Rabu, 10 Oktober 2012

Salahkah Kalau Aku Juga Selingkuh





PING !! BB di dekatku bergetar, lampunya berkedip merah. Satu ping dari Hest.

Ya, Kubalas panggilannya.

Aku lagi kesel banget.  Balasnya.

Kenapa lagi? Tanyaku.

Siang ini aku mergokin adikku lagi selingkuh di YM!. Wew, ada masalah lagi kayaknya.

Adik yang mana?

Yang baru punya anak lagi.

Heri?

Ya, sapa lagi.

Hmmm….

Aku benci lelaki yang sukanya selingkuh! Kenapa sekarang adikku yang selingkuh. Aku maki-maki dia tadi.

Sabar….

Gak ada kata sabar buat cowok yang doyang selingkuh.!! Gak ada!!

Nah sekarang gimana? Heri adikmu, bukan?

Ya itu, aku lebih sakit lagi karena yang selingkuh adikku. Istrinya sampe nangis-nangis tadi. Dasar lelaki!!!

Jangan samakan setiap lelaki.

Bah!! Sama semua!!

Lagian apa bukti dia selingkuh? Mungkin saja itu hanya teman chatting di YM!-nya

Tadi dia chating lewat YM! Di komputer, tapi lupa sign out waktu di panggil bapak. Istrinya yang gantiin chating bareng aku. Gak taunya, ya Tuhan… mereka janjian ketemu malam ini. Katanya di tempat biasa.

Hmmm, lelaki…

Kalau dia sebut tempat biasa, berarti mereka sudah sering ketemu bukan?

Bisa aja itu teman kantor, ketemu di kantor.

Bah!! Adikku tadi  sudah ngaku kalau mereka sering ketemuan di penginapan.

Hmmm,

Aku ingin bunuh dia!

Sudahlah, sabar. Btw, bagaimana rencana kita?

….

….

Ping!!

 
***


Malam telah sempurna gelapnya. Jam di tanganku rasanya berdetak-detak jauh lebih kencang dari biasanya. Ataukah detakan jam itu hanya sebuah kamuflase dari detakan jantungku? Aku sangsi. Aku hampir tak bisa membedakan, mana yang detakan jarum jam, mana yang detakan jantungku. Keduanya seolah berpacu, berlomba memompakan darah dan adrenalin keujung-ujung kepalaku. Mereka membuatku gelisah setengah mati.

“Hest…,” desahku. Berjuta bayang, kenangan dan pikiran melintas di depanku tentang dia. Hest, seorang wanita muda yang dulu aku kenal masih berseragam putih abu-abu di kelas sebelah. Gadis kembang desa dan dambaan hati setiap siswa normal di sekolahku. Apa yang kurang darinya? Aku rasa tidak ada. Dia sempurna bila ukurannya adalah ragawi.

Aku dulu pernah menciumnya sekali di belakang kantin sekolah. Aroma wangi bedaknya yang masih baru di taburkan di pipinya yang lembut itu, seakan terus menempel di ujung hidungku selama berhari-hari. Bahkan kalau boleh aku bilang, sampai sekarangpun rasanya rasa itu tetap ada di ujung hidungku ini kalau aku mengenangnya. Yah…, walau kejadian itu, sudah lewat hampir sepuluh tahun lamanya. Begitu pula setiap kali mengenangnya, rasanya ada kerinduan yang begitu dalam di lubuk hati ini akan aroma dan rasa yang sama. Rasa yang terus mengusik kehidupanku selama bertahun-tahun lamanya. Rasa dan aroma yang tidak pernah sama aku dapati dari istriku, walaupun dia sudah memberiku dua orang buah hati yang menawan. Tidak, mereka tidak sama. Aku tidak pernah merindukan wanita lain seperti aku merindukan dia.

Hest pernah memberiku hari-hari yang penuh warna, hari-hari indah yang sampai sekarang masih aku kenang. Bahkan mungkin sampai akhirnya aku tidak bisa mengenangnya lagi nanti. Dia adalah pacarku di masa masa SMA dulu. Masa  dimana semua gejolak muda itu masih mengeilingi kami berdua. Indahnya ….

Tapi maaf kalau ada yang membayangkan masa-masa pacaran itu kami lewati dengan nafsu yang penuh kubangan kotor. Aku bukan tipe lelaki seperti itu. Bagiku, cinta itu suci, cinta yang suci tidak pernah akan melukai orang yang dicintainya. cinta yang suci akan menjaga pula kesucian pasangannya, tidak malah mengotorinya dengan nafsu yang bejat. Cinta yang suci, akan menjaga pasangannya dengan segenap kemampuannya. 

Hmmm, indahnya masa-masa itu. Kadang aku berfikir, bisakah masa-masa itu akan kembali lagi? Terulang lagi? Bisakah kami berdua lagi seperti dulu? Menjalin hari hari indah penuh warna pelangi seperti itu lagi walau sekarang kami sudah memiliki pasangan masing-masing? Walaupun bisa, sungguh aku juga masih takut. Takut bila masa itu terulang, sakit yang sama juga akan terulang. Sakit oleh cinta yang harus terpisah oleh perbedaan bangsa.

PING!!

Satu ping mengagetkanku dari lamunan. Dari Hest.

Ya….

Kamu di mana?

Aku di lobi.

Sudah lama?

Hampir setengah jam.

Kenapa tidak menunggu di kamar saja?

Hatiku berdesir, ada kebimbangan yang mendalam yang aku rasakan membaca pertanyaan itu di tujukan padaku.

PING!!

Ya….

Lagi apa? Kenapa gak jawab?

Aku tunggu di lobi saja. Kamu di mana?

Otw.

Masih jauh?

Lima belas menit lagi.

Ok, aku tunggu.

Darahku makin deras berdesir-desir. Mengalir panas dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Hest. Apa yang ada padamu sehingga kamu mampu membuatku begini? Membuatku seperti boneka yang tak berdaya yang bisa kamu mainkan hanya dengan satu jari telunjukmu?

Ini memang bukan pertemuan kami pertama sejak kami berpisah dan berjumpa lagi di kota baru ini. Tapi ini adalah pertemuan yang mampu memuatku panas dingin tak karuan. Bukan hanya dia sebenarnya yang membenci perselingkuhan. Akupun sama. Aku benci sekali melihat pasangan selingkuh itu. Tapi sekarang mengapa aku sendiri yang melakukannya? Mengapa sekarang justru aku sendiri yang selingkuh? Bahkan otakkupun seolah tak tahu harus berdalih apa.

Perlahan bayangan masa masa SMA dulu berganti dengan bayangan-bayangan istri dan anakku. Keluarga kecilku yang bahagia. Satu pertanyaan yang dulu sering aku lontarkan pada teman teman yang selingkuh, sekarang pertanyaan itu seperti kembali telak memukulku. “Apa salah istri dan anak-anakmu sehingga kamu pantas menyakiti mereka?”

Setiap kali pertanyaan itu di tujukan balik kepadaku, setiap kali itu pula aku tidak bisa menemukan jawaban selain karena keegoisanku. Apa kurang istriku? Apa salah besarnya sehingga dia pantas untuk diduakan? apa hanya kerena seorang istri harus mengerti suaminya? Lalu dimana letak pengertianku kepadanya sebagai suami?

Beribu petanyaan dan tudingan menghujani kepalaku. Aku ingin meledak rasanya. Aku ingin berteriak dan menumpahkan segala kesalahan ini pada lautan. Membiarkannya dibawa samudra entah kemana.

Mengapa semua seperti ini? Mengapa mereka tidak membiarkan dulu aku memilih? Aku mencintai Hest bukan? Lalu kenapa cinta kami harus di tentang hanya kerena perbedaan bangsa dan adat istiadat? Mereka seharusnya tahu, uang bisa membeli segalanya, kecuali cinta dan kebahagiaan yang sejati. Tidak, uang tidak bisa membeli keduanya secara utuh seperti daging ayam di meja makan mereka itu. Tidak, sekali lagi tidak!

Jadi apakah itu alasan paling tepat buatku untuk membela diri atas perselingkuhan ini? Arrrggg…. Otakkku menegang memikirkkan semuanya. Kami seperti orang yang membenci pencuri tapi sekarang kami sendiri mencuri, atau seperti orang yang membenci para koruptor, tapi sekarang kamilah koruptor itu sendiri. Aku hampir saja bangkit dan berhambur pulang ketika seorang wanita memasuki ruang lobi hotel ini. Hest datang dengan gaun merah menyalanya. Hatiku luruh melihat wujudnya nyata di depanku.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya begitu sampai di depanku. Malam ini wajahnya sayu. Tergambar jelas letih dan penat di sana. Cahaya indah yang selama ini menghiasi wajah itu, malam ini hilang entah kemana. Aku hanya bisa menjawabnya dengan sesungging senyum. Suaraku seolah tercekat rapat di tenggorokanku.

“Kamar  kita nomor berapa? Aku penat sekali rasanya, aku ingin segera beristirahat”

Aku luruh mendengar pertanyaan itu. Wujudku seolah salju yang tiba tiba terpapar sinar matahari siang, hilang tak berbekas.

“Nomor kamar kita berapa?”

“Eh…, nomor 221.”

“Ayo ke sana sekarang, aku penat sekali.”



gambar dari sini