Minggu, 29 April 2012

Surabaya Bloofmeet 1 (part 2)

(Part 1 bisa dibaca di sini)


Sms dari Haf Sari kembali masuk beberapa saat kemudian.
Kalian di mana? Aku sudah di dekat air mancur ini.”
“Kang, Haf Sari sudah di sini nih, tapi mana dia ya?” kataku pada kang Insan sambil menebarkan padangan kesegala arah, berharap menemukan sosok teman baru yang satu ini ditengah keramaian Kebun Bibit.
“Coba di sms.” Jawab kang Insan.
Kamu di sebelah mana? Kok gak kelihatan?” satu sms aku kirimkan ke Haf Sari.
Di dekat orang yang lagi melukis.”
Aku kembali celingukan mencari sosok Haf Sari yang belum juga kelihatan batang hidungnya. Bahkan kang Insan dan Adi pun akhirnya juga berdiri tak jauh dariku dan mulai mencari cari.
“Itu dia.” Kang Insan setengah berbisik ke telingaku sambil menunjuk seorang cewek berbaju hitam dan bercelana jeans mirip anak hilang di tengah keramaian. Kalau sekali lagi aku ingat saat pertama kali pandanganku jatuh pada sosok bloofer yang satu ini, aku pasti akan selalu ingat akan kegigihannya untuk datang ke acara ini. Kegigihan yang patut kita acungi jempol dan rasa salut yang mendalam.
Haf Sari tersenyum lebar saat untuk pertama kalinya dia melihat kami bertiga berjajar menanti kedatangannya. Dengan sedikit malu malu, dia menghampiri kami dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan kami satu persatu.
“Cuma ini yang dateng?” Tanyanya setengah histeris melihat hanya ada tiga bloofers yang menyambutnya.
“Ya, cuma bertiga, berempat sama kamu.” Kata kang Insan menjelaskan.
“Ratri? Katanya mau dateng?”
“Gak jadi, ada urusan lain katanya.” Kang Insan menjelaskan dengan setengah kecewa.
“Jadi aku cewek sendirian?” Tanya Haf Sari ingin menegaskan keberadaannya di tengah tengah kami. Kang Insan tersenyum sebagai jawabannya. “Waduh…, wanita disarang penyamun ini ceritanya…” Canda Haf Sari yang diikuti gelak tawa kami.

***

Setelah Haf Sari duduk untuk melepas penat sejenak, kang Insan memutuskan untuk mencari tempat berkumpul yang lebih kondusif. Setelah berberapa saat mencari tempat yang kira kira cocok, akhirnya kami memutuskan untuk duduk melingkar di sebuah bangunan terbuka bekas perpustakaan Kebun Bibit. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul membentuk lingkaran bersama komunitasnya masing masing. Ada yang terlihat bercanda dengan sesama anggotanya, ada yang terlihat serius membicarakan entah apa, ada juga sebuah keluarga yang menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah.
Kang Insan, sang koordinator, dengan materi blognya yang selalu 'nendang'

Haf Sari bersama semangat dan kegigihannya.

Adi, bloofer dengan puisi yang dalam dan sarat makna.
“Di sini saja.” Kata kang Insan seraya duduk di lantai. Aku, Adi, dan Haf Sari duduk melingkar tak jauh dari tempat kang Insan duduk. Sebelum di buka, tak lupa kami membuka bekal yang kami bawa dan meletakkannya di tengah tengah lingkaran. Susana jadi lebih mirip pesta kebun atau suasa liburan bersama dari pada sebuah kopdar. Tapi tak apalah, itu justru membuat suasana tidak kaku lagi. Kami bisa saling lebih akrab satu sama lainnya.
Tak berapa lama kemudian kang Insan mulai membuka acara SBm yang pertama ini. Acara di buka dengan bacaan basmalah dan dilanjutkan dengan ungkapan kang Insan tentang betapa bahagianya dia bisa berkumpul bersama anggota bloofers yang lain untuk pertama kalinya. Walau sebenarnya aku dan kang Insan pernah bertemu dalam sebuah kesempatan singkat di tepi jalan, tapi jelas, kali ini suasananya jauh berbeda. Dengan tambahan Adi dan Haf Sari di tengah tengah kami, acara SBm yang pertama ini memberikan kesan yang sungguh berbeda dan menyenangkan.
“Aku bangga bisa berada bersama orang orang hebat seperti kalian, seperti anggota bloofers yang lain juga.” Kata kang Insan pada kami. Mungkin kang Insan tidak menyadari, bahwa sebenarnya kamilah yang begitu bangga bisa berkumpul, bertatap muka dan berdiskusi dengan seorang yang punya blog yang begitu bisa menginspirasi kami. Kang Insan, seorang blogger yang bukan sembarang blogger. Tulisannya yang begitu indah, enak di baca dan selalu bermuatan keagamaan yang kental sudah lama membuat kami seperti selalu dituntun untuk selalu berbuat baik. Kalaupun ada blog yang bisa membuatku merasa tertohok, itu pasti adalah blognya.
Setelah acara di buka, kang Insan memberikan kesempatan pada kami masing masing untuk memperkenalkan diri secara singkat. Ada beberapa hal kecil yang baru kami ketahui saat perkenalan itu. Hal hal kecil yang membuat kami tertawa dan bisa lebih mengenal satu sama lainnya.
“Ok, sekarang kita sudah berkenalan. Bagaimana kalau selanjutnya, kita mengulas sedikit tentang blog kita masing masing.” Kata kang Insan seraya menatap kami satu persatu. Adi menganguk. Bloofer yang satu ini memang paling irit kata kata diantara kami berempat. Begitu iritnya, mungkin kata kata yang dia keluarkan selama acara SBm ini berlangsung tak lebih dari panjang dari sebuat rangkaian kata dalam sebuah fiksi mini saja. Sedangkan aku, kang Insan dan Haf Sari sudah merajut sembuah novelet atau bahkan novel secara langkap.
“Boleh.” Jawab Haf Sari.
“Kalau begitu, dimulai dari kang Insan aja, kasi contohnya.” Kataku sambil menatap kang Insan yang tersipu.
“Hm…, Begitu ya? Boleh.” Kang Insan lalu menceritakan sejarahnya ngeblog. Dulu, katanya dia punya blog lain yang isinya lebih umum dari pada blog yang dia kelola sekarang. Tapi blog itu sudah dia tinggalkan. Kang Insan ingin lebih fokus dan berkomitmen untuk mensiarkan agama ini lewat tulisan tulisannya di blognya yang sekarang.
Kesempatan kedua jatuh padaku. Waktu itu aku menjelaskan kalau blogku yang sekarang ini juga bukan blog pertamaku. Blog pertamaku dulu adalah La Ranta. Nama La Ranta itu aku ambil dari bahasa Madura yang berarti ‘sudah beres’. Seperti halnya blog pertama kang Insan, blog ini juga sudah aku nonaktifkan. Alasannya sederhana saja, diantara sekian banyak posting yang ada di sana, yang merupakan hasil karyaku sendiri hanya sekitar 25 persen dari keseluruhan posting, sendangkan sisanya, hasil copas dari blog lain. Walau dalam proses copas itu aku selalu menyertakan link asalnya, tapi aku merasa kalau La Ranta bukan refleksi dari diriku sendiri.

“Seorang Blogger adalah penulis, bukan sekedar pengumpul link belaka.”

Selanjutnya giliran Adi untuk menjelaskan tentang blognya. Menurutnya, pertama kali tergerak untuk membuat sebuah blog adalah karena terdorong oleh kesukaannya membaca. Dia sering blog walking ke blog blog orang lain. Dari sanalah dia ingin untuk memberikan komentar pada blog blog yang dia datangi.
“Untuk berkomentar, kita harus punya id,  bukan. Maka itu, sekalian aku buat juga blognya.”
“Kalau boleh tahu, id  kamu apa?”
“D’anonim.”
“Ouh itu kamu…, ya ya… baru tahu aku…”
Kang Insan menilai blog Adi ini keren. Puisi puisi singkatnya penuh dengan kiasan dan pesan yang mendalam. Mendengar itu, sekali lagi teman kita ini hanya bisa tersenyum dengan pipi yang memerah. Benar benar orang yang irit kata kata.
“Blog pertamaku dulu sering bermasalah.” Kata haf Sari ketika dia mulai menjelaskan tentang blognya. Blog pertamanya itu, menurut dia menggunakan namanya sendiri. Tapi entah mengapa, selalu saja ada masalah di blog itu. Hingga suatu saat, dia memutuskan untuk menggukan nama yang sekarang dia pakai untuk blognya. “Dan sejak saat itulah, blogku bebas dari masalah sampai sekarang.”
Perkenalan dan pembahasan blog masing masing sudah selesai. Menyenangkan sekali rasanya bisa berbagi seperti ini. Kami tidak lagi di batasi oleh dunia yang tak nyata yang kami namakan internet. Lebih dari itu, kami jadi bisa lebih tahu, bahwa blogging itu sebenarnya bukan proses yang sederhana. Blogging perlu proses, ada pembelajaran di dalamnya, ada sikap saling menghargai, sikap saling care, sikap saling mengingatkan dan proses untuk selalu belajar dan berkarya.
Setiap blog dan blogger adalah unik, mereka punya karakter masing masing. Tugas kita adalah untuk menghormati keunikan itu dan mengambil setiap pelajarang positif yang ada di dalamnya.
Dalam kesempatan ini juga, kang Insan berbagi pengalaman tidak menyenangkannya saat postingan di blognya di copas habis habisan oleh blogger lain tanpa pemisi dan tanpa mencantumkan link ke blog kan Insan. Kang Insan berbagi tips bagaimana menghadapi seorang blogger seperti ini.
“Mulanya kaget juga saat tahu ternyata sudah ada tujuh posting di blog dia yang dia ambil langsung dari blogku dan di klaim sebagai hasil tulisannya sendiri.” Kang Insan berkisah. “Mulannya aku add dulu facebooknya. Setelah dia terima, aku kirimi dia pesan untuk sekedar berbasa basi dan berkenalan mulanya. Lalu aku tanya, apakah posting di blognya itu tulisan dia sendiri. Dia jawab itu tulisan dia sendiri. Nah saat itulah aku mentahkan argumennya dengan memberikan link ke blogku sendiri yang dia copas langsung ke blognya. Saat itulah dia menyadari kesalahannya dan minta maaf.”
Kami manggut manggut mendengarnya. Sebuah sharing yang berharga dari kang Insan.
Beda lagi dengan Haf Sari yang berkisah tentang bagaimana cara ‘menjual blog’. Aku sebenarnya tidak begitu faham dengan apa yang di utarakan Haf Sari tentang ini. Maka itu, tidak aku sampaikan secara mendetail tentang apa yang dia sampaikan. Buat kalian yang berminat dan tertarik, coba langsung saja hubungi yang bersangkutan.
Aku juga di minta untuk berbagi tips dalam tulis menulis oleh kang Insan dan yang lain. Aku sebenarnya bingung mau berbagi tips apa. Aku merasa aku bukan seorang penulis,bahkan aku belum punya satu karyapun yang bisa aku banggakan di depan yang lain. Tapi atas desakan yang lain, aku berikan beberapa tips tulis menulis yang pernah aku dapatkan dari beberapa sumber.
Yang pertama, untuk mencari ide itu sebenarnya sangat mudah. Kita bisa mendapatkan ide di mana saja, bisa di dijalan, dirumah, di sekolah, terminal, dan tempat tempat lain.
“Duduk dan perhatikan sekeliling.” Itu tips dariku. Mulailah mempertajam kepekaan akan kejadian kejadian kecil di sekitar kita dan mulailah berlajar berimajinasi. Akan selalu ada ide yang datang bagi mereka yang mau mencarinya.
Yang kedua, untuk menjadi penulis yang, maka jadilah pembaca yang baik. Dengan membaca kita bisa membandingkan mana tulisan yang baik dan mana tulisan yang kurang baik. “Tapi tidak ada tulisan yang salah dan yang benar, yang ada hanya yang baik cara penyampaiannya dan yang kurang baik penyampaianya. Itu saja.” Jelasku pada mereka.
Yang ketiga, ketika kita baru saja masuk di dunia tulis menulis, ada baiknya kita melakukan penelaahan dan meniru karakter tulisan penulis penulis senior. “ Itu sah sah saja, selama kita  tidak melakukan plagiat. Kita hanya boleh meniru gaya tulisan dan gaya bahasanya. Tapi percayalah, suatu saat, kita akan menemukan jati diri kita sendiri. Jadi jangan khawatir, sekarang boleh meniru, suatu saat, kita akan membangun karekter kita sendiri.”
Sedangkan dari kang Insan, dia juga menambahkan beberapa poin tentang tampilan blog yang menarik pengunjung. Yang pertama, blog itu harus punya ciri khas yang kuat, bukan blog yang bercampur baur. Misal kita punya blog yang berisi tentang otomotif, itu berarti kita harus selalu mengisinya dengan posting yang berisi tentang otomotif saja, jangan sampai blog otomotif kita itu kita isi juga dengan curhatan hati kita.  Blog yang punya ciri khas yang kuat, akan mudah diingat oleh pengunjung.
Yang kedua, blog harus punya posting yang susunan bahasanya enak dibaca, tidak melompat lompat. Ini juga memperngaruhi pembaca untuk kembali lagi berkunjung ke blog kita atau dia tidak akan pernah lagi kembali berkunjung karena bahasa tulis kita yang amburadul.
Ketiga, sebaiknya di hindari tampilan atau widget widget yang menyebabkan blog berat saat loading. Blog yang lama loading pembukaanya, biasanya langsung di tinggalkan oleh pengunjung, bahkan saat blog itu belum sepenuhnya terbuka dan sempat di baca isinya.
Keempat, sebuah tambahan dari Haf Sari, dia berpendapat bahwa blog yang terlalu banyak iklan juga kurang enak untuk di kunjungi, begitu pula blog yang mengharuskan pengunjung untuk mengisi isian tentang nama pengunjung dan sebagainya saat loading blog.

"Berilah kenyamanan pada pengunjung blog, maka blog kita akan diingat oleh setiap orang yang berkunjung."

***

Sebenarnya masih banyak hal hal yang kita bahas dalam acara SBm yang pertama ini. Tapi mungkin karena keterbatasan ingatanku, maka aku hanya bisa menyampaikan hal yang aku ingat saja. Semoga ini bisa bermanfaat bagi teman teman semua, dan bisa menjadi inspirasi untuk SBm selanjutnya dan acara Bloofmeet di daerah lain.
“Bolehlah yang datang hari ini cuma empat orang, tapi dari sinilah kita akan membangun masa depan bloof dan dunia per-blog-an menuju arah yang lebih baik.” Kata kang Insan menggebu gebu.  “Aku juga berharap, semoga di acara selanjutnya yang hadir bisa lebih banyak dari yang sekarang, acaranya bisa lebih bermakna dan bisa mendatangkan lebih banyak perubahan.”
Acara ditutup dengan hamdalah. Aku, Adi dan Kang Insan berjalan bersama menuju pintu keluar dari kebun Bibit, sedangkan Haf Sari, si ‘anak yang hilang’ melanjutkan perjalananya menjelajahi setiap inci dari kebun bibit.
Hari itu, Minggu, 22 April 2012, menjadi hari yang bersejarah untuk bloofers Surabaya. Tak sabar rasanya untuk menantikan SBm yang ke dua.

Selasa, 24 April 2012

Surabaya Bloofmeet 1 (Part 1)

Dengan langkah tergesa gesa aku menuruni tangga menuju lantai satu rumah kontrakan. Jam di hapeku sudah menunjukan pukul 9.41, sembilan belas menit sebelum tepat pukul sepuluh pagi. Aku pasti terlambat, batinku. Sedikit rasa sesal tiba tiba saja muncul di hatiku tanpa permisi. Andai tadi aku bisa bangun lebih pagi, atau tidak menarik selimut lagi selepas subuh tadi, pasti aku bisa datang ke acara Surabaya BloofMeet (SBm) yang pertama ini dengan lebih santai. Apa lagi aku baru ingat kalau aku belum membeli makanan kecil apapun yang akan aku bawa ke acara SBm ini. Waduh, pagiku kali ini benar benar sedikit kacau. Padahal, seharusnya ini menjadi pagi yang menyenangkan.
Setelah mengecek semua perlangkapan yang harusnya di bawa, kupacu motorku dengan kecepatan tidak lebih dari lima puluh kilometer perjam dengan harapan aku masih bisa menemukan penjual makanan kecil seperti gorengan atau makanan kecil sejenisnya di sepanjang jalan yang aku lintasi. Tapi sampai akhirnya aku berhenti di lampu merah dekat kampus A Unair, aku belum juga membeli apapun. Bersembunyi di makanakah kalian, wahai para penjual? Aku membatin, mengapa serasa sulit sekali menemukan kalian di pagi menjelang siang seperti ini. Untuk itu sekali lagi aku diliputi rasa sesal dan bersalah. Andai semalam aku menyempatkan diri untuk keluar dari kontrakan dan mencari makanan kecil pasti pagi ini aku bisa berangkat ke SBm dengan lebih ceria dan santai. Hm….
Lampu lalu lintas menyala hijau dan aku sekali lagi ‘terpaksa’ menyusuri jalan sambil menoleh ke kanan dan kekiri, berharap bisa menemukan satu saja penjual makanan ringan yang bisa aku beli untuk aku bawa ke SBm. Tapi lagi lagi nihil. Mereka sedang mengejekku mungkin, batinku setengah dongkol pada diri sendiri.
Tapi kedongkolan itu tiba tiba berubah menjadi perasaan penuh surprise saat aku belok kanan di pertigaan terakhir menuju rumah kang Insan Robbani. Ada seorang pengendara sepeda motor dengan kaos putih khas Bloofers yang melambaikan tangannya padaku. Sontak aku menghentikan laju motorku. Itu pasti kang Insan. Di kota pahlawan ini, siapa lagi yang punya kaos itu selain dia.
“Assalamualaikum…” seruku seraya nyengir saat motor kami bertemu di pinggir jalan.
“Waalaikum salam,” jawabnya.
“Nang endi, langsung tah?(mau kemana, langsung tah?),” tanyaku.
“Yo, langsung ae, wes jam sepuluh lewat iki. (ya, langsung saja, sudah jam sepuluh lewat ini).” Jawab kang Insan seraya memutar balik motornya. “Tapi mampir dulu di minimarket ya.” Imbuhnya.
“Ngapain?” tanyaku, setengah bego.
“Aku belum beli camilan, cari di sana saja.” Jawab kang Insan yang membuatku seperti sekali lagi di cubit oleh akang yang satu ini. Mengapa aku tidak berfikir sama sekali untuk membeli makanan ringan di minimarket saja. Padahal sepanjang jalan yang aku lalui, ada beberapa minimarket yang dengan senang hati sedang menungguku.
Aku sekali lagi nyengir, tapi kali ini lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri.

***

Saat tengah asik memilih camilan di minimarket, sebuah pesan singkat masuk di handphoneku. Dari Haf Sari.
Aku sudah di Bungurasih, trus naik apa? Kemana?”
“Naik bus kota jurusan terminal Bratang, turun di terminal Bratang.” Jawabku singkat.
“Mau camilan apa?”
“Apa saja terserah.”
“Krupuk mau?”
“Bolehlah, yang penting ada.”
Dalam hati aku salut akan sosok Bloofers yang satu ini. Untuk bisa hadiri di acara SBm ini, dia harus melintasi perjalanan yang tidak simple. Dengan berbekal tekad dan keinginan kuat untuk bertemu dengan sesama anggota Bloofers, dia harus pergi meninggalkan rumah seorang diri dengan beberapa kali harus berpindah dari satu transportasi umum ke transprotasi umum yang lain. Tapi semangatnya yang membara, membuatnya berhasil juga sampai di kota Pahlawan ini untuk pertama kalinya.
“Sms dari siapa?” tanya kang Insan yang tiba tiba nongol di sebelahku di depan kasir minimarket.
Haf Sari kang.”
“Oh, sudah dimana dia?”
“Di Bungurasih sekarang. Yang dateng cuma kita bertiga nih kang? Tadi pagi Tisya sms aku katanya gak bisa dateng.”
“Sepertinya Ratri bisa dateng kok, jadi minimal ada empat orang.” Aku tersenyum kecut mendengarnya. Kopdar dengan peserta yang hadir hanya empat orang saja. Jauh dari pikiranku selama ini. Tapi so what lah. Yang penting kebersamaannya.
Segera setelah membayar barang barang yang kami beli, kami meluncur ke Taman Flora atau Kebun Bibit Bratang. Setelah parkir motor, kami mencari tempat yang kira kira mudah untuk di datangi oleh semua orang. Keputusan akhirnya jatuh pada kursi beton melingkar yang ada tak jauh dari air mancur.
“Nomor siapa ini?” tanya kang Insan seraya memperhatikan handphonenya.
“Nomor baru kang?”
“Ya, tanya posisi kita. Anggota Bloof juga sepertinya.”
Tak lama setelah kang Insan mengirimkan beberapa pesan singkat balasan, seorang cowok datang menghampiri kami dengan senyum simpulnya yang malu malu. Serta merta pula dia menjabat tanganku.
“Ini mas Ridwan, bukan?” tanyanya, “Yang ini mas Insan, kan?” membuat aku dan kang Insan saling pandang kebingungan. Berasa aneh ada orang yang mengenal kami, padahal kami yakin kalau kami bertemu dengan cowok yang satu ini baru pada pertemuan yang pertama.
“Ya bener.” Jawabku dan kang Insan nyaris bersamaan.
“Maaf ini dengan siapa?”
“Adi mas.”
“Adi? Nama facebooknya?”
Jalaluddin El' Qassam, itu saya pake facebook adik saya mas, kalau nama asli saya Adi.”
“Oalah… ya ya ya….”
Adi yang murah senyum itu tampak tambah tersipu mendengar koor kang Insan dan aku. Pada waktu yang bersamaan sebuah pesan singkat masuk di handphoneku. Dari Haf Sari lagi.
keren,baru pertama naik bus kayak ginie. Dalam bus berasa di tengah pasar. Amburadul sampe lagu Ebiet gak kedengeran.”
“Gegegegegege, welcome to the jungle, Haf.” Balasku.

***

(apa yang terjadi setelah cewek satu satunya dalam SBm ini hadir di kebun bibit? nantikan posting selanjutnya di Surabaya Bloofmeet part 2 )

Selasa, 10 April 2012

Kuukir Pelangi Untukmu




Haruskah aku ceritakan padamu sudah berapa jauh jarak yang kutempuh untuk kembali berdiri di sini, tempat kita dulu berkumpul menyaksikan pelangi? Atau haruskah aku ceritakan padamu sudah berapa dermaga, berapa lembah dan lautan pasir yang kuarungi untuk mencari tempat yang sama indahnya dengan tempat dulu kita mengukir pelangi persahabatan kita? Aku rasa sekarang itu tidaklah lagi penting kawan. Karena telah kuceritakan kepada seluruh dunia, betapa indahnya pelangi persahabatan kita. Ya, pelangi persahabatan indah yang pernah alam ukir hanya untuk kita. Spesial untuk kita, bukan yang lain.

“Hei lihatlah itu…!” Ani, yang termuda dari kita berseru di sore yang telah layu waktu itu.

“Pelangi…” aku bergumam, dan yang lain setengah berteriak bersamaan.

“Indahnya….!!!”

“Diam diam, aku ingin mengabadikannya…, minggir semua…” Aisyah yang paling heboh diantara kita menyeruak ke depan, menyibakkkan gerombolan kita yang tak memperdulikan gerimis untuk melihat pelangi itu lebih jelas. Kita seperti kumpulan anak TK yang sudah kadaluarsa waktu itu bukan? Tapi itu menyenangkan kawan. Julukan yang diumpatkan pada kita oleh mereka yang sirik akan kebersamaan kita.

“Tunggu Aisyah, fotomu tidak lengkap tanpa aku ada di sana…” Ani berteriak seraya berlari kecil ke depan, menembus gerimis yang turun malu malu pada kita.


“Minggir Ani, jelek tau…”

“Fotoin aku sama pelangi itu…!”

“Wajahmu gak akan jelas, jadi siluet saja ntar kalau udah jadi…”

“Itu keren Aisyah, cepetan…”

Aku masih ingat betul bagaimana Aisyah mendengus dengan wajah penuh kesal waktu itu. Wajah yang lucu, yang selalu aku kenang sampai sekarang. Aku jadi penasaran, bagaimana wajah itu sekarang? Apakah sudah mejadi wajah keibuan yang meneduhkan? Atau masih sama imutnya dengan wajahnya saat mengantarkanku ke bandara saat terakhir kita bertemu?. Wajah imut yang berurai air mata.

“Hei lihat, itu keren…”

“Ya… ya … fotonya jadi keren… aku juga mau Aisyah…. Fotoin aku juga…..”

“Gak, enak aja, sana pake punya sendiri sendiri…” Aisyah masih saja sewot.

“Tapi punyaku kameranya jelek Aisyah, ya ya… pake  punya kamu, Aisyah baik deh….”

“Kalau ada maunya, di baik baikin, coba kalau gak….”

“wehehehehhehehe….. hihihiihihihi…. Aisyah baik deh….”

“Udah cepetan sana, udah udah jangan berebut, satu satu,”

“Aku duluan…”

Tak Cuma yang cewek saja yang narsis berfoto waktu itu, bahkan aku, dan semoa orang yang cowokpun ikutan narsis nampang di depan kamera Aisyah. Ada keceriaan yang terukir waktu itu, ada tawa yang membahana, ada hati yang lapang yang tercipta. Bahkan kalian tahu kawan, tawa kalian itu telah menggema dan terus menggaung sampai sekarang dalam relung relung terdalam ingatanku. Tawa yang begitu menyejukkan, yang saat aku mendengarnya untuk sekali lagi, dan lagi, seolah sirna semua beban yang pernah ada di hati ini.

“Hei lihat, fotonya kok sama semua posenya? Ini foto siapa? Yang ini siapa?” Nick tiba tiba histeris kebingungan saat memperhatikan hasil foto yang diambil Aisyah. Dan kalian mulai ribut, mulai mengingat ngingat urutan yang di potret Aisyah tadi, Uni, Selvi, Pipi, Awa, Tia, Budhi, Amin, Aulia, aku dan kita semua mulai ribut seperti anak TK yang meributkan sekawanan semut yang lewat di depan mereka.

“Bagaimana membedakannya?”
“Gak tahu, yang pasti cuma yang jelas, ini cowok, yang itu cewek. Yang cowok semua jadi sama, yang cewek semua juga jadi sama. Kita seolah satu, kita seolah melebur dalam satu bayangan yang sama dalam foto itu.”

“Benar.”

“Bukankah kita memang satu? Bukankah kita memang sesama blogger?”

“Ya benar, karena kita memang tiada beda, tiada senior atau junior, kita dalah sahabat, kita adalah BLOOFERS bukan…”

Ah…, masih aku rasakan keharuan yang tiba tiba menyeruak diantara kita waktu itu. Keharuan yang juga masih bisa aku rasakan sampai sekarang, kawan. Keharuan yang sampai sekarang masih mampu untuk membuat mataku berkaca kaca…

Selembar foto itu sekarang masih kusimpan, kawan. Di sini, tak jauh dari jantung dan hatiku. Selembar foto yang kita beri judul “Kuukir pelangi Untukmu”. Selembar foto yang entah itu foto siapa, hanya yang aku tahu, pastinya dia adalah salah satu dari penggemar lambang etawah berwarna ungu : BLOOFERS





Ditulis secara khusus atas pemintaan dari kang Muhaimmin Tawwa, di persembahkan untuk seluruh BLOOFERS