Hujan turun makin deras kala
itu. Saat aku membiarkan udara yang dingin menyeliputi kami dengan kelembapan
yang makin menjadi. Dia diam, pandangannya jauh menerawang keluar jendela,
memperhatikan hampir setiap tetesan air hujan yang turun dan menghantam kaca
jendela. Sementara aku mencoba menetralkan suasana dengan meneguk seteguk dua
teguk teh dari dalam gelasku. Ada kehangatan yang menjalar, dimulai dari
dinding dinding mulutku, lalu turun perlahan ke dadaku.
Aku tertegun saat kemudian
kuperhatikan wajahnya mulai memerah dan bening kristal air mata perlahan
mengambang di pulupuk matanya. Dia mencoba menengadah, menahan dengan sangat
agar air mata itu tidak jauh kepipinya yang lembut. Pipi yang sekarang bagaikan
kepiting rebus yang kemerahan.
“Hei, kamu kenapa?” tanyaku
kebingungan. “Apakah ada kalimatku yang salah?”
Tapi dia tetap diam.
Pandangannya belum juga dia alihkan dari tetes-tetes air hujan itu. Kupanggil
namanya dengan lirih.
“Jelaskanlah, jangan diam. Aku…,
aku jadi serba salah kalau kamu hanya diam begini.” Setengah memohon aku
padanya kali ini. Aku bingung, apakah kata-kata dan penjelasanku tentang
fase-fase metamorfosis kupu-kupu yang aku jelaskan padanya tadi sudah
membuatnya tersinggung sedemikian rupa dan menyakiti hatinya dengan tanpa aku
sadari? Hatiku berdebar-debar. Bukan maksudku menyakiti hati seorang teman.
Perlahan dia mulai mengusap air
matanya yang jatuh berderai di pipinya. Perlahan pula dia mulai merangkai
senyum di bibirnya dan mulai menatap lembut kearahku. “Tolong jelaskan, ada
apa. Jangan cuma diam saja….”
“Tenanglah. Gak ada apa-apa, aku
hanya….” Dia diam lagi, air mata kembali deras jatuh dari matanya. Kali ini dia
tergugu.
Kupanggil lagi namanya dengan
lirih seraya menyodorkan beberapa lembar tisu untuknya. “Tenang, tenang,
bicaralah apa yang membuatmu menangis. Aku sungguh gak enak kalau terus terusan
kamu diam tanpa menjelaskan padaku. Aku…, aku benar benar minta maaf kalau aku
salah berucap.”
Kadang memang saat-saat
beginilah yang tidak aku mengerti dari seorang wanita : tentang air mata
mereka. Begitu misterius bagiku. Kadang pada sebagian wanita, bening kristal
air mata itu begitu mudah keluar, kadang ada juga sebagian dari mereka yang
begitu tegar, yang bahkan tak pernah aku lihat gurat kesedihan di mata mereka.
Apa lagi air mata! Dan temanku yang satu ini, adalah wanita yang paling sulit
aku mengerti. Selama ini dia terlihat tegar, terlihat tangguh, selalu ceria,
sangat memberikan kesan kalau dia adalah tipe wanita kedua, wanita yang mahal
air matanya. Tapi lagi-lagi aku dibuatnya tidak mengerti saat ini. Serasa
linglung bagai anak kecil yang baru saja melihat ayam keluar dari cangkang
telurnya. Pertanda apakah airmatanya saat ini?
Kupanggil lirih namanya, dia
tersenyum kecil. Apa arti senyum kecil wanita tangguh di balik airmatanya yang
berderai? Ah wanita, mereka masih terlalu misterius bagiku.
“Kamu gak salah apa-apa kok.
Hanya aku saja yang merasa tertonjok berkali kali saat tadi mendengar
penjelasanmu tadi.” Jelasnya, membuat dadaku makin berdebar.
“Bagian mana?”
“Hampir di semua bagian”
Aku mendesah, sebisa mungkin
berusaha menunjukkan perasaan bersalahku padanya. “Maafkan aku, aku tidak
bermaksud…”
“Tidak…” potongnya lembut.
“Tidak ada yang perlu di maafkan, kok. Malah aku yang seharusnya berterimakasih
padamu….”
“Ah…, tidak begitu…”
“Aku muslim sejak lahir, kamu
tahu itu, bukan?” lagi-lagi dia memotong kalimatku dengan cepat. “Dan aku
merasa, tidak setiap muslim adalah kupu-kupu! Tidak! Bahkan aku merasa sebagian
besar dari mereka adalah ulat. Ya…, ulat! Seperti aku….”
Aku memutuskan untuk diam
mendengarkan dengan hati yang gelisah. “Lalu?” tanyaku.
“Bahkan kalau boleh aku bilang,
sebagaian besar yang lain dari mereka itu adalah selamanya telur, seperti
penjelasanmu itu.” Dia mulai mau bercerita, membuka pintu pikirannya padaku.
Baiklah, sekarang waktunya aku untuk menjadi pendengar yang baik. “Muslim yang
bisa menjadi kupu-kupu adalah mereka yang bukan saja indah di mata orang lain,
tapi juga yang bisa berbagi keindahan itu pada dunia sekitarnya, yang
mempegaruhi orang orang di sekitarnya untuk berbuat kebaikan seperti apa yang
dia lakukan. Seperti orang bilang “Fly
like a butterfly. Just take the good one from the flowers and give the good one
to the world.”* Tapi apa yang kamu lihat pada sebagian besar mereka? Apakah
mereka itu pantas di sebut kupu-kupu? Aku rasa tidak! Mereka adalah ulat yang
menjijikkan! Sama seperti aku juga. Seperti kebanyakan muslim di luar sana.”
Sampai di sini dia diam lagi.
Dipandanginya aku dengan tatapan nanar yang membuatku serasa ciut kedalam gelas
tehku sendiri.
“Kamu lihat? Diluar sana banyak
koruptor, banyak orang munafik yang berkeliaran. Apa agama mereka? mereka muslim!
Mereka mengaku beragama Islam. Tapi apa yang mereka perbuat? Apakah perbuatan
mereka itu menunjukkan perilaku yang sejalan dengan apa yang diajarkan dalam
agama mereka? agama yang kita banggakan ini?”
“Tapi tidak selamanya
orang-orang munafik dan para koruptor itu adalah muslim…”
“Memang, aku tahu itu. Kalau
yang muslim dan yang bukan muslim sama saja kelakuannya, apa masih mereka
pantas di sebut kupu-kupu? Karena
seharusnya muslim itu bisa berjalan sesuai dengan ajaran yang diajarkan pada mereka,
yang selalu indah dan menyebarkan keindahan. Mereka itu pantas disebut ulat
juga. Ulat yang terus saja makan, terus saja merongrong apapun yang bisa mereka
grogoti. Ulat-ulat menjijikkan yang rakus!”
Sampai di sini sesaat dia diam
lagi. Kali ini tampak benar usaha kerasnya untuk menahan semua gejolak di
dadanya. “Seperti juga aku…,” katanya penuh emosi. “Aku ini muslim, sejak lahir
malah. Tapi kamu lihat sendiri bagaimana kelakuanku? Aku bejat! Bahkan solatpun
tidak. Yaa… walau aku tahu, solat itulah pembeda antara seorang muslim dan yang bukan muslim.”Diusapnya
airmatanya yang makin menderas, sedang aku terpaku pada tempat dudukku sendiri,
diam seolah terpahat. “Uang aku banyak, hidup aku serba cukup, tapi buat zakat?
Masa bodoh rasanya. Aku ini muslim macam apa? Muslim macam apa yang bahkan
memalingkan wajahnya dari anak-anak yang terlantar dijalanan? Orang macam apa
aku ini, yang mengunci pintu untuk setiap pengemis renta yang datang kerumah
meminta belas kasih dariku….”
Dia makin tergugu, ditutupinya wajahnya
dengan tisu berlembar-lembar. Ketika dia melanjutkan kata katanya, suaranya
seperti tercekat di tenggorokannya, “Keluar negeri … aku … sudah berkali kali
…, tapi kapan aku bisa memenuhi panggilanya ke Baitullah… kapan….” Lama
kemudian dia diam dalam tangisannya. Tergugu dalam-dalam. Nyata sekali dia
meresapi setiap tetesan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
Melihatnya begitu, aku kembali
hanya bisa diam memandangnya. Apa yang harus aku lakukan? Sedang di hatiku
sedang berkecamuk perang yang sengit. Kata-katanya telah membuatku berfikir
untuk menata ulang teoriku tentang fase kehidupan dan metamorfosis. Tapi
bersamaan dengan itu juga, timbul satu tekad bulat dalam hatiku : AKU HARUS BISA MENJADI SANG KUPU-KUPU, bagaimanapun
sulitnya jalan yang harus aku tempuh. Aku harus bisa menjadi indah, dan bisa
berbagi keindahan itu. Harus!
Tiba tiba dia bangkit setelah
melemparkan berlembar-lembar tisu ketempat sampah. “Hei, mau kemana?” tanyaku
keheranan.
“Berbenah…,” jawabnya, seraya
berusaha tersenyum kearahku.
“Hujan masih deras di luar….”
“Tapi Izroil gak pernah membuat
perjanjian sebelum menemui seseorang. Aku ingin siap saat Dia datang,
setidaknya, dosaku gak lagi sebanyak sekarang.”
--------------------------