Minggu, 11 November 2012

Marlin Konyol


Hari ini untuk pertama kalinya Marlin datang ke sekolah dengan seragam barunya. Seragam lama yang sudah tiga tahun tidak pernah di ganti, sekarang sudah resmi menjadi penghuni tetap lemari bajunya yang sudah tua itu, menunggu kesempatan untuk bisa dilihkan hak kepemilikannya kepada yang lebih membutuhkan. Yah, karena begitulah, Marlin adalah anak yang memang rajin, suka menabung, suka berbagi dan tidak sombong (kalau yang ini sih, versi Marlin sendiri tentang dirinya sendiri, entah bagaimana versi mak terhadap anaknya yang satu ini).

Marlin sekarang bukan anak sekolah berseragam putih-biru lagi. Hari ini seragam sekolahnya sudah berganti dengan seragam putih-abu-abu. Sekolahnya juga sudah ganti, bukan lagi dijalan dekat balai RW itu, tapi sekarang sekolahnya jauh di pusat kota sana. Wah, gaya ya si Marlin sekarang. Tiap hari dia harus naik bus ke sekolahnya. Pak Ajang sopir becak langganannya kemarin sudah di-PHK dengan cara seksama yang mengharu biru, berlinang air mata dan kata-kata perpisahan yang pahit #lebay.

Bus yang ditumpangi Marlin berhenti tepat di halte depan sekolahnya yang baru. Dada Marlin berdebar-debar. Sejauh mata memandang, tidak ada satupun siswa yang dia kenal di sekolah ini. Setidaknya, masih belum ada. Marlin berjalan mengendap-endap sambil tolah toleh ke kanan dan kekiri masuk ke dalam sekolah. Mengamati hampir setiap wajah yang dia temui pagi itu. Kabarnya, sekolah ini adalah sekolah favorit yang isinya anak anak orang kaya semua. Kabarnya juga, cowok-cowok di sekolah ini ganteng-ganteng. Tapi kok, Marlin dari tadi tidak melihat seorang cowokpun melintas di depannya ya? Marlin mulai bingung dan ragu-ragu. Ini yang salah memang keadaan di depannya atau…. Marlin sejenak menghentikan langkahnya, membuka kaca mata minusnya, lalu mengucek-ngucek matanya. Ketika matanya perlahan lahan di buka, Marlin hampir pinsan rasanya. Jantungnya seakan berhenti berdegup.

“Selamat pagi ….” Sapaan itu tepat terlontar di depan hidungnya. Marlin hanya bisa menganngguk kaku, dengan mata yang membengkak dan mulut yang berbetuk huruf ‘O’ sempurna. Dalam keremangan mata minusnya, mata Marlin menangkap seraut wajah yang nonjok di hatinya. Cowok di depannya itu, yang baru saja menyapanya dengan lembut, aduhai, ganteng banget sepertinya. Perlahan lahan Marlin memasang kaca matanya lagi. Lalu, setelah keremangan itu berakhir dan terbitlah kejelasan, mendadak Marlin merasa oleng, dunia berputar-putar, dan terakhir dia pingsan dengan suksesnya.

***

Marlin mengejap-gejapkan matanya. Cahaya putih dari lampu diatasnya membuat mata Marlin silau. Marlin berusaha bangkit dari tidurnya, mencari cari kaca matanya sambil mengamati keadaan sekelilingnya. Kalau menurut pengamatan Marlin. Ruang ini mungkin saja ruang UKS.

Seorang cowok datang menghampiri Marlin yang sedang duduk kebingungan di tepi ranjang. Cowok itu, bukankah itu cowok yang tadi menyapanya dengan suara lembut? Sekarang Marlin bisa memperhatikan sosoknya dengan lebih jelas. Cowok di depannya itu ganteng sekali. Wajahnya, kulitnya, oh, Marlin bergidik. Baru kali ini rasanya dia melihat cowok ganteng jelas di depan matanya. Biasanya dia hanya bisa melihat cowok ganteng dari siaran tv saja. Cowok cowok di kampungya mana ada yang seperti ini tampilanya?

“Sudah baikan?” tanyanya. Masih dengan suara surgawinya. Marlin hanya bisa memberikan anggukan kecil sebagai jawabannya.

“Tadi kenapa?” cowok itu bertanya lagi.

“Tadi aku pingsan ya?” tanya Marlin polos.

“Ya, tadi saya yang bawa kamu kesini.”

“Kamu?”

“Ya.”

“Pakai apa?”

“Aku gendong….”

Hah? Mendengar itu Marlin pingsan lagi. Oh tidak , tidak itu salah. Marlin tidak pingsan lagi, dia hanya merasakan jantungnya berdebar lebih kencang seperti genderang mau peran (itu lagu bukan?). Tadi dia di gendong cowok keren itu ke dalam UKS ini? Waduh, mengapa dia tidak menggendong dirinya saat sadar saja ya? Kenapa mesti saat pingsan? Marlin memukul mukul kepalanya. Sudahlah Marlin, itu impian yang terlalu untuk seorang Upik Abu.

“Ma, makasih ….” Akhirnya kata kta itu yang keluar dari mulut Marlin.

“Sama sama. Tadi kenapa bisa pingsan?”

Marlin ingin berkata kalau tadi dia pingsan gara gara tadi dia ketemu sama cowok itu pagi pagi. Marlin juga ingin bilang kalau cowok di depannya itu ganteng banget. Ah, pasti dia sudah tau kalau dirinya ganteng. Marlin ingin bilang kalau dia begitu terpesona padanya saat pandangan pertama. Hmmm, semua cewek normal juga sepertinya akan terpesona pada sosoknya. Marlin ingin bilang kalau suaranya itu seperti suara surgawi, berharap dia akan terkesan dan menyatakan cintanya pada Marlin saat itu juga. Marlin, pils deh ….

Marlin ingin mengatakan itu semua dan berharap ada keajaiban di pagi ini. Tapi jangankan deretan kata panjang yang sudah di persiapkannya itu yang keluar dari mulutnya, yang terjadi kemudian adalah perutnya yang mulai bernyanyi lagi.

“Aku, aku lapar….” Desisnya kemudian.

“Tadi belum sarapan?”

“Gak sempat sarapan, tadi aku bangun kesiangan lagi.”

“Kalua begitu, saya ambilkan makanan dulu di kantin ya.”

“Apa tidak merepotkan?”

“Gak kok. Kamu tunggu di sini dulu ya.”

Marlin mengangguk senang. Cowok itu kemudian berlalu kearah pintu UKS, hendak keluar. Tapi sebelum benar benar keluar, Marlin memanggilnya.

“Hai, bisa aku pesan sesuatu?”

“Ya?” cowok itu berpaling kearah Malin.

“Kalau tidak merepotkan dan ada uang, bisakah aku pagi ini makan dengan lauk rendang dan ayam goreng? Sambelnya jangan terllau pedes ya, aku suka gak tahan pedes, jangan lupa jus jeruknya yang dingin juga.”

Cowok itu diam sejenak, berfikir, lalu tersenyum kecut. Wajah Malin jadi pias. Apa apaan ini? Marlin, sudahlah. Sadarlah.

“Gak jadi ….” Ralat marlin kemudian.

***

Tidak lama kemudian, cowok itu datang lagi ke dalam UKS dengan sepiring nasi di tangannya dan jeruk hangat di tangan yang lain. “Maaf menunggu lama.” Katanya, seraya meletakkan jeruk hangat di meja dan menyerahkan nasinya kepada Marlin.

Marlin lagi lagi membalasnya dengan senyuman. “eh, maaf, ada kotoran di dekat bibir kamu.” Kata Marlin seraya menyapu kotoran yang menempel di sebelah kiri bibir cowok itu. Dengan refleks yang baik, cowok itu juga mengarahkan tangannya kearah bibirnya. Bukan kotoran kemudian yang di tangkap oleh tangan cowok itu. Tapi tangan Malin!

Marlin ingin pingsan lagi untuk kedua kalinya pagi ini. Cowok ganteng itu menggenggam tangannya! Tapi Marlin tidak benar-benar ingin pinsan. Dia ingin bertahan walau sekarang badannya langsung lemas dan jantungnya berdebar lebih kencang lagi.


“Kamu kenapa?” tanya cowok itu penuh kekhawatiran melihat kondisi Marlin yang langsung lemas tanpa aba-aba. Marlin hanya bisa menjawab dengan menggelengkan kepalanya. “Kamu lemes banget, ayo ini di makan dulu nasinya.” Marlin lagi-lagi menggeleng.

“Aku suapin ya.” Kali ini Marlin mengangguk, hatinya girang bukan main. Mimpi apa dia semalam sampai-sampai pagi-pagi begini dia bisa mendapatkan anugrah luar biasa ini?

Baru beberapa sendok nasi masuk kemulutnya, sebuah ketukan terdengar di pintu. Sesaat kemudian, seorang ibu-ibu masuk kedalam UKS. Marlin menduga, itu pasti salah satu guru di sekolah ini.

“Pak Mardian, sekarang jam bapak untuk memberikan materi bahasa Indonesia di kelas XII A. biar saya yang meggantikan bapak mengurusi anak ini.” Itulah kata-kata tanpa aba-aba yang keluar dari mulut yang bersangkutan.

Cowok itu di panggil bapak? Memberikan materi Bahasa Indonesia? Berarti dia guru? Sejenak kemudian Marlin memperhatikan cowok itu dari atas kebawah. Kali ini Marlin baru sadar kalau cowok itu memang menggunakan baju putih, tapi dengan celana hitam, bukan celana seragam abu-abu seperti yang seharusnya di pakai para siswa. Menghadapi kenyataan itu, Marlin pingsan dengan suksesnya untuk kedua kalinya pagi ini.


sumber gambar dari sini

Rabu, 10 Oktober 2012

Salahkah Kalau Aku Juga Selingkuh





PING !! BB di dekatku bergetar, lampunya berkedip merah. Satu ping dari Hest.

Ya, Kubalas panggilannya.

Aku lagi kesel banget.  Balasnya.

Kenapa lagi? Tanyaku.

Siang ini aku mergokin adikku lagi selingkuh di YM!. Wew, ada masalah lagi kayaknya.

Adik yang mana?

Yang baru punya anak lagi.

Heri?

Ya, sapa lagi.

Hmmm….

Aku benci lelaki yang sukanya selingkuh! Kenapa sekarang adikku yang selingkuh. Aku maki-maki dia tadi.

Sabar….

Gak ada kata sabar buat cowok yang doyang selingkuh.!! Gak ada!!

Nah sekarang gimana? Heri adikmu, bukan?

Ya itu, aku lebih sakit lagi karena yang selingkuh adikku. Istrinya sampe nangis-nangis tadi. Dasar lelaki!!!

Jangan samakan setiap lelaki.

Bah!! Sama semua!!

Lagian apa bukti dia selingkuh? Mungkin saja itu hanya teman chatting di YM!-nya

Tadi dia chating lewat YM! Di komputer, tapi lupa sign out waktu di panggil bapak. Istrinya yang gantiin chating bareng aku. Gak taunya, ya Tuhan… mereka janjian ketemu malam ini. Katanya di tempat biasa.

Hmmm, lelaki…

Kalau dia sebut tempat biasa, berarti mereka sudah sering ketemu bukan?

Bisa aja itu teman kantor, ketemu di kantor.

Bah!! Adikku tadi  sudah ngaku kalau mereka sering ketemuan di penginapan.

Hmmm,

Aku ingin bunuh dia!

Sudahlah, sabar. Btw, bagaimana rencana kita?

….

….

Ping!!

 
***


Malam telah sempurna gelapnya. Jam di tanganku rasanya berdetak-detak jauh lebih kencang dari biasanya. Ataukah detakan jam itu hanya sebuah kamuflase dari detakan jantungku? Aku sangsi. Aku hampir tak bisa membedakan, mana yang detakan jarum jam, mana yang detakan jantungku. Keduanya seolah berpacu, berlomba memompakan darah dan adrenalin keujung-ujung kepalaku. Mereka membuatku gelisah setengah mati.

“Hest…,” desahku. Berjuta bayang, kenangan dan pikiran melintas di depanku tentang dia. Hest, seorang wanita muda yang dulu aku kenal masih berseragam putih abu-abu di kelas sebelah. Gadis kembang desa dan dambaan hati setiap siswa normal di sekolahku. Apa yang kurang darinya? Aku rasa tidak ada. Dia sempurna bila ukurannya adalah ragawi.

Aku dulu pernah menciumnya sekali di belakang kantin sekolah. Aroma wangi bedaknya yang masih baru di taburkan di pipinya yang lembut itu, seakan terus menempel di ujung hidungku selama berhari-hari. Bahkan kalau boleh aku bilang, sampai sekarangpun rasanya rasa itu tetap ada di ujung hidungku ini kalau aku mengenangnya. Yah…, walau kejadian itu, sudah lewat hampir sepuluh tahun lamanya. Begitu pula setiap kali mengenangnya, rasanya ada kerinduan yang begitu dalam di lubuk hati ini akan aroma dan rasa yang sama. Rasa yang terus mengusik kehidupanku selama bertahun-tahun lamanya. Rasa dan aroma yang tidak pernah sama aku dapati dari istriku, walaupun dia sudah memberiku dua orang buah hati yang menawan. Tidak, mereka tidak sama. Aku tidak pernah merindukan wanita lain seperti aku merindukan dia.

Hest pernah memberiku hari-hari yang penuh warna, hari-hari indah yang sampai sekarang masih aku kenang. Bahkan mungkin sampai akhirnya aku tidak bisa mengenangnya lagi nanti. Dia adalah pacarku di masa masa SMA dulu. Masa  dimana semua gejolak muda itu masih mengeilingi kami berdua. Indahnya ….

Tapi maaf kalau ada yang membayangkan masa-masa pacaran itu kami lewati dengan nafsu yang penuh kubangan kotor. Aku bukan tipe lelaki seperti itu. Bagiku, cinta itu suci, cinta yang suci tidak pernah akan melukai orang yang dicintainya. cinta yang suci akan menjaga pula kesucian pasangannya, tidak malah mengotorinya dengan nafsu yang bejat. Cinta yang suci, akan menjaga pasangannya dengan segenap kemampuannya. 

Hmmm, indahnya masa-masa itu. Kadang aku berfikir, bisakah masa-masa itu akan kembali lagi? Terulang lagi? Bisakah kami berdua lagi seperti dulu? Menjalin hari hari indah penuh warna pelangi seperti itu lagi walau sekarang kami sudah memiliki pasangan masing-masing? Walaupun bisa, sungguh aku juga masih takut. Takut bila masa itu terulang, sakit yang sama juga akan terulang. Sakit oleh cinta yang harus terpisah oleh perbedaan bangsa.

PING!!

Satu ping mengagetkanku dari lamunan. Dari Hest.

Ya….

Kamu di mana?

Aku di lobi.

Sudah lama?

Hampir setengah jam.

Kenapa tidak menunggu di kamar saja?

Hatiku berdesir, ada kebimbangan yang mendalam yang aku rasakan membaca pertanyaan itu di tujukan padaku.

PING!!

Ya….

Lagi apa? Kenapa gak jawab?

Aku tunggu di lobi saja. Kamu di mana?

Otw.

Masih jauh?

Lima belas menit lagi.

Ok, aku tunggu.

Darahku makin deras berdesir-desir. Mengalir panas dari ujung kaki ke ujung kepalaku. Hest. Apa yang ada padamu sehingga kamu mampu membuatku begini? Membuatku seperti boneka yang tak berdaya yang bisa kamu mainkan hanya dengan satu jari telunjukmu?

Ini memang bukan pertemuan kami pertama sejak kami berpisah dan berjumpa lagi di kota baru ini. Tapi ini adalah pertemuan yang mampu memuatku panas dingin tak karuan. Bukan hanya dia sebenarnya yang membenci perselingkuhan. Akupun sama. Aku benci sekali melihat pasangan selingkuh itu. Tapi sekarang mengapa aku sendiri yang melakukannya? Mengapa sekarang justru aku sendiri yang selingkuh? Bahkan otakkupun seolah tak tahu harus berdalih apa.

Perlahan bayangan masa masa SMA dulu berganti dengan bayangan-bayangan istri dan anakku. Keluarga kecilku yang bahagia. Satu pertanyaan yang dulu sering aku lontarkan pada teman teman yang selingkuh, sekarang pertanyaan itu seperti kembali telak memukulku. “Apa salah istri dan anak-anakmu sehingga kamu pantas menyakiti mereka?”

Setiap kali pertanyaan itu di tujukan balik kepadaku, setiap kali itu pula aku tidak bisa menemukan jawaban selain karena keegoisanku. Apa kurang istriku? Apa salah besarnya sehingga dia pantas untuk diduakan? apa hanya kerena seorang istri harus mengerti suaminya? Lalu dimana letak pengertianku kepadanya sebagai suami?

Beribu petanyaan dan tudingan menghujani kepalaku. Aku ingin meledak rasanya. Aku ingin berteriak dan menumpahkan segala kesalahan ini pada lautan. Membiarkannya dibawa samudra entah kemana.

Mengapa semua seperti ini? Mengapa mereka tidak membiarkan dulu aku memilih? Aku mencintai Hest bukan? Lalu kenapa cinta kami harus di tentang hanya kerena perbedaan bangsa dan adat istiadat? Mereka seharusnya tahu, uang bisa membeli segalanya, kecuali cinta dan kebahagiaan yang sejati. Tidak, uang tidak bisa membeli keduanya secara utuh seperti daging ayam di meja makan mereka itu. Tidak, sekali lagi tidak!

Jadi apakah itu alasan paling tepat buatku untuk membela diri atas perselingkuhan ini? Arrrggg…. Otakkku menegang memikirkkan semuanya. Kami seperti orang yang membenci pencuri tapi sekarang kami sendiri mencuri, atau seperti orang yang membenci para koruptor, tapi sekarang kamilah koruptor itu sendiri. Aku hampir saja bangkit dan berhambur pulang ketika seorang wanita memasuki ruang lobi hotel ini. Hest datang dengan gaun merah menyalanya. Hatiku luruh melihat wujudnya nyata di depanku.

“Sudah lama menunggu?” tanyanya begitu sampai di depanku. Malam ini wajahnya sayu. Tergambar jelas letih dan penat di sana. Cahaya indah yang selama ini menghiasi wajah itu, malam ini hilang entah kemana. Aku hanya bisa menjawabnya dengan sesungging senyum. Suaraku seolah tercekat rapat di tenggorokanku.

“Kamar  kita nomor berapa? Aku penat sekali rasanya, aku ingin segera beristirahat”

Aku luruh mendengar pertanyaan itu. Wujudku seolah salju yang tiba tiba terpapar sinar matahari siang, hilang tak berbekas.

“Nomor kamar kita berapa?”

“Eh…, nomor 221.”

“Ayo ke sana sekarang, aku penat sekali.”



gambar dari sini






Senin, 11 Juni 2012

Setelah Lampu Hijau Padam


            Dia adalah sahabat baikku sejak kami belum bisa mengeja abc dan melantunkan ayat ayat suci di surau dekat rumah kami. Dina namanya. Seorang gadis keturunan Jawa-Ambon yang berwajah manis. Banyak orang bilang, dia lebih pantas terlahir sebagai keturunan Minang daripada suku manapun yang ada di negeri ini. Tapi apapun kata mereka, apapun dan darimanapun Dina berasal, yang aku tahu hanyalah kalau dia itu orang yang benar benar pantas untuk aku jadikan sahabat. Orang yang tidak hanya bisa mengerti aku, tapi lebih dari itu, dia sangat pantas untuk aku sebut sebagai seorang kakak.


             Tapi hari ini Dina tergolek lemas di sampingku. Kepalanya terkulai lemah di atas pangkuanku. Darah tak henti hentinya mengalir dari setiap bagian tubuhnya. Bibirnya yang kemarin merah ranum dengan senyum cerianya yang khas, hari ini berganti menjadi bibir yang merah karena darah yang tak henti hentinya tersembur dari dalam rongga mulutnya. Bibir itu bergetar hebat, menandakan betapa sakit yang dia rasakan. Hidungnya tak lagi menghembuskan udara seperti yang setiap saat dilakukannya, tapi dari sana, mengalir darah segar yang tak kunjung henti. Matanya tertutup dengan kelopak mata yang terus saja bekedut.


             Satu kali, tiba tiba saja bibirnya berhenti bergetar, dan lehernya yang semula kejang, tiba tiba saja terkulai dengan tanpa daya. Aku tersentak melihatnya, aku tak ingin kehilangan dia secepat ini. Sebuah tamparan keras, sekeras yang aku bisa kulayangkan ke pipinya yang kini hancur terparut aspal hitam.


             “Plak…”


             “Hei, jangan tampar dia…” Seorang dalam ambulan yang mengantarkan kami ke ICU ini berseru keras padaku. Tapi apa perduli mereka? Aku hanya tidak rela kehilangan Dina secepat ini.


             “Plak…!” satu tamparan lagi aku layangkan ke pipinya yang lain saat tidak ada respon darinya dari tamparanku yang semula.


             “Hentikan… jangan tampar dia, sabarlah, tenang…” yang lain lagi berusaha menghalangiku. Tapi aku tetap tidak perduli. Aku lebih membutuhkan Dina daripada ocehan mereka padaku.
Ketika masih belum ada reaksi juga darinya, aku mulai dirasuki perasaan takut yang amat sangat. Aku benar benar takut kehilangan dia. Kugoncang goncangkan tubuhnya sekeras mungkin, tapi belum juga ada reaksi.


             “Din, Dina, bangun Din ..., Dina …, buka mata Din, jangan pergi …. Aku di sini Din …. Dina…., Diiinnn … “ Aku histeris memanggil namanya. Aku ingin berteriak, tapi yang keluar dari dalam kerongkonganku, hanyalah sebuah desis aneh tanpa daya dari pada sebuah teriakan yang kuat. Air mataku mulai membuncah keluar.  Deras mengalir tanpa bisa terbendung. Kurangkul kepalanya yang kini tanpa daya itu dalam pelukanku.


             “DINAAA….!!!”


***


             “Kamu bisa lebih cepat gak sih Din, tumben banget sih kamu bawa motornya kayak keong begini. Ini sudah keburu nih, nanti keretanya keburu berangkat tahu.” Protesku pada Dina saat kami berhenti menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.


             “Ya non, bawel…, gak tahu apa kalau lagi rame kayak gini.”


“Biasanya juga gak kayak gini. Noh, ada celah noh, masuk sana, cepetan”


“Ya, iya, bawel banget sih kamu hari ini. Lampu masih merah tuh, mau maen trobos aja.”


“Aku gak minta kamu nerobos lampu merah non, maju aja kedepan, kedekat garis putihnya itu lo, biar gak ada yang menghalangi.”



“Bisa diem gak sih, bawel amat kamu hari ini, kayak mau mati aja.”


“Keburu telat non…”


“Salahmu, bukan salahku kalau sampe telat!”


“Hijau. Cepet kebut!”


Tanpa berkata kata lagi Dina menarik tuas gas penuh penuh. Motor yang kami tumpangi melaju kencang seketika. Tapi bersamaan dengan itu, sebuah sepeda motor menerobos lampu merah dari arah kiri kami. Tak bisa dihindarkan, sepeda yang kami tumpangi membenturnya dengan keras. Aku merasakan tubuhku melayang di udara, berputar putar seperti batu yang dilemparkan dari pelontar dengan kuat. Aku kira aku sudah akan menemui ajalku saat itu juga, tapi Tuhan masih berkata lain. Tubuhku jatuh ke aspal yang keras, dengan bagian punggungku yang sedang menyandang tas besar berisi baju baju yang mendarat terlebih dahulu. Aku mendarat dengan selamat walau dengan berberapa luka lecet yang tak serius dan punggung yang serasa retak. Tapi aku selamat, tidak ada luka fatal yang aku derita.


Aku segera berusaha bangkit walau punggungku terasa sakit sekali. Kulihat sekelilingku, dimana Dina? Aku nanar mencarinya dari posisi dudukku. Dan saat pandanganku terpaku padanya, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat.


Dia berada di sana, lebih dari sepuluh meter dari tempatku sekarang. Tubuhnya merah oleh darah yang membentuk garis yang hampir lurus di sepanjang jalan. Aku histeris memanggil namanya, aku ingin dia menoleh kearahku, dan berkata semua baik baik saja. Tapi Dina tetap diam, tak bergeming!


***


Ini adalah hari kelima Dina koma ketika sebuah pertanda baik terlihat darinya. Saat aku sedang menungguinya di ruang ICU seorang diri, ketika tiba tiba jemarinya yang sedang kugenggam bergerak gerak lemah. Kualihkan pandanganku ke arah wajahnya. Matanya sedikit terbuka dengan gerakan yang begitu lemah dan lambat.


Hatiku berdesir bahagia melihatnya. Kuberikan senyum tulus setulus yang aku bisa untuknya. Tak aku sangka, Dina membalas senyumku! Tapi setelah itu, senyum itu memudar, mata itu tertutup dan seluruh tanda fital dalam tubuhnya juga ikut sirna.


“Dina…” panggilku lirih. Dina diam saja, tak lagi menjawab seruanku.


“Dina…” panggilku lagi, tapi tetap tak ada reaksi darinya, walau aku menunggunya sampai sepuluh tahun kemudian.

Kamis, 24 Mei 2012

Fase 2


(Bagian sebelumnya bisa di baca disini)

Hujan turun makin deras kala itu. Saat aku membiarkan udara yang dingin menyeliputi kami dengan kelembapan yang makin menjadi. Dia diam, pandangannya jauh menerawang keluar jendela, memperhatikan hampir setiap tetesan air hujan yang turun dan menghantam kaca jendela. Sementara aku mencoba menetralkan suasana dengan meneguk seteguk dua teguk teh dari dalam gelasku. Ada kehangatan yang menjalar, dimulai dari dinding dinding mulutku, lalu turun perlahan ke dadaku.
Aku tertegun saat kemudian kuperhatikan wajahnya mulai memerah dan bening kristal air mata perlahan mengambang di pulupuk matanya. Dia mencoba menengadah, menahan dengan sangat agar air mata itu tidak jauh kepipinya yang lembut. Pipi yang sekarang bagaikan kepiting rebus yang kemerahan.
“Hei, kamu kenapa?” tanyaku kebingungan. “Apakah ada kalimatku yang salah?”
Tapi dia tetap diam. Pandangannya belum juga dia alihkan dari tetes-tetes air hujan itu. Kupanggil namanya dengan lirih.
“Jelaskanlah, jangan diam. Aku…, aku jadi serba salah kalau kamu hanya diam begini.” Setengah memohon aku padanya kali ini. Aku bingung, apakah kata-kata dan penjelasanku tentang fase-fase metamorfosis kupu-kupu yang aku jelaskan padanya tadi sudah membuatnya tersinggung sedemikian rupa dan menyakiti hatinya dengan tanpa aku sadari? Hatiku berdebar-debar. Bukan maksudku menyakiti hati seorang teman.
Perlahan dia mulai mengusap air matanya yang jatuh berderai di pipinya. Perlahan pula dia mulai merangkai senyum di bibirnya dan mulai menatap lembut kearahku. “Tolong jelaskan, ada apa. Jangan cuma diam saja….”
“Tenanglah. Gak ada apa-apa, aku hanya….” Dia diam lagi, air mata kembali deras jatuh dari matanya. Kali ini dia tergugu.
Kupanggil lagi namanya dengan lirih seraya menyodorkan beberapa lembar tisu untuknya. “Tenang, tenang, bicaralah apa yang membuatmu menangis. Aku sungguh gak enak kalau terus terusan kamu diam tanpa menjelaskan padaku. Aku…, aku benar benar minta maaf kalau aku salah berucap.”
Kadang memang saat-saat beginilah yang tidak aku mengerti dari seorang wanita : tentang air mata mereka. Begitu misterius bagiku. Kadang pada sebagian wanita, bening kristal air mata itu begitu mudah keluar, kadang ada juga sebagian dari mereka yang begitu tegar, yang bahkan tak pernah aku lihat gurat kesedihan di mata mereka. Apa lagi air mata! Dan temanku yang satu ini, adalah wanita yang paling sulit aku mengerti. Selama ini dia terlihat tegar, terlihat tangguh, selalu ceria, sangat memberikan kesan kalau dia adalah tipe wanita kedua, wanita yang mahal air matanya. Tapi lagi-lagi aku dibuatnya tidak mengerti saat ini. Serasa linglung bagai anak kecil yang baru saja melihat ayam keluar dari cangkang telurnya. Pertanda apakah airmatanya saat ini?
Kupanggil lirih namanya, dia tersenyum kecil. Apa arti senyum kecil wanita tangguh di balik airmatanya yang berderai? Ah wanita, mereka masih terlalu misterius bagiku.
“Kamu gak salah apa-apa kok. Hanya aku saja yang merasa tertonjok berkali kali saat tadi mendengar penjelasanmu tadi.” Jelasnya, membuat dadaku makin berdebar.
“Bagian mana?”
“Hampir di semua bagian”
Aku mendesah, sebisa mungkin berusaha menunjukkan perasaan bersalahku padanya. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud…”
“Tidak…” potongnya lembut. “Tidak ada yang perlu di maafkan, kok. Malah aku yang seharusnya berterimakasih padamu….”
“Ah…, tidak begitu…”
“Aku muslim sejak lahir, kamu tahu itu, bukan?” lagi-lagi dia memotong kalimatku dengan cepat. “Dan aku merasa, tidak setiap muslim adalah kupu-kupu! Tidak! Bahkan aku merasa sebagian besar dari mereka adalah ulat. Ya…, ulat! Seperti aku….”
Aku memutuskan untuk diam mendengarkan dengan hati yang gelisah. “Lalu?” tanyaku.
“Bahkan kalau boleh aku bilang, sebagaian besar yang lain dari mereka itu adalah selamanya telur, seperti penjelasanmu itu.” Dia mulai mau bercerita, membuka pintu pikirannya padaku. Baiklah, sekarang waktunya aku untuk menjadi pendengar yang baik. “Muslim yang bisa menjadi kupu-kupu adalah mereka yang bukan saja indah di mata orang lain, tapi juga yang bisa berbagi keindahan itu pada dunia sekitarnya, yang mempegaruhi orang orang di sekitarnya untuk berbuat kebaikan seperti apa yang dia lakukan. Seperti orang bilang  “Fly like a butterfly. Just take the good one from the flowers and give the good one to the world.”* Tapi apa yang kamu lihat pada sebagian besar mereka? Apakah mereka itu pantas di sebut kupu-kupu? Aku rasa tidak! Mereka adalah ulat yang menjijikkan! Sama seperti aku juga. Seperti kebanyakan muslim di luar sana.”
Sampai di sini dia diam lagi. Dipandanginya aku dengan tatapan nanar yang membuatku serasa ciut kedalam gelas tehku sendiri.
“Kamu lihat? Diluar sana banyak koruptor, banyak orang munafik yang berkeliaran. Apa agama mereka? mereka muslim! Mereka mengaku beragama Islam. Tapi apa yang mereka perbuat? Apakah perbuatan mereka itu menunjukkan perilaku yang sejalan dengan apa yang diajarkan dalam agama mereka? agama yang kita banggakan ini?”
“Tapi tidak selamanya orang-orang munafik dan para koruptor itu adalah muslim…”
“Memang, aku tahu itu. Kalau yang muslim dan yang bukan muslim sama saja kelakuannya, apa masih mereka pantas di sebut kupu-kupu?  Karena seharusnya muslim itu bisa berjalan sesuai dengan ajaran yang diajarkan pada mereka, yang selalu indah dan menyebarkan keindahan. Mereka itu pantas disebut ulat juga. Ulat yang terus saja makan, terus saja merongrong apapun yang bisa mereka grogoti. Ulat-ulat menjijikkan yang rakus!”
Sampai di sini sesaat dia diam lagi. Kali ini tampak benar usaha kerasnya untuk menahan semua gejolak di dadanya. “Seperti juga aku…,” katanya penuh emosi. “Aku ini muslim, sejak lahir malah. Tapi kamu lihat sendiri bagaimana kelakuanku? Aku bejat! Bahkan solatpun tidak. Yaa… walau aku tahu, solat itulah pembeda antara seorang  muslim dan yang bukan muslim.”Diusapnya airmatanya yang makin menderas, sedang aku terpaku pada tempat dudukku sendiri, diam seolah terpahat. “Uang aku banyak, hidup aku serba cukup, tapi buat zakat? Masa bodoh rasanya. Aku ini muslim macam apa? Muslim macam apa yang bahkan memalingkan wajahnya dari anak-anak yang terlantar dijalanan? Orang macam apa aku ini, yang mengunci pintu untuk setiap pengemis renta yang datang kerumah meminta belas kasih dariku….”
Dia makin tergugu, ditutupinya wajahnya dengan tisu berlembar-lembar. Ketika dia melanjutkan kata katanya, suaranya seperti tercekat di tenggorokannya, “Keluar negeri … aku … sudah berkali kali …, tapi kapan aku bisa memenuhi panggilanya ke Baitullah… kapan….” Lama kemudian dia diam dalam tangisannya. Tergugu dalam-dalam. Nyata sekali dia meresapi setiap tetesan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
Melihatnya begitu, aku kembali hanya bisa diam memandangnya. Apa yang harus aku lakukan? Sedang di hatiku sedang berkecamuk perang yang sengit. Kata-katanya telah membuatku berfikir untuk menata ulang teoriku tentang fase kehidupan dan metamorfosis. Tapi bersamaan dengan itu juga, timbul satu tekad bulat dalam hatiku :  AKU HARUS BISA MENJADI SANG KUPU-KUPU, bagaimanapun sulitnya jalan yang harus aku tempuh. Aku harus bisa menjadi indah, dan bisa berbagi keindahan itu. Harus!
Tiba tiba dia bangkit setelah melemparkan berlembar-lembar tisu ketempat sampah. “Hei, mau kemana?” tanyaku keheranan.
“Berbenah…,” jawabnya, seraya berusaha tersenyum kearahku.
“Hujan masih deras di luar….”
“Tapi Izroil gak pernah membuat perjanjian sebelum menemui seseorang. Aku ingin siap saat Dia datang, setidaknya, dosaku gak lagi sebanyak sekarang.”

--------------------------
*        Dikutip dari komentar bunda Titie Surya disini

Jumat, 04 Mei 2012

Fase


Orang bilang, hidup ini berjalan seperti fase metamorfosis kupu kupu. Berawal dari telur, kemudian menetas jadi ulat, menjelma kepompong, untuk kemudian sempurna sebagai kupu kupu yang indah. Aku juga ingin bilang begitu saat ini, walau itu bukan berarti aku setuju bahwa setiap manusia akhirnya akan menjadi kupu kupu yang indah. Menurutku, kehidupan kita bisa beranjak dan berakhir pada salah satu fase, tanpa bisa lagi mencapai fase selanjutnya. Ada kalanya kehidupan seseorang di mataku berakhir pada fase kempompong, pada sebuah tahap dimana kesempurnaan nyaris dicapainya. Bahkan sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah menyadari kalau sebenarnya kita ini adalah umpama ulat, atau mungkin telur yang tidak pernah menetas sama sekali.
“Mengapa begitu?” tanyanya pada suatu ketika. Saat hujan turun dan secangkir teh hangat menemani kami di depan jendela yang basah.
“Bisa saja,” jawabku sambil tersenyum kecil menggodanya. Dia diam tak bergeming. Tatapannya tajam kearahku. Seakan dengan itu, dia berkata kalau dia siap menjadi pendengar yang baik.
“Aku pernah berfikir, kalau manusia itu lahir umpama telur kupu kupu yang kecil, lucu, halus, dan terlindungi. Dia berada pada suatu tempat yang tidak semua orang tahu, tak ada satu mahlukpun yang benar benar tahu di mana telur telur itu diletakkan tanpa mengamati dengan seksama terlebih dahulu. Seperti itulah. Suci.
Tapi mirisnya, ada sebagian dari manusia, kita ini, yang tidak pernah terlepas dari kungkungan cangkang telur kita sendiri. Akibatnya, yaaah, seperti itulah. Mereka menjadi seperti katak dalam tempurung. Yang mereka tahu hanyalah dunia mereka yang nyaman, yang indah menurut mereka, yang selalu melindungi mereka, tanpa mereka pernah sadar kalau sebenarnya cangkang telur yang melindungi mereka itu begitu rapuh, begitu tipis, sehingga dengan sentuhan kecil saja, cangkangnya bisa hancur dan tak bersisa.
Hmmm…
Dan kemudian mereka mati. Tamat. Mereka tidak pernah menjadi apa apa sama sekali.”
“Miris…,” sahutnya sambil menatap hampa ke dalam gelas tehnya yang sekarang setengah berisi.
“Ya…, memang. Tapi tidak semuanya seperti itu. Karena ada kemudian sebagian dari mereka yang berhasil keluar dari cangkangnya dengan segala upaya dan masuk pada tahap selanjutnya : ulat.”
“Ulat? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding,” keluhnya.
“Kamu gak suka ulat?” tanyaku setengah menyelidik. Pertanyaan yang mungkin cuma sekedar basa basi saja, karena aku tahu, hanya ada sedikit sekali wanita di dunia ini yang tidak takut pada seekor ulat, dan dia, aku yakin sekali bukan wanita yang seperti itu.
“Menakutkan, menjijikkan. Aku tidak suka sama sekali. Aku bisa lari terbirit birit kalau ada ulat di dekatku.” Aku tertawa terkekeh mendengarnya, membuat wajahnya yang putih bersemu merah.
“Kenapa harus menertawakanku?” protesnya.
“Yah begitulah wanita, terlalu penakut untuk hal hal yang gak mereka mengerti terkadang. Tapi kamu pernah berfikir gak sih kalau sebenarnya kamu, aku, dan banyak orang yang lain di sini pernah menjadi ulat dalam bayanganku? Atau bahkan sampai saat inipun masih menjadi ulat ulat itu tanpa kita sadari.”
“Maksud kamu?”
“Pada fase ini menurutku, adalah fase dimana orang orang sudah berada pada posisi yang baik, mapan dan telah melalui proses perjuangan yang berat. Pada fase ini aku kelompokkan orang orang yang memiliki karir yang baik, masa depan yang baik, orang orang biasa sampai konglomerat, atau mereka yang berada di rumah rumah susun sampai penghuni istana presiden. Golongan ini besar sekali, mencakup hampir semua orang.
Mereka makan, mereka beraktifitas, mereka melakukan apapun untuk mencapai tujuan hidup mereka. Sampai terkadang mereka lupa kalau mereka sudah terlalu banyak melangkah, terlalu banyak berbuat, dan tidak pernah berfikir tentang akibatnya.” Aku gantungkan kalimatku di sini untuk sejenak menatap lurus ke wajahnya yang kini seperti anak kambing yang melihat induknya di tempat yang tak terjangkau. Membiarkan sedetik dua detik berlalu tanpa ada yang mengisi.
“Terus?” desaknya. Dia sekarang benar benar penasaran akan isi otakku rupanya.
“Ya begitulah, orang orang yang rakus, orang orang yang berbuat selalu untuk kepentingan dirinya sendiri, saling sikut, saling senggol yang penting dapet daun muda untuk dimakan. Kalau gak ada yang muda, daun tuapun mereka embat juga.
Kamu tahu, dalam pikiranku, kamu termasuk dalam golongan ini. Golongan ulat ulat.”
“Waduh, buset dah kamu. Masak aku di samain sama ulat ulat rakus….” Sekali lagi dia protes. Tapi kali ini dengan nada yang lebih ekstrim. Aku juga tersenyum nakal kearahnya untuk sekali lagi. Waktu berdetak pelan, dan aku menikmatinya. Menikmati suasana seperti ini.
“Kamu gak terima aku samain dengan ulat?”
“Ya jelaslah…!”
“Kamu tahu gak, kalau akupun, dulunya pernah dalam golongan ini. Aku ulat, dulu.”
“Terus sekarang? Kamu apa?”
“Aku kupu kupu…,” jawabku menang. Dia mendengus kesal. Wajahnya sekarang benar benar memerah. Kalau tidak aku dahului bicara,mungkin sekarang dia sudah meledak di depanku.
“Aku dulu ulat, dan sekarang aku kupu kupu. Aku kupu kupu setelah aku melalu masa masa menjadi seekor kepompong. Kalau kamu mau aku masukkan dalam katagori kupu kupu, maka duduklah, akan aku jelaskan bagaimana caranya.” Sampai pada kalimat ini aku berusaha serius untuk menekankan padanya kalau sebenarnya aku tidak ingin basa basi lagi seperti tadi.
“Dalam pikiranku, setiap orang itu adalah ulat, dan banyak yang mati sebagai ulat. Pecundang yang bangga dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka hasilkan tapi gak pernah pakai ini,” ku tunjuk kepalaku, “dan gak pakai ini,” sekarang aku turunkan telunjukku ke dadaku, “meraka cuma pakai ini dan ini sebagai ukuran.” Terakhir kualihkan telunjukku kearah perutku, lalu kukeluarkan selembar uang kertas seribu rupiah dari dalam saku bajuku. Dia mendesah pelan, seperti orang yang sedang menahan nafas karena suatu ganjalan di hatinya. Mungkin dia sedikit tegang untuk mendengarkan kata kataku selanjutnya.
“Terus?” tanyanya. “Semua orang butuh uang bukan, butuh makan juga, apa salahnya?”
“Nafsu, itu yang mereka dewakan dan mereka tuhankan. Tanpa sadar mereka sudah menduakan Tuhan mereka sendiri, menggantikannya dengan nafsu dan dengan uang. Maka itu, hanya sedikit orang yang kemudian benar benar masuk kedalam tahap metamorfosis selanjutnya : fase kepompong, fase berfikir dan mencari kebenaran.
Dulu aku sama seperti yang lain. Tapi apa yang aku dapatkan? Gak ada. Hanya hampa. Okelah saat itu aku mendapatkan segala secara materi. Mau apa apa aku bisa, mau apa saja semua ada, tapi apa yang aku rasakan di sini?  Di batin dan jiwaku?
Kosong!
Kosong… gak ada, gak ada yang aku dapatkan. Aku merasakan hidupku ini hampa tanpa tujuan. Semakin lama aku semakin merasakan dan mempertanyakan apa arti aku hidup ini. Setiap hari aku berkutat dengan hal hal yang sama, mendapatkan hal hal yang aku inginkan dengan mudah, ya, lama lama hidupku terasa membosankan. Terasa monoton.
Pada tahap itulah aku mulai berusaha mencari apa sebenarnya arti hidup yang aku jalani. Aku mulai banyak merenung, aku mulai banyak berfikir, banyak membaca. Aku ingin menemukan jawaban atas semua pertanyaan pertanyaan yang selama ini menumpuk di otakku. Pertanyaan pertanyaan yang setiap hari semakin menggunung dan semakin mendesak untuk ditemukan jawabannya. Aku mulai mencari orang orang yang mampu menjelaskan. Aku mulai mendatangi tempat tempat yang mereka bilang itu tempat suci, mendatangi orang orang suci, pemuka agama agama mereka. bahkan gilanya, kamu tahu? Aku datang kekuburan.”
Mendengar kalimat terkhriku dia mendesah, bergumam tidak jelas.
“Tapi rupanya Tuhan tidak membuatku menunggu terlalu lama untuk menunjukkan padaku tempat untuk mengajukan semua pertanyaanku sekaligus tempat untuk mendapatkan jawaban semua pertanyaanku secara tuntas. Tuhan membayarnya lunas.
Pada hari itu, hari dimana aku tengah bersiap siap untuk melepas fase metamorfosisku, aku merasakan perasaan yang bercampur aduk di hatiku ini. Perasaan yang jauh lebih dahsyat, kalau boleh aku bilang begitu, dari pada saat saat paling medebarkan saat di terima lamaranku oleh camer dan saat ijab kabul pernikahanku. Hari itu, adalah hari yang lebih dari hari hari yang lain. Bahkan sampai sekarangpun aku masih suka merinding kalau aku ingat saat saat mendebarkan itu.
Hari itu, dia menjabat tanganku dan memintaku untuk mengikuti apa yang dia ucapkan. Kata kata pembuka faseku dari face kepompong menjadi kupu kupu sederhana saja. Itu cuma semacam kesaksian yang aku ucapkan tulus dan ikhlas dari dalam hatiku. kata kata itu diucapkan dalam bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia kurang lebih ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain ALLAH, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan ALLAH’”
Sekarang dia memekik tertahan. Wajahnya mengisaratkan rasa ketidak percayaan yang amat sangat. “Sekarang kamu muslim? Kamu muallaf?”
“Ya,” jawabku. “Aku memilih Islam, karena agama ini telah memberiku jawaban singkat yang pasti akan semua pertanyaanku selama ini.”
“Apa itu?” tanyanya penasaran.
“Allah berfirman : ‘… Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKU…’ itu terlulis dalam firmanNya, QS Adz Dzariat  ayat 56. Itu adalah jawaban dari semua yang aku pertanyakan selama ini. Lunas terbayar sejak aku mulai mendalami isi dari kitab suci. Al Quran, selalu akan menjadi sebuah mukzizat dan jawaban atas segala pertanyaan.
Sekarang aku adalah muslim, aku adalah kupu kupu itu, dan aku bangga memperkenalkan diri sebagai muslim.Aku berharap, aku gak hanya bisa jadi kupu kupu yang indah, tapi kupu kupu yang juga bisa berbagi keindahan itu dan mempengaruhi segalanya agar juga menjadi indah....”

Di dedikasikan untuk seorang sabahat yang selalu menginspirasi :
kang Insan, sang kupu kupu.

Lanjutkan baca bagian 2 di sini

Minggu, 29 April 2012

Surabaya Bloofmeet 1 (part 2)

(Part 1 bisa dibaca di sini)


Sms dari Haf Sari kembali masuk beberapa saat kemudian.
Kalian di mana? Aku sudah di dekat air mancur ini.”
“Kang, Haf Sari sudah di sini nih, tapi mana dia ya?” kataku pada kang Insan sambil menebarkan padangan kesegala arah, berharap menemukan sosok teman baru yang satu ini ditengah keramaian Kebun Bibit.
“Coba di sms.” Jawab kang Insan.
Kamu di sebelah mana? Kok gak kelihatan?” satu sms aku kirimkan ke Haf Sari.
Di dekat orang yang lagi melukis.”
Aku kembali celingukan mencari sosok Haf Sari yang belum juga kelihatan batang hidungnya. Bahkan kang Insan dan Adi pun akhirnya juga berdiri tak jauh dariku dan mulai mencari cari.
“Itu dia.” Kang Insan setengah berbisik ke telingaku sambil menunjuk seorang cewek berbaju hitam dan bercelana jeans mirip anak hilang di tengah keramaian. Kalau sekali lagi aku ingat saat pertama kali pandanganku jatuh pada sosok bloofer yang satu ini, aku pasti akan selalu ingat akan kegigihannya untuk datang ke acara ini. Kegigihan yang patut kita acungi jempol dan rasa salut yang mendalam.
Haf Sari tersenyum lebar saat untuk pertama kalinya dia melihat kami bertiga berjajar menanti kedatangannya. Dengan sedikit malu malu, dia menghampiri kami dan mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan kami satu persatu.
“Cuma ini yang dateng?” Tanyanya setengah histeris melihat hanya ada tiga bloofers yang menyambutnya.
“Ya, cuma bertiga, berempat sama kamu.” Kata kang Insan menjelaskan.
“Ratri? Katanya mau dateng?”
“Gak jadi, ada urusan lain katanya.” Kang Insan menjelaskan dengan setengah kecewa.
“Jadi aku cewek sendirian?” Tanya Haf Sari ingin menegaskan keberadaannya di tengah tengah kami. Kang Insan tersenyum sebagai jawabannya. “Waduh…, wanita disarang penyamun ini ceritanya…” Canda Haf Sari yang diikuti gelak tawa kami.

***

Setelah Haf Sari duduk untuk melepas penat sejenak, kang Insan memutuskan untuk mencari tempat berkumpul yang lebih kondusif. Setelah berberapa saat mencari tempat yang kira kira cocok, akhirnya kami memutuskan untuk duduk melingkar di sebuah bangunan terbuka bekas perpustakaan Kebun Bibit. Di sana ada beberapa orang yang berkumpul membentuk lingkaran bersama komunitasnya masing masing. Ada yang terlihat bercanda dengan sesama anggotanya, ada yang terlihat serius membicarakan entah apa, ada juga sebuah keluarga yang menikmati bekal yang mereka bawa dari rumah.
Kang Insan, sang koordinator, dengan materi blognya yang selalu 'nendang'

Haf Sari bersama semangat dan kegigihannya.

Adi, bloofer dengan puisi yang dalam dan sarat makna.
“Di sini saja.” Kata kang Insan seraya duduk di lantai. Aku, Adi, dan Haf Sari duduk melingkar tak jauh dari tempat kang Insan duduk. Sebelum di buka, tak lupa kami membuka bekal yang kami bawa dan meletakkannya di tengah tengah lingkaran. Susana jadi lebih mirip pesta kebun atau suasa liburan bersama dari pada sebuah kopdar. Tapi tak apalah, itu justru membuat suasana tidak kaku lagi. Kami bisa saling lebih akrab satu sama lainnya.
Tak berapa lama kemudian kang Insan mulai membuka acara SBm yang pertama ini. Acara di buka dengan bacaan basmalah dan dilanjutkan dengan ungkapan kang Insan tentang betapa bahagianya dia bisa berkumpul bersama anggota bloofers yang lain untuk pertama kalinya. Walau sebenarnya aku dan kang Insan pernah bertemu dalam sebuah kesempatan singkat di tepi jalan, tapi jelas, kali ini suasananya jauh berbeda. Dengan tambahan Adi dan Haf Sari di tengah tengah kami, acara SBm yang pertama ini memberikan kesan yang sungguh berbeda dan menyenangkan.
“Aku bangga bisa berada bersama orang orang hebat seperti kalian, seperti anggota bloofers yang lain juga.” Kata kang Insan pada kami. Mungkin kang Insan tidak menyadari, bahwa sebenarnya kamilah yang begitu bangga bisa berkumpul, bertatap muka dan berdiskusi dengan seorang yang punya blog yang begitu bisa menginspirasi kami. Kang Insan, seorang blogger yang bukan sembarang blogger. Tulisannya yang begitu indah, enak di baca dan selalu bermuatan keagamaan yang kental sudah lama membuat kami seperti selalu dituntun untuk selalu berbuat baik. Kalaupun ada blog yang bisa membuatku merasa tertohok, itu pasti adalah blognya.
Setelah acara di buka, kang Insan memberikan kesempatan pada kami masing masing untuk memperkenalkan diri secara singkat. Ada beberapa hal kecil yang baru kami ketahui saat perkenalan itu. Hal hal kecil yang membuat kami tertawa dan bisa lebih mengenal satu sama lainnya.
“Ok, sekarang kita sudah berkenalan. Bagaimana kalau selanjutnya, kita mengulas sedikit tentang blog kita masing masing.” Kata kang Insan seraya menatap kami satu persatu. Adi menganguk. Bloofer yang satu ini memang paling irit kata kata diantara kami berempat. Begitu iritnya, mungkin kata kata yang dia keluarkan selama acara SBm ini berlangsung tak lebih dari panjang dari sebuat rangkaian kata dalam sebuah fiksi mini saja. Sedangkan aku, kang Insan dan Haf Sari sudah merajut sembuah novelet atau bahkan novel secara langkap.
“Boleh.” Jawab Haf Sari.
“Kalau begitu, dimulai dari kang Insan aja, kasi contohnya.” Kataku sambil menatap kang Insan yang tersipu.
“Hm…, Begitu ya? Boleh.” Kang Insan lalu menceritakan sejarahnya ngeblog. Dulu, katanya dia punya blog lain yang isinya lebih umum dari pada blog yang dia kelola sekarang. Tapi blog itu sudah dia tinggalkan. Kang Insan ingin lebih fokus dan berkomitmen untuk mensiarkan agama ini lewat tulisan tulisannya di blognya yang sekarang.
Kesempatan kedua jatuh padaku. Waktu itu aku menjelaskan kalau blogku yang sekarang ini juga bukan blog pertamaku. Blog pertamaku dulu adalah La Ranta. Nama La Ranta itu aku ambil dari bahasa Madura yang berarti ‘sudah beres’. Seperti halnya blog pertama kang Insan, blog ini juga sudah aku nonaktifkan. Alasannya sederhana saja, diantara sekian banyak posting yang ada di sana, yang merupakan hasil karyaku sendiri hanya sekitar 25 persen dari keseluruhan posting, sendangkan sisanya, hasil copas dari blog lain. Walau dalam proses copas itu aku selalu menyertakan link asalnya, tapi aku merasa kalau La Ranta bukan refleksi dari diriku sendiri.

“Seorang Blogger adalah penulis, bukan sekedar pengumpul link belaka.”

Selanjutnya giliran Adi untuk menjelaskan tentang blognya. Menurutnya, pertama kali tergerak untuk membuat sebuah blog adalah karena terdorong oleh kesukaannya membaca. Dia sering blog walking ke blog blog orang lain. Dari sanalah dia ingin untuk memberikan komentar pada blog blog yang dia datangi.
“Untuk berkomentar, kita harus punya id,  bukan. Maka itu, sekalian aku buat juga blognya.”
“Kalau boleh tahu, id  kamu apa?”
“D’anonim.”
“Ouh itu kamu…, ya ya… baru tahu aku…”
Kang Insan menilai blog Adi ini keren. Puisi puisi singkatnya penuh dengan kiasan dan pesan yang mendalam. Mendengar itu, sekali lagi teman kita ini hanya bisa tersenyum dengan pipi yang memerah. Benar benar orang yang irit kata kata.
“Blog pertamaku dulu sering bermasalah.” Kata haf Sari ketika dia mulai menjelaskan tentang blognya. Blog pertamanya itu, menurut dia menggunakan namanya sendiri. Tapi entah mengapa, selalu saja ada masalah di blog itu. Hingga suatu saat, dia memutuskan untuk menggukan nama yang sekarang dia pakai untuk blognya. “Dan sejak saat itulah, blogku bebas dari masalah sampai sekarang.”
Perkenalan dan pembahasan blog masing masing sudah selesai. Menyenangkan sekali rasanya bisa berbagi seperti ini. Kami tidak lagi di batasi oleh dunia yang tak nyata yang kami namakan internet. Lebih dari itu, kami jadi bisa lebih tahu, bahwa blogging itu sebenarnya bukan proses yang sederhana. Blogging perlu proses, ada pembelajaran di dalamnya, ada sikap saling menghargai, sikap saling care, sikap saling mengingatkan dan proses untuk selalu belajar dan berkarya.
Setiap blog dan blogger adalah unik, mereka punya karakter masing masing. Tugas kita adalah untuk menghormati keunikan itu dan mengambil setiap pelajarang positif yang ada di dalamnya.
Dalam kesempatan ini juga, kang Insan berbagi pengalaman tidak menyenangkannya saat postingan di blognya di copas habis habisan oleh blogger lain tanpa pemisi dan tanpa mencantumkan link ke blog kan Insan. Kang Insan berbagi tips bagaimana menghadapi seorang blogger seperti ini.
“Mulanya kaget juga saat tahu ternyata sudah ada tujuh posting di blog dia yang dia ambil langsung dari blogku dan di klaim sebagai hasil tulisannya sendiri.” Kang Insan berkisah. “Mulannya aku add dulu facebooknya. Setelah dia terima, aku kirimi dia pesan untuk sekedar berbasa basi dan berkenalan mulanya. Lalu aku tanya, apakah posting di blognya itu tulisan dia sendiri. Dia jawab itu tulisan dia sendiri. Nah saat itulah aku mentahkan argumennya dengan memberikan link ke blogku sendiri yang dia copas langsung ke blognya. Saat itulah dia menyadari kesalahannya dan minta maaf.”
Kami manggut manggut mendengarnya. Sebuah sharing yang berharga dari kang Insan.
Beda lagi dengan Haf Sari yang berkisah tentang bagaimana cara ‘menjual blog’. Aku sebenarnya tidak begitu faham dengan apa yang di utarakan Haf Sari tentang ini. Maka itu, tidak aku sampaikan secara mendetail tentang apa yang dia sampaikan. Buat kalian yang berminat dan tertarik, coba langsung saja hubungi yang bersangkutan.
Aku juga di minta untuk berbagi tips dalam tulis menulis oleh kang Insan dan yang lain. Aku sebenarnya bingung mau berbagi tips apa. Aku merasa aku bukan seorang penulis,bahkan aku belum punya satu karyapun yang bisa aku banggakan di depan yang lain. Tapi atas desakan yang lain, aku berikan beberapa tips tulis menulis yang pernah aku dapatkan dari beberapa sumber.
Yang pertama, untuk mencari ide itu sebenarnya sangat mudah. Kita bisa mendapatkan ide di mana saja, bisa di dijalan, dirumah, di sekolah, terminal, dan tempat tempat lain.
“Duduk dan perhatikan sekeliling.” Itu tips dariku. Mulailah mempertajam kepekaan akan kejadian kejadian kecil di sekitar kita dan mulailah berlajar berimajinasi. Akan selalu ada ide yang datang bagi mereka yang mau mencarinya.
Yang kedua, untuk menjadi penulis yang, maka jadilah pembaca yang baik. Dengan membaca kita bisa membandingkan mana tulisan yang baik dan mana tulisan yang kurang baik. “Tapi tidak ada tulisan yang salah dan yang benar, yang ada hanya yang baik cara penyampaiannya dan yang kurang baik penyampaianya. Itu saja.” Jelasku pada mereka.
Yang ketiga, ketika kita baru saja masuk di dunia tulis menulis, ada baiknya kita melakukan penelaahan dan meniru karakter tulisan penulis penulis senior. “ Itu sah sah saja, selama kita  tidak melakukan plagiat. Kita hanya boleh meniru gaya tulisan dan gaya bahasanya. Tapi percayalah, suatu saat, kita akan menemukan jati diri kita sendiri. Jadi jangan khawatir, sekarang boleh meniru, suatu saat, kita akan membangun karekter kita sendiri.”
Sedangkan dari kang Insan, dia juga menambahkan beberapa poin tentang tampilan blog yang menarik pengunjung. Yang pertama, blog itu harus punya ciri khas yang kuat, bukan blog yang bercampur baur. Misal kita punya blog yang berisi tentang otomotif, itu berarti kita harus selalu mengisinya dengan posting yang berisi tentang otomotif saja, jangan sampai blog otomotif kita itu kita isi juga dengan curhatan hati kita.  Blog yang punya ciri khas yang kuat, akan mudah diingat oleh pengunjung.
Yang kedua, blog harus punya posting yang susunan bahasanya enak dibaca, tidak melompat lompat. Ini juga memperngaruhi pembaca untuk kembali lagi berkunjung ke blog kita atau dia tidak akan pernah lagi kembali berkunjung karena bahasa tulis kita yang amburadul.
Ketiga, sebaiknya di hindari tampilan atau widget widget yang menyebabkan blog berat saat loading. Blog yang lama loading pembukaanya, biasanya langsung di tinggalkan oleh pengunjung, bahkan saat blog itu belum sepenuhnya terbuka dan sempat di baca isinya.
Keempat, sebuah tambahan dari Haf Sari, dia berpendapat bahwa blog yang terlalu banyak iklan juga kurang enak untuk di kunjungi, begitu pula blog yang mengharuskan pengunjung untuk mengisi isian tentang nama pengunjung dan sebagainya saat loading blog.

"Berilah kenyamanan pada pengunjung blog, maka blog kita akan diingat oleh setiap orang yang berkunjung."

***

Sebenarnya masih banyak hal hal yang kita bahas dalam acara SBm yang pertama ini. Tapi mungkin karena keterbatasan ingatanku, maka aku hanya bisa menyampaikan hal yang aku ingat saja. Semoga ini bisa bermanfaat bagi teman teman semua, dan bisa menjadi inspirasi untuk SBm selanjutnya dan acara Bloofmeet di daerah lain.
“Bolehlah yang datang hari ini cuma empat orang, tapi dari sinilah kita akan membangun masa depan bloof dan dunia per-blog-an menuju arah yang lebih baik.” Kata kang Insan menggebu gebu.  “Aku juga berharap, semoga di acara selanjutnya yang hadir bisa lebih banyak dari yang sekarang, acaranya bisa lebih bermakna dan bisa mendatangkan lebih banyak perubahan.”
Acara ditutup dengan hamdalah. Aku, Adi dan Kang Insan berjalan bersama menuju pintu keluar dari kebun Bibit, sedangkan Haf Sari, si ‘anak yang hilang’ melanjutkan perjalananya menjelajahi setiap inci dari kebun bibit.
Hari itu, Minggu, 22 April 2012, menjadi hari yang bersejarah untuk bloofers Surabaya. Tak sabar rasanya untuk menantikan SBm yang ke dua.