PING !! BB di dekatku bergetar, lampunya berkedip
merah. Satu ping dari Hest.
Ya, Kubalas
panggilannya.
Aku lagi
kesel banget. Balasnya.
Kenapa
lagi? Tanyaku.
Siang ini
aku mergokin adikku lagi selingkuh di YM!. Wew, ada masalah lagi kayaknya.
Adik yang
mana?
Yang baru
punya anak lagi.
Heri?
Ya, sapa
lagi.
Hmmm….
Aku benci
lelaki yang sukanya selingkuh! Kenapa sekarang adikku yang selingkuh. Aku maki-maki
dia tadi.
Sabar….
Gak ada
kata sabar buat cowok yang doyang selingkuh.!! Gak ada!!
Nah sekarang
gimana? Heri adikmu, bukan?
Ya itu,
aku lebih sakit lagi karena yang selingkuh adikku. Istrinya sampe nangis-nangis
tadi. Dasar lelaki!!!
Jangan
samakan setiap lelaki.
Bah!! Sama
semua!!
Lagian apa
bukti dia selingkuh? Mungkin saja itu hanya teman chatting di YM!-nya
Tadi dia
chating lewat YM! Di komputer, tapi lupa sign out waktu di panggil bapak. Istrinya
yang gantiin chating bareng aku. Gak taunya, ya Tuhan… mereka janjian ketemu
malam ini. Katanya di tempat biasa.
Hmmm,
lelaki…
Kalau dia
sebut tempat biasa, berarti mereka sudah sering ketemu bukan?
Bisa aja
itu teman kantor, ketemu di kantor.
Bah!!
Adikku tadi sudah ngaku kalau mereka
sering ketemuan di penginapan.
Hmmm,
Aku ingin
bunuh dia!
Sudahlah,
sabar. Btw, bagaimana rencana kita?
….
….
Ping!!
***
Malam telah
sempurna gelapnya. Jam di tanganku rasanya berdetak-detak jauh lebih kencang
dari biasanya. Ataukah detakan jam itu hanya sebuah kamuflase dari detakan
jantungku? Aku sangsi. Aku hampir tak bisa membedakan, mana yang detakan jarum
jam, mana yang detakan jantungku. Keduanya seolah berpacu, berlomba memompakan
darah dan adrenalin keujung-ujung kepalaku. Mereka membuatku gelisah setengah
mati.
“Hest…,”
desahku. Berjuta bayang, kenangan dan pikiran melintas di depanku tentang dia.
Hest, seorang wanita muda yang dulu aku kenal masih berseragam putih abu-abu di
kelas sebelah. Gadis kembang desa dan dambaan hati setiap siswa normal di
sekolahku. Apa yang kurang darinya? Aku rasa tidak ada. Dia sempurna bila
ukurannya adalah ragawi.
Aku dulu
pernah menciumnya sekali di belakang kantin sekolah. Aroma wangi bedaknya yang
masih baru di taburkan di pipinya yang lembut itu, seakan terus menempel di
ujung hidungku selama berhari-hari. Bahkan kalau boleh aku bilang, sampai
sekarangpun rasanya rasa itu tetap ada di ujung hidungku ini kalau aku
mengenangnya. Yah…, walau kejadian itu, sudah lewat hampir sepuluh tahun
lamanya. Begitu pula setiap kali mengenangnya, rasanya ada kerinduan yang
begitu dalam di lubuk hati ini akan aroma dan rasa yang sama. Rasa yang terus
mengusik kehidupanku selama bertahun-tahun lamanya. Rasa dan aroma yang tidak
pernah sama aku dapati dari istriku, walaupun dia sudah memberiku dua orang
buah hati yang menawan. Tidak, mereka tidak sama. Aku tidak pernah merindukan
wanita lain seperti aku merindukan dia.
Hest pernah
memberiku hari-hari yang penuh warna, hari-hari indah yang sampai sekarang
masih aku kenang. Bahkan mungkin sampai akhirnya aku tidak bisa mengenangnya
lagi nanti. Dia adalah pacarku di masa masa SMA dulu. Masa dimana semua gejolak muda itu masih
mengeilingi kami berdua. Indahnya ….
Tapi maaf
kalau ada yang membayangkan masa-masa pacaran itu kami lewati dengan nafsu yang
penuh kubangan kotor. Aku bukan tipe lelaki seperti itu. Bagiku, cinta itu
suci, cinta yang suci tidak pernah akan melukai orang yang dicintainya. cinta
yang suci akan menjaga pula kesucian pasangannya, tidak malah mengotorinya
dengan nafsu yang bejat. Cinta yang suci, akan menjaga pasangannya dengan
segenap kemampuannya.
Hmmm,
indahnya masa-masa itu. Kadang aku berfikir, bisakah masa-masa itu akan kembali
lagi? Terulang lagi? Bisakah kami berdua lagi seperti dulu? Menjalin hari hari
indah penuh warna pelangi seperti itu lagi walau sekarang kami sudah memiliki
pasangan masing-masing? Walaupun bisa, sungguh aku juga masih takut. Takut bila
masa itu terulang, sakit yang sama juga akan terulang. Sakit oleh cinta yang harus
terpisah oleh perbedaan bangsa.
PING!!
Satu ping
mengagetkanku dari lamunan. Dari Hest.
Ya….
Kamu di
mana?
Aku di
lobi.
Sudah lama?
Hampir setengah
jam.
Kenapa tidak
menunggu di kamar saja?
Hatiku berdesir,
ada kebimbangan yang mendalam yang aku rasakan membaca pertanyaan itu di
tujukan padaku.
PING!!
Ya….
Lagi apa? Kenapa
gak jawab?
Aku tunggu
di lobi saja. Kamu di mana?
Otw.
Masih jauh?
Lima belas
menit lagi.
Ok, aku
tunggu.
Darahku makin
deras berdesir-desir. Mengalir panas dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Hest. Apa
yang ada padamu sehingga kamu mampu membuatku begini? Membuatku seperti boneka
yang tak berdaya yang bisa kamu mainkan hanya dengan satu jari telunjukmu?
Ini memang
bukan pertemuan kami pertama sejak kami berpisah dan berjumpa lagi di kota baru
ini. Tapi ini adalah pertemuan yang mampu memuatku panas dingin tak karuan. Bukan
hanya dia sebenarnya yang membenci perselingkuhan. Akupun sama. Aku benci
sekali melihat pasangan selingkuh itu. Tapi sekarang mengapa aku sendiri yang
melakukannya? Mengapa sekarang justru aku sendiri yang selingkuh? Bahkan otakkupun
seolah tak tahu harus berdalih apa.
Perlahan bayangan
masa masa SMA dulu berganti dengan bayangan-bayangan istri dan anakku. Keluarga
kecilku yang bahagia. Satu pertanyaan yang dulu sering aku lontarkan pada teman
teman yang selingkuh, sekarang pertanyaan itu seperti kembali telak memukulku. “Apa
salah istri dan anak-anakmu sehingga kamu pantas menyakiti mereka?”
Setiap kali
pertanyaan itu di tujukan balik kepadaku, setiap kali itu pula aku tidak bisa
menemukan jawaban selain karena keegoisanku. Apa kurang istriku? Apa salah
besarnya sehingga dia pantas untuk diduakan? apa hanya kerena seorang istri
harus mengerti suaminya? Lalu dimana letak pengertianku kepadanya sebagai suami?
Beribu petanyaan
dan tudingan menghujani kepalaku. Aku ingin meledak rasanya. Aku ingin
berteriak dan menumpahkan segala kesalahan ini pada lautan. Membiarkannya dibawa
samudra entah kemana.
Mengapa semua
seperti ini? Mengapa mereka tidak membiarkan dulu aku memilih? Aku mencintai
Hest bukan? Lalu kenapa cinta kami harus di tentang hanya kerena perbedaan
bangsa dan adat istiadat? Mereka seharusnya tahu, uang bisa membeli segalanya,
kecuali cinta dan kebahagiaan yang sejati. Tidak, uang tidak bisa membeli
keduanya secara utuh seperti daging ayam di meja makan mereka itu. Tidak,
sekali lagi tidak!
Jadi apakah
itu alasan paling tepat buatku untuk membela diri atas perselingkuhan ini? Arrrggg….
Otakkku menegang memikirkkan semuanya. Kami seperti orang yang membenci pencuri
tapi sekarang kami sendiri mencuri, atau seperti orang yang membenci para
koruptor, tapi sekarang kamilah koruptor itu sendiri. Aku hampir saja bangkit
dan berhambur pulang ketika seorang wanita memasuki ruang lobi hotel ini. Hest datang
dengan gaun merah menyalanya. Hatiku luruh melihat wujudnya nyata di depanku.
“Sudah lama
menunggu?” tanyanya begitu sampai di depanku. Malam ini wajahnya sayu. Tergambar
jelas letih dan penat di sana. Cahaya indah yang selama ini menghiasi wajah
itu, malam ini hilang entah kemana. Aku hanya bisa menjawabnya dengan
sesungging senyum. Suaraku seolah tercekat rapat di tenggorokanku.
“Kamar kita nomor berapa? Aku penat sekali rasanya,
aku ingin segera beristirahat”
Aku luruh
mendengar pertanyaan itu. Wujudku seolah salju yang tiba tiba terpapar sinar
matahari siang, hilang tak berbekas.
“Nomor kamar
kita berapa?”
“Eh…, nomor
221.”
“Ayo ke sana
sekarang, aku penat sekali.”
gambar dari sini