Kamis, 08 Oktober 2015

Dalam pada itu, aku masih menyebut nama Tuhan

Dalam pada itu, aku masih menyebut nama Tuhan. Dalam sebuah keheningan malam yang pada sorenya aku berbuat dosa. Pada malam itu, semua kenangan kembali. Berputar di dalam hening malamku seakan ribuan suara yang memintaku untuk kembali.

Kembali....

“Kembali ke mana?” tanyaku.

Dia hanya diam. Tangannya terlipat di depan mulutnya. Padangannya hampa memandang hamparan aspal hitam tak jauh dari tempatnya duduk. Entah itu padangan sesal, mengenang atau sebuah kehilangan yang mendalam.

Beberapa mobil melaju dengan lambat. Menebarkan butiran air hujan yang sore tadi membasahi jalan ini ke udara di belakangnya. Pada ruang kosong yang melukiskan hatinya. Hatiku?

“Kemana?” tanyaku lagi.

Dia diam.

“Hei....”

Dia menggeleng.

“Kamu mau pulang kemana?”

“Entahlah....,” desahnya kemudian. Ada hembusan nafas yang mendalam. Sekarang dia beringsut. Meluruskan kakinya, meletakkan tangannya diatas pahanya. Kepalanya terkulai. Sekaakan laskar yang kalah perang. “Aku ingin pulang, Kenangan, pada masa kecilku.” Imbuhnya kemudian. Sekarang pandangannya dia buang jauh kedepan. Seolah dengan itu dia mampu melihat pada masa lalunya yang indah.

Aku tersenyum sinis mendengarnya. Senyum simpul yang hanya tergores pada satu sudut mulutku. “Kamu menyesal?” tanyaku. Dia diam, tak menjawab. Hanya perlahan tangannya yang bergerak mundur. Menopang tubuhnya yang tegap tapi renta itu dari belakang. Padangannya tengadah. Memandang langit yang penuh dengan asap hitam. “Setelah semua yang terjadi, akhirnya kamu bilan g kamu menyesal? Untuk apa? Untuk bagian yang mana?”

Hening....

Angin sepoi melintas sekilas, lalu sepi lagi.

“Dan sekarang kamu ingin berlari dari kenyataan?” tanyaku lagi.

Angin datang lagi. Kali ini dia membawa sayup-sayup suara dari jauh. Suara panggilan bagi umatNya untuk meninggalkan selimut dan tempat pembaringannya yang nyaman. Untuk menyambut ibadah yang lebih dari seisi alam semesta. Angin itu, suara itu, seakan kesejukan yang tiada duanya. Mereka bersatu, saling menguatkan satu sama lainnya.

Keduanya kemudian menyentuhku. Anginnya membelai lebut kulit kumalku. Suara-suara itu merasuk kedalam hatiku. Medamaikan apa saja yang bergemuruh di sana. Mengembalikan semua kenangan kelam itu kedalam tempatnya yang gelap. Menggantinya dengan kenangan lain yang berwarna keperakan. Kenangan yang berpendar indah.

Dia beringsut. Duduk memeluk lututnya dengan erat. Seolah dengan itu, dia ingin mengembalikan hatinya utuh lagi. Hati dan perasaannya yang tadi berhambur keluar dari rongga dadanya. Hancur seakan tak pernah punya rupa dan wujud lagi. Dagunya dia sandarkan pada lututnya. Ada setetes bening air matanya yang jatuh. Menetes melewati pipinya yang angkuh.

“Tabukah aku menangis?” tanyanya dengan kemarahan dan penyesalan yang tertahan. “Dulu aku selalu menyebut namaNya dalam suara paling indah yang aku mampu ucapkan. Aku menyembahnya tanpa ‘tapi’. Aku hafalkan segala firmanNya. Aku amalkan segala ajaranNya.” Sekarang dia menoleh padaku. Matanya merah. Tangisnya bukan buatan. Aku tahu dia sungguh menyesal.

“Jadi salahkah aku kalau kemudan aku kecewa saat Dia tak mengabulkan pintaku yang paling sederhana? Hal paling sederhana yang sangat aku inginkan? Salahkah? Salahkah kalau kemudian aku berpaling? Kecewa padaNya, tak mau lagi menyebut namanya?”

“Dia mengujimu, wahai Diri. Tak sadarkah kamu?”

“Diam!” dia membentakku.

“Dia mengujimu. Bukankah kamu sebenarnya tahu? Bukankah sebenarnya kamu mengerti kalau tak ada seorangpun yang akan dibiarkan tanpa diuji setelah mereka menyatakan keimanan mereka?”

“Diam! Diam...! diam...!!!”

“Dan sekarang kamu ingin kembali? Kamu menyesal? Mengapa tidak menyegerakan diri? pintuNya terbuka lebar di depanmu. Pintu taubat dan penyesalan. Kenapa kamu tidak menyegerakan diri. Apa yang kamu tunggu? Ajal tak pernah menunggu taubatmu, wahai Diri.”

“Aku bilang diam....!!!”

Aku bangkit dari posisi dudukku. Kuulurkan tanganku ke arahnya. Menawarhakan bantuan untuk berdiri. “Ayo, bersegeralah, Dengarkanlah panggilanNya. Datangi pintu pengampunanNya. Apa lagi yang kau tunggu? Esok belum tentu ada untukmu.”

Dia memandangku dengan mata merahnya yang terus berusai air mata. Mulutnya, hidungnya, kembang kepis menahan sesak di dadanya. Aku tahu dia marah, aku tahu dia kecewa. Marah dan kecewa pada keadaan, pada dirinya sendiri.

“Masih marahkah kamu pada Tuhan? Bukankah pada keadaan tersulitpun kamu masih menyebut namaNya?”  aku berusaha memberinya senyum penuh persahabatan yang aku punya, dan dia masih berperang melawan dirinya sendiri. Angin malam berhenti berhembus, sebentar lagi fajar akan menggantikan malam dengan siang.

“Sampai kapan kamu akan di sana? Ayo! Pintu ampunanNya terbuka lebar. Tidakkah kamu mau menyambutnya...? berseralah....”


2:22

3 komentar:

  1. Yeaah... aktif lagi dengan fiksi.
    Baca 2x baru paham isinya. Maklum telminya makin akut :D

    Eh, tapi masih banyak typo tuh... kebiasaan lama niih... ^_^

    Semangat, mas Ridwan...

    BalasHapus
  2. menarik cerita fiksinya, goog arikcle, klo kata orang bule mh...

    BalasHapus
  3. bagus... dapet kesannya deh... tp masih agak kurang greget . . . :)
    visit back ya . .. :)

    BalasHapus

silahkan berkomentar di kolom komentar ini untuk meninggalkan jejak di blog ini. gunakan komentar anda sebagai bukti kunjugan anda ke blog ini. terimakasih.
.
.
.