?”
“ Belum...”
“ Kalau begitu, nai  bisa ke kamar mandi sekarang.”
“ gak...”
“ Lo, kenapa? Tikusnya sudah pergi bukan?’
“ Nai takut! Kalau tikusnya kembali gimana?”
“ Ayo sini ayah antar”
“ Gak....!”
“ Terus?”
“ Nai gak mau kekamar mandi..., Nai takut...!”
“ Nai gak mau wudu?” Aku terdiam, hatiku gundah. “ Nai gak mau solat?”
“ Nai takut ayah..., di kamar mandi ada tikus!”
“ Nai lebih takut tikus atau ALLAH?”
Aku terdiam. Pertanyaan ayah seperti sebuah pertanyaan pinalti yang langsung menerobos ke hati dan otakku. Pertanyaan itu seperti mengusik hal kecil yang selama ini sering aku abaikan. Bukan hanya kali ini. Tapi rasanya sudah berkali kali aku mengabaikan perintah untuk solat dengan alasan alasan yang sunguh konyol. Kadang hanya karena sedang asyik ngobrol dan kumpul sama teman teman, aku meninggalkan solat dengan seolah tanpa beban. Kadang karena  sibuk mengerjakan tugas dan pekerjaan waktu solat seakan berlalu begitu saja tanpa aku sadari. Atau ketika akan solat isya’ seperti ini. kadang aku tidak solat isya’ hanya karena tekut ke kamar mandi. Takut kalau ada tikus, ada kecoa ata takut pada bayangan dan gambaran hantu hantu yang tidak jelas keberadaanya.
Pertanyaan ayah malam ini, menyadarkanku dengan telak. Lebih takut pada tikus, pada kecoa pada mahluk sejenis setan dan teman temannya itu atau pada ALLAH? Sang pemilik dan pencipta semua itu? Hatiku bergetar.
“ Ayah berdiri di sini saja.” Rajukku didepan kamar mandi.
“ Ya, sana wudu’, ayah tunggui kamu di sini.”
Tapi belum saja aku selesai berwudu’ sebuah teriakan keras mengema dari pintu kamar mandi.
“ TIKUUUUUSSSSS......!”
Seekor tikus hitam besar melintas tepat di depan kamar mandi. Tikus itu melintas tepat pada jari jari ayah yang sedang berdiri tegap di sana. Tak ayal, ayah yang terkejut melompat lompat menjauh dari kamar mandi sambil berteriak teriak histeris.
“ Ayaaahhhh, tunggu aku...!”