“
Dan inilah juara 1 kita kali ini adalah...” Guru bahasa Indonesia kami diam
sesaat, menatap kami satu persatu, dari ujung ke ujung. “ Siapa dia kira kira?”
Beliau tersenyum simpul, membuat kami penasaran dan bertanya tanya. Karya
siapakah kira kira yang layak dinobatkan sebagai yang terbaik kali ini?
“
Roni!” Seorang dari kami berusaha menebak.
“
Yani, Si ratu puisi...” Yang lain menerka.
“
Sayangnya bukan...” Bu Meli, Guru Bahasa Indonesia kami berseru.
“
Agnes...”
“
Maya...”
Bu
Meli masih menggeleng.
Kami
diam, semakin penasaran. Bu Meli memang jago membuat suasana mencekam dan
sedikit menegangkan. Mirip acara kuis kuis di televisi.
“
Irma...” hei, itu namaku.
“
S.. Saya...?” tanyaku tergagap.
“
Ya irma, kamu ...” Bu Meli tersenyum kearahku, diikuti seisi kelas yang
ikut-ikutan menoleh kearahku. Pandangan mereka seolah menembus kepalaku,
menusuk langsung tepat pada jantungku. “ Silahkan maju ke depan Irma, kita akan
membahas cerpenmu...”
What?
Benarkah itu? Aku? Cerpenku?
“
Irma, ayo bergegas, teman teman yang lain ingin tahu apa yang kamu tuliskan
dalam cerpenmu” Bu Meli setengah mendesak.
Aku
segera maju ke depan kelas dengan langkah yang ragu ragu. Aku masih seakan tidak percaya, bagaimana cerpen yang
aku buat dalam keadaan yang galau itu bisa di nilai baik, bahkan yang terbaik
oleh Bu Meli?
Aku
mulai membacakan cerpenku dengan perasaan yang campur aduk. Sebenarnya cerita
yang aku tuliskan itu sederhana saja. Mirip sebuah surat terakhir dari seorang
anak penderita kanker ganas stadium akhir. Dalam cerpenku itu, aku ingin
berusaha mengungkapkan bagaimana kira kira perasaan tokoh utamaku itu menghadapi
hari hari terakhir hidupnya. Harapan harapannya dan segala yang ingin dia
ungkapkan untuk terakhir kalinya sebelum semuanya benar benar diluar kendali
dan berakhir.
“
Tak ada yang tahu kapan saat terakhir kita bertemu dengan seseorang.” Tulisku
di akhir cerpen yang aku buat. “Ajal adalah sebuah misteri Ilahi. Maka itu, aku
ingin berbuat baik kepada semua orang, karena aku tak tahu apakah aku bisa
meminta maaf untuk setiap kesalahanku ketika perjumpaan yang terakhir yang
misterus itu terjadi.
Tapi
menurutku, penderita kanker adalah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk tahu
kapan dia akan mati, sehingga dia tahu kapan waktunya akan berakhir dan
berusaha memperbaiki diri serta meminta maaf kepada setiap orang.”
Aku
menyelesaikan tugas membaca cerpenku sendiri di depan kelas dengan air mata
yang berderai derai membasahi pipiku. Butuh beberapa saat untuk bisa
mengendalikan diriku sendiri dan berhenti dari sesenggukan yang mengguncang
tubuhku keras keras.
“
Tulisanmu sangat emosional, Irma. Itu yang ibu suka dari cerpenmu.” Kata Bu
Meli setelah aku bisa menguasai diri dan emosiku, “ Kalau boleh tahu, dari mana
inspirasi cerpenmu itu Irma?”
Butuh
lebih banyak waktu lagi buatku untuk bisa menjawab pertanyaan yang berat itu.
Kuhela nafas panjang sebelum akhirnya aku menjawabnya dengan sebuah kalimat
singkat.
“
Sebenarnya, saya menulis perasaan saya sendiri, Bu.”
Aku
berusaha tersenyum dan menatap dengan tegar seluruh isi kelas sebelum aku
menegaskan kepada meraka tentang keadaan yang sebenarnya. “ Saya menderita
kanker payudara stadium akhir, dan
cerpen ini adalah perasaan saya sendiri,”