Selasa, 31 Mei 2011

Tembang Tembang Mi

Aku tau, cepat atau lambat, kabar tentang kematiannya pasti akan sampai juga di telingaku. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini. Tidak juga dalam waktu aku sendiri saja di rumah, benar benar sendiri seperti sekarang.

“ Permintaan terakhir Mi, almarhumah minta kiranya ibu bersedia hadir di pemakamannya….”

Aku terdiam cukup lama mendengar penuturan kedua perwakilan keluarga almarhumah Mi itu. Entah apa yang harus aku lakukan, aku benar benar serperti tidak tahu. Suamiku sedang di luar kota untuk satu bulan ini untuk mengurusi pengiriman barang barangnya ke Bali. Sedangkan ibuku dan anak anakku sedang berlibur ke Surabaya dan akan kembali secepatnya sepuluh hari lagi.

“ Saya akan menghubungi suami saya dulu mas, tunggu sebentar ya…..” kataku, berusaha mencari alasan untuk mengulur waktu, lima belas atau dua puluh menit saja mungkin cukup untuk membantuku mengumpulkan keberanian.

Masih jelas terbayang di mataku bagaimana kelakuan Mi selama berada  di sini. Bagaimana dia mengocok ngocok kartu kartu beraneka ragam gambar itu. Masih aku ingat bagaimana bau deduapaan dan kemenyan yang dia bakar hampir setiap malam di kamar belakang itu. Masih aku ingat, seperti baru kemarin saja semuanya terjadi.

Masih aku ingat juga bagaimana dia bertutur, bagaimana dia menembang tembang gubahannya sendiri. Sebuah tembang yang dia akui terpetik dari dalam hatinya yang terdalam : sebuah tembang tentang kebencian, tentang hati yang tersakiti….

Duh pas sapa se deddie cellep e ate….
Duh pas sapa se deddie terak e mata….
Dhika pon nyengla tak ngarte ka gummah…..
Ate loka pas sapa se nambe’ennah….
Ate loka tak kuat abe’ nika …
Ate loka ebegie….
Ka dhika se pon agebei seksah….
Ka dhika se ngeding neka tape tak perna taresna…..”**


Ya…., tembang itu masih aku ingat sampai sekarang. Dan setiap kali mengingatnya, aku ingin berlari dan berteriak hingga semua kenangan dan bisikan itu hilang dari kepalaku, selamanya!

“ Kenapa kamu nembang seperti itu Mi?” tanyaku suatu hari padanya. Tapi Mi hanya terenyum simpul seperti biasanya. Sebuah senyum yang menyimpan luka. Sebuah senyum dengan tatapan mata penuh kebencian yang mendalam. Tubuhku bergidik setiap kali aku melihat ekspresi wajah Mi itu, bahkan walau itu cuma bayangan dalam ingatanku. Bayangan tentang bagaimana Mi menatap hampa ke sudut ruangan dengan tatapannya yang seolah bisa membakar itu.

“ Kenapa, mbak, tembang yang indah bukan, Mi suka itu……”

“ Indah…..?” tanyaku terdesah pelan. Desahan yang mungkin bahkan aku sendiripun tidak begitu yakin aku telah mengucapkannya. Tapi Mi rupanya tetap mendengarnya dengan jelas. Mi menatapku sejenak, lalu menatap lagi tajam ke sudut ruangan itu.

“ Aku terlanjur sakit Mbak….” Jawabnya, seolah mengerang lewat kalimatnya yang membeku “ Sakit oleh orang orang yang seharusnya menjaga Mi mbak……”

***

“ Bagaimana bu…, “

Pertanyaan kedua utusan  itu mengagetkan lamunanku. Pelan tapi pasti, aku menganggukan kepalaku. “ A…., Aku ikut bersama kalian. Sekarang? “

Keduanya bergumam sukur pada Tuhan. Ada ekspresi lega di kedua wajah mereka. “ Ya, sekarang bu. Kalau mungkin ibu perlu berbenah diri dulu, kami akan mengununggu di sini.”

“ Ah tidak, kita berangkat saja sekarang. Saya begini saja, kasian Mi kalau saya harus bersolek dulu. Mi akan menunggu terlalu lama….”

“ Ah…, sukurlah bu, kalau begitu mari….. “

Aku bergegas ke dalam mobil yang di bawa oleh dua utusan itu. Aku duduk di kursi belakang dan berpesan agar mereka tidak menggangguku. “ Aku butuh untuk sendiri, aku masih terlalu syok dengar kabar ini… ,” pintaku.

Sepanjang jalan, aku masih terus teringat akan Mi. Akan malam malam penuh bau kemenyan dan dupa. Dan juga hio, dupa Cina itu. Mengingat Mi, mengingatkanku juga pada kamar mandi belakang yang tiba tiba saja penuh dengan bunga beraneka warna pada suatu senja yang beranjak malam.

“ Mi, apa yang kamu lakukan dengan bunga bunga itu di kamar mandi….” Tanyaku terkejut.

Mi, tersenyum penuh arti. Dengan tatapan mata yang penuh dengan rasa benci. “ Mi, bicara Mi, kenapa kamu menabur bunga di lantai kamar mandi seperti itu….., ka…kamu gak berbuat yang macam macam kan……”

Mi tersenyum lebih dalam, tatapannya kian membakar. Mi menuntunku. Dia membawa aku ke halaman belakang. Ke bawah pohon bunga kenanga kecil tempat dia menghabiskan hari harinya.

Mi memintaku duduk di sampingnya. Dia memeluk tanganku erat. Seolah tanganku itu, sebuah benda yang bisa menghapus segala luka hatinya.

Mi menyandarkan kepalanya di bahuku,

“ Bolehkah Mi bercerita mbak…..” tanyanya, ketika ayam ayam sudah berlarian santai menuju kandangnya. Tempat di mana mereka akan terlelap malam ini.

“ Bo… boleh Mi…, cerita saja……” jawabku berusaha menahan napas. Mengatur irama detakan dadaku yang tiba tiba berpacu kencang. Entah bagaimana, tiba tiba saja aku merasa yang memeluk tangan itu, yang menyandarkan kepalanya di bahuku itu, bukan lagi Mi, tapi sesosok tubuh tanpa jiwa yang bangkit dari kuburnya untuk membagi duka bersamaku. Dingin, dan semakin dingin saja tangan Mi sore itu.

“ Orang bilang, cinta itu buta mbak, cinta tidak penah mengenal logika…… “ Mi mulai bertutur, mengisahkan kisahnya, “ kata mereka, cinta itu tidak penah mengenal umur, tidak penah mengenal kasta, tidak penah mengenal pada siapa……, cinta itu, tidak penah dipaksakan kan mbak……

Lalu apakah Mi salah kalau Mi cinta pada bapak Mi sendiri…..”

Aku tersentak kaget. Tapi aku harus memastikan kalau aku tidak salah dengar.

“ Siiii…… siapa Mi…..”

“ Bapak, mbak, ayah Mi sendiri…… “ kali ini aku menengang sekurjur tubuhku. Aku ….. aku tidak tau mengapa tiba tiba otakku terasa buntu. Buntu sekali……

“ Bapak kandung Mi, maksudnya…., cinta sebagai anak kan maksud Mi…..” tanyaku dengan debaran jantung yang semakin menggila. Aku berharap Mi akan membuatku lega dengan jawaban yang akan dia lontarkan.

“ Ya, mbak, Mi mencintai bapak kandung Mi sendiri. Cinta seperti seorang gadis mencintai pasangannya, calon bapak dari anak anak yang akan Mi lahirkan.….”

Aku berusaha menarik tangaku dari pelukan Mi. Tapi pelukannya itu terlalu kuat. “ Mmm….mi….” pekikku tertahan.

“ Mi mencitai bapak Mi sendiri, mbak… apa itu salah….? “ Mi mengangkat kepalanya dari bahuku, menatapku dengan mata yang sekarang berkaca kaca, “ Mi mencintai bapak Mi sendiri, Mi ingin bapak menjadi bapak dari anak anak Mi juga, mbak. “ Mi terisak, air matanya perlahan turun ke pipinya yang lembut membeku. Sebeku aku yang tidak tahu harus berkata apa.

“ Mmmmm…. Mi…”

“ Tidak mbak…., jangan katakan Mi salah. Saat ini cuma mbak satu satunya yang Mi harapkan bisa mengerti Mi. Cuma mbak yang bisa membuat Mi tenang… jangan bilang kalau cinta Mi ini salah. Jangan bilang kalau Mi tidak boleh mencitai bapak Mi sendiri….!!!” Mi memekik di depanku. Tanganku masih erat di dalam dekapannya. Dan aku tahu, mataku pasti sedang melotot menahan kaget.

Aku tidak menjawab apapun malam itu. Walau aku tahu sebenarnya apa yang harusnya aku katakan. Tapi dalam keadaan seperti itu, setiap kata seolah olah menjelma asap yang tiba tiba menguap dari dalam tenggorokanku sendiri. Aku tak punya satu katapun untuk Mi dimalam yang menyesakkan dada itu.

***

“ Kita sudah sampai bu…”

“ Ah…, ya….” Desahku. Aku kembali tersadar dari lamunanku.

Aku bergegas turun dri dalam mobil yang membawaku ke rumah Mi itu. Aku membiarkan saja ketika seorang perempuan setengah baya memapahku ke dalam rumah Mi. Limbung rasanya tubuhku ini, serasa hilang tenaga dalam tubuhku seperti menguapnya setiap kata kata dalam tenggorokanku.

Di dalam rumah itu, aku lihat jasad Mi terbaring kuyu di sebuah amben bambu yang tidak begitu tinggi. Wajah Mi membiru, pucat dan pasi. Tapi sesungging senyum Mi yang khas masih terukir di bibirnya yang kini sudah kelu. Tertutup rapat seperti sedang mengabadikan senyuman khasnya itu, senyuman khas seorang Mi, senyum yang mengabadikan sakit hatinya. Senyum yang tiap kali melihatnya, atau mengingatnya, aku selalu begidik. Senyum yang selalu berisi teror, horor nyata yang setiap saat mengganggu hari hariku. Senyum yang selalu mengingatkan aku akan malam malam itu, malam malam Mi bersama kartu kartunya. Malam di mana Mi mengirimkan rasa sakitnya, membaginya dengan orang yang sangat dia cintai, orang yang di pujanya, sekaligus di bencinya sedalam dia mampu.

“ Lihatlah ini mbak,” katanya pada suatu malam, saat aku menemani Mi bermain bersama kartu kartunya. “ Kartu kartu ini adalah teman Mi yang setia. Mereka tidak pernah bohong mbak. Mereka selalu jujur pada Mi. Kartu kartu ini lebih setia dari pada orang orang di luar sana, mbak. Kartu kartu Mi ini tidak munafik seperti mereka. Kartu kartu Mi selalu menolong Mi, mbak, ngasih Mi kebahagian, ngasih Mi kepuasan, hi hihihihihihi….. “ Mi terkekeh sendiri, seolah dia sedang berbicara padaku, dan bercengkrama dengan dunianya sendiri pada saat yang bersamaan.

Mi, selalu menggambarkan betapa dalam sakit hatinya lewat setiap goresan kata yang dia ucapkan, lewat setiap gerik tubuh yang dia ciptakan. Mi seolah punya dunia sendiri, dunia yang hanya dihuni Mi sendiri. Dunia yang hanya bisa di mengerti oleh Mi sendiri. Karena dunia itu, adalah dunia Mi sendiri, tanpa ada orang lain di dalamnya. Dunia Mi dan kartu kartunya. Dunia yang berisi cinta dan rasa sakit yang tak terperikan.

Lalu, Mi menangis sesenggukan sendiri. Tangisan mendalam yang berisi sakit hati, kerinduan dan pendambaan yang baru kali ini aku saksikan. Mi memeluk kartu kartunya, memeluk tangisannya kian dalam.

Aku bergidik. Lagi lagi otakku buntu di depan gadis lugu ini.

“ Mi,…. “ Panggilku. Kuraih pundaknya. Membiarkan Mi menumpahkan segala kegundahannya di bahuku. “ Dunia memang kadang tidak seperti apa yang kita bayangkan Mi, dunia ini kadang terasa sangat kejam, sangat tidak bersahabat…”

Mi menangis membiru.

“ Mi pernah mencintai seorang yang lain mbak.” Katanya malam itu. Aku berfikir, ini mungkin awal dari terbukanya dia padaku. Mungkin ini adalah awal aku bisa masuk ke dalam dunianya. Yang mungkin, bisa jadi awal aku mengangkat Mi dari kesendiriannya.

“ Mi pernah jatuh cinta sama seseorang, mbak. Dia cinta pertama Mi.” Mi mulai berkisah, dalam suasananya yang serak dan dalam. Suara yang aku kenal sebagai suara raga tanpa nafas nafas cinta. “ tapi apa yang dia lakukan sama Mi? mbak tau? Mi sudah memberikan segalanya pada dia. Segalanya mbak…… “ Mi tergugu, aku bergidik. Ada rasa muak yang perlahan menjalari benakku, Muak pada sosok lelaki. Rasa muak yang pernah aku pendam lama, bertahun tahun lamanya.

“ Dia sudah membuat Mi seperti sampah yang tidak pernah di hargai mbak. Mi….., Mi… Mi dijadikan hadiah bergilir setiap malam…… “ Mi meraung dalam tangisannya. Tubuh Mi beguncang. Aku bergetar di seluruh tubuh. Aku merasakan perih dan teriris yang sama dengan yang Mi rasakan. Perasaan seorang wanita yang tersakiti.

“ MEREKA MENJADIKAN MI PELAMPIASAN NAFSU SETAN MEREKA TIAP MALAM MBAK…..  TIAP MALAM….. TIAP MALAM MI SERASA HANCUR MBAK…….“ Mi meraung dalam tangisannya, menumpahkan segala sakit hatinya….

“ Ibu…., Ibu… sabar bu, istighfar….. nyebut bu…..” sepasang tangan keriput menggenggam erat pundakku. Menyadarkanku, membimbing aku kembali kealam sadarku. Tak terasa, tangisanku tumpah di hadapan para pelayat yang hadir.

“ Mari bu, mari ikut saya…” wanita tua itu membimbingku bangkit. Memapahku kedalam bilik kecil yang suram. Bilik di mana Mi menghabiskan hari harinya menjemput ajal.

“ Mi sudah pergi bu, jangan diberati lagi, diikhlaskan saja ya bu….., sebagai neneknya, saya juga merasa sangat kehilangan Mi, cucu perempuan saya satu satunya itu…..” kata kata itu membuat aku serasa luluh. Lalu, tanpa aba aba, aku memeluknya dalam dalam. Memeluknya untuk berbagi tagisan kepedihan ini, tangisan kehilangan ini, tangisan yang seperti tangisan Mi, tangisan yang seerat pelukan Mi di malam itu, malam malam kematian menjemputnya secara perlahan.

“ Lalu salahkah Mi kalau kemudian Mi menilai setiap lelaki itu sama? Mereka hanya datang pada kita pada saat kita di butuhkan saja. Mereka itu datang seperti lalat lalat yang menggerubungi daging yang busuk…., bah……! Mereka itu MENJIJIKKAN…..!!” Kulihat kilatan kebencian yang mendalam di mata Mi malam itu, diantara tetesan air matanya yang bertambah deras. “ Mereka datang hanya untuk mengerubungi seorang Mi yang sudah seperti mayat….!!” Mi kembali melengkingkan kata katanya. Menumpahkan rasa jijiknya penuh penuh. “ Aku BENCI MEREKA…..Mi benci lelaki itu…. MI BENCI……” Mi kembali tergugu, kembali terguncang… kembali meraung raung dalam kehampaannya.

“ Tapi bapak Mi adalah orang yang lain mbak, bapak tidak seperti mereka, bapaklah yang menebus Mi mbak, yang membebaskan Mi dari rumah hitam terkutuk itu…..” aku lihat bulir bulir cinta yang mendalam saat Mi mengucapkan kalimatnya itu. Bulir cinta yang dalam, dalam dan tulus tak terperikan.

“ Itulah sebabnya Mi mencintai bapak Mi sendiri. Tapi karena orang bilang cinta Mi salah, maka bapaklah yang pertama harus mati…..” Mi mendesis, lalu menarik senyumnya yang khas, senyum yang berisi berisi kematian. Senyum yang penuh cinta, cinta tulus yang ternoda kebencian!

***

Sejak malam itu, Mi tidak pernah berhenti bermain bersama kartu kartunya. Mengirimkan rasa sakitnya, mengirimkan ambang kematian pada orang orang yang dia cintai, yang dia benci.

Malam demi malam aku menemani Mi di dalam kamar itu, menemaninya dalam diam. Memperhatikan bagaimana kartu kartu itu terlompat lompat di kedua tangan lugu seorang Mi.

“ Mi sedang mengirimkan kesakitan mbak, sihir halus buat lelaki kejam itu. Mi ingin dia mati pelan pelan, malam demi malam…. “ Mi menyeringai, menunjukkan deretan gigi gigi kematiannya yang kejam.

“ Dan yang ini mbak, ini adalah kematian buat bapak Mi sendiri, kematian perlahan yang sangat manis. Mi ingin bapak mati perlahan, mbak. Dalam hitungan hari sebanyak dia berusaha menemukan Mi. Mi tidak ingin bapak mati dengan susah payah, Mi ingin kematian bapak Mi tidak menyakitkan. Tapi pelan, pelan tapi pasti. Dan di hari dengan tanggal yang sama dengan waktu bapak menemukan Mi, kematian itu akan mencapai ubun ubunnya…. Hi hi hi hi hi hi…..”

Kemudian, malam malam Mi dan aku berikutnya, adalah malam malam di mana bebauan itu terus menyeruak kental mengisi udara di kamar Mi. malam malam di mana bunga bunga beraneka rupa menghiasi kamar mandi kami. Malam berasama menyan, bersama dedupaan, di mana hio mengepul di dalam rongga hidung kami. Hingga sampai malam terakhir, dimana Mi mengirim kematian untuk raganya sendiri.

Aku tak tahu harus menangis atau harus bersukur malam itu. Harus menangis kalau akhirnya Mi juga harus pergi, ataukah harus bersukur bahwa akhirnya aku akan pergi dari kehidupan seorang Mi, dari sosok dengan cinta dan kebencian yang mendalam.

Tapi Mi hari ini sudah benar benar pergi. Dia pergi membawa cinta dan kebenciannya sekaligus. membawa harapan dan keputusasaannya berasama dengannya. Mi pergi bersama setiap kartu yang menemaninya setiap malam. Bersama tembang yang dia nyanyikan tiap malam. Tembang gubahan Mi sendiri, tembang yang selalu sama, setiap malam.

***

Seperti malam malam di mana aku menemaninya menembang dan mengocok kartu, malam inipun rupanya Mi belum bisa membiarkan aku sendiri saja di sini. Malam ini, ketika aku mengetikkan kisah Mi ini sendiri, sebenarnya Mi sedang berada di sampingku. Menemani aku seperti aku menemaninya setiap malam. Walaupun, Mi hadir hanya sebagai sosok suara tanpa raga.

Mi selalu hadir, pembaca yang budiman, di manapun dia diingat, diingat dengan cara apapun, dengan kebencian atau dengan penuh simpati. Perhatikan, saat desau angin atau keheningan di sekitar kita begitu mencekat, atau ketika sekelebat bayangan mendekat di belakang kita. Mungkin disaat itulah Mi akan hadir, Mi hadir bersama senyum kematian dan tembang sihir kartunya yang khas…..

Duh siapa lagi yang akan jadi penyejuk di hati….
Duh siapa lagi yang akan jadi cahaya di mata….
Engkau telah pergi tak tau kemana…..
Hati luka siapa yang akan mengobati….
Hati luka tak kuat diri ini..…
Hati luka ingin kubagi….
Kepada engkau yang sudah membuat siksa….
Kepada engkau yang mendengar tapi tidak pernah cinta…..”**



** Bait tembang terakhir adalah terjemahan dari tembang berbahasa Madura gubahan Mi diatas.



READ MORE - Tembang Tembang Mi

Baca juga yang ini