Kamis, 30 Juni 2011

Aku, Kartu ATM, Abangku, dan Jodohnya

Siang ini, aku memutuskan untuk mampir sebentar di rumah makan sederhana di depan kantor abangku sebelum aku menemuinya. Lelah rasanya terguncang guncang dalam angkutan umum sejak tadi. Perjalanan 6 jam Bondowoso-Surabaya bagiku memang bukan perjalanan yang cukup menyenangkan.

Macet, panas, bedesakan, laju kendaraan yang tidak stabil, lagu lagu yang bising dari pengamen jalanan yang jumlahnya tidak bisa dihitung dengan jari, ditambah pedangang asongan yang ribut menawarkan barang dagangannya. Huh,  kenapa angkutan umum di negeri ini sedemikian parahnya ya? Aku membayangkan seandainya saja aku punya kendaraan pribadi. Mungkin tidak seperti ini keadaannya. Mungkin aku bisa lebih tenang. Mungkin aku bisa lebih menghemat tenagaku. Setidaknya, mungkin tidak perlu sebising itu.

Tapi segelas es teh yang menemani semangkok bakso panas di depanku sedikit membuatku bisa melupakan efek dari segala kebisingan itu. Sedikit menurunkan temperatur otakku. Membuatnya lebih bisa berfikir jernih. Sehingga nanti, aku bisa bertemu dengan abangku dengan keadaan yang lebih baik.

***

Dua wanita muda masuk ke dalam warung bakso sederhana ini saat teh di dalam gelasku tinggal separuh. Setelah memesan makanan dan minuman, dan karena semua tempat duduk sudah terisi, maka duduklah mereka berdua di bangku kosong tepat di depanku.

“ Panas bener ya siang ini” kata wanita muda yang pertama. Aku kira dia sekitar 24 tahun usianya. Dengan baju kerja warna biru tua dan lipstik yang natural. Dia cantik, juga manis. Dan aku suka melihat goresan wajahnya.

“ Namanya juga Surabaya. Kayak yang baru aja kamu di sini” kata wanita kedua. Yang ini berpakaian serba hitam dengan rambut hitam yang di sanggul kebagian atas kepalanya. Lipstiknya merah membara, wajahnya tegas, mengingatkan aku pada istri-istri bawel yang matre. Ouh, semoga saja abangku tidak berjodoh dengan orang macam ini, Tuhan.

Wanita pertama hanya mengulas senyum tipis mendengar jawaban teman sekantornya itu. Mungkin sudah terbiasa dia dengan karakternya. “ Ya mbak Ning. Tapi hari ini panas banget rasanya. Mungkin karena pekerjaanku yang numpuk kali ya…..” Timpalnya. Tapi wanita kedua, yang di panggil mbak Ning itu tampak tak begitu peduli, bahkan untuk menoleh dan memberi sedikit senyuman.

Sebentar kemudian, seorang pelayan datang membawa dua mangkok bakso porsi sedang segelas es teh, dan segelas es jeruk. Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke layar telepon genggam di tangan kananku. Sebuah pesan aku kirim ke nomor abangku. Mengabarkan kalau aku sudah di warung didepan kantornya.

“ Mas,” kata wanita pertama ketika pelayan itu selesai meletakkan semua barang yang dia bawa keatas meja.

“ Ya..” Pelayan laki laki itu menjawab dengan santun.

“ Tolong, bungkus satu bakso porsi jumbo sama satu es teh di bungkus juga.”

“ Ya mbak.” Jawab pelayan itu “ Cuma itu saja?”

“ Ya mas, makasih ya. “

“ Sama sama mbak. “

Pelayan itu segera berlalu. Tapi belum juga dua langkah pelayan itu pergi, mbak Ning menoleh dengan ekspresi yang kaku kearah wanita  pertama. “ Buat siapa baksonya. Kok bungkus segala?”

Wanita pertama menyungging senyum, “ Buat mas Topek mbak, “ (hatiku berdegup mendengar nama itu di sebutkan, apa mungkin…..)

“ Topek?”

“ Tufik Rahmad Purnomo mbak, kasian dia” kali ini aku yang pasang telinga setegak tegaknya. Itu nama abangku!

“ Ternyata benar ya yang di kantor selama ini. Kamu benar benar naksir dia kayaknya. Tidak salah ?” tanya mbak Ning. Tidak ada lembut di dalam tutur katanya. Buat telingakuku ini mulai gatal rasanya.

Wanita pertama itu senyum saja mendengar komentar mbak Ning. Sepertinya dia sudah terbiasa dengan tabiat teman sekarntornya itu. “ Biar sudah mbak Ning temen temen mau ngomong apa. Aku sudah dengar semuanya kok. “

“ Walah, Mala, Mala, jadi bener toh yang di omongin temen temen sekantor itu? Sayang kalau kamu memang bener bener jadian ma si Topek. Gitu kok orangnya kamu senengin.”

Aku hampir muntab mendengar kata kata orang yang di panggil mbak Ning ini. Busyet dah dia. Kok sampai segitunya sama abangku. Emang abangku seburuk apa di kantornya kok sampai di cap segitu jeleknya.

“ La kenapa toh mbak Ning, apa salah saya suka sama mas Topek?”

“ Topek itu lo orangnya kere,” timpal mbak Ning. Astaghfirullah, pengen tak jotos orang ini sama aku. Tapi aku masih penasaran, apa yang sebenarnya terjadi sama abangku di kantornya. Jadi aku putuskan untuk diam dulu. Dengarkan dulu.

“ Jangan bilang gitu mbak Ning, jangan pandang orang dari hartanya. “

“ Terus dari apanya? “

“ Dari hatinyalah mbak Ning, Topek orang yang baik. Dia beda sama yang lain. “

“ Halah, tak kasi tahu ya Mala. Sekarang ini, kalau cari calon suami itu yang ada duitnya. Mau makan apa kita kalau suami kita orang kere?”

“ Banyak duitnya tapi temperamennya jelek buat apa mbak Ning. Aku pengen orang yang bertanggung jawab saja kayak Topek itu. Dia itu loh selama ini kerja demi keluarganya. Dia itu kerjanya bagus. Kan kita semua sudah tahu kalau bulan ini dia di promosikan. “

“ Ya, aku tahu “ timpal mbak Ning.” Tapi dia itu lo tidak bisa ngatur uang. Masak tiap bulan uangnya abis terus. Sampe sampe di bela belain puasa segala buat ngirit. Emang kemana uangnya?”

“ Di kirim mbak Ning”

“ Dikirim?” wajah mbak Ning mengkerut kerut.

“ Ya, di kirim kerumahnya di Bondowoso. Buat ibu sama adeknya di sana. Bapaknya kan dah meninggal?”

“ Hah, beneran tah?” timpal mbak Ning dengan nada tidak percaya.

“ Bener mbak Ning. Aku tahu sendri kok. Bahkan pernah aku diminta tolong ma Topek buat transfer ke rekening adiknya di sana. Waktu itu, kalau tidak salah dia lupa bawa dompetnya waktu keluar sama aku. Padahal uangnya di butuhkan hari itu juga sama adiknya. Jadi aku tahu kira kira berapa yang dia kirim kerumahnya tiap bulan.”

“ Gitu tah? Banyak ya yang dia kirim ke rumahnya, sampai sampai dia tidak bisa beli celana sama kemeja baru. Perasaan tiap hari yang di pake itu itu saja.”

Mala tampak merenung. “ kasian dia mbak Ning. Pagi ini dia tidak sarapan. Katanya adiknya lagi butuh tambahan uang buat biaya kuliahnya di sana. Jadi dia harus lebih berhemat lagi. “ Mala menghela nafasnya. Jantungku berdegup kencang. Kali ini bukan karena amarah pada mbak Ning, tapi karena jengkel pada diriku sendiri! Aku jengkel dan marah pada diriku sendiri. Perlahan muncul kesadaran dalam diriku. Betapa selama ini aku sudah menjadi benalu buat abangku sendiri.

“ Siang ini, katanya adiknya mau datang ke sini” Mala melanjutkan kalimatnya.

“ Kenapa? “ tanya mbak Ning. Kali ini dengan nada yang lebih lembut.

“ Kartu ATM adiknya keblokir. Kemarin dia salah masukin pin”

Aku menundukkan wajah dalam dalam. Gemuruh dalam hatiku bertambah besar. Aku tahu, pasti wajahku sudah memerah sekarang. Betapa cerobohnya aku! Betapa malunya aku….

“ Kalau gitu, kasian sama Topek ya. Kalau adiknya ke sini, berarti butuh pengeluaran lagi buat ongkos perjalanannya. Gitu ongkosnya masih Topek juga yang kasi?”

“ Gak tahu aku mbak Ning. Makanya aku beliin bakso buat dia. Kasian kalau siang ini dia tidak makan lagi.”

“ Di tambah lontong aja mal, biar lebih ada isinya.” Timpal mbak Ning tiba tiba. Sekarang hatiku luruh. Ada setetes air mata yang mengambang di pelupuk mataku. Aku merasa sangat, sangat tidak berguna sekarang. Sangat bodoh, egois…..! aku benci diriku sendiri….!!! Aku benci…..!!! mbak Ning yang tadi sebegitu bencinya sama abangku saja bisa langsung luluh mendengar kebenaran ini.

“ Ya mbak Ning. Nanti aku pesenin. Kalau di bantu secara materi dia pasti nolak. Kalau gini, mungkin bisa lebih membantu.”

“ Nanti Malam ajak dia makan Malam di rumahku Mal. Aku juga jadi tidak tega dengernya. Emang adeknya itu cowok apa cewek sih.”

“ Cowok mbak.”

“ Sudah kuliah dia ya? Udah besar berarti. Sudah bisa cari uang sendiri seharusnya. Biar Topek bisa lebih mengatur keuangannya. Tidak mau nabung apa dia itu? Kalau mau nikah kan butuh uang.” Kalimat mbak Ning itu terdengar pedas di telingaku. Tapi aku cuma bisa diam saja. Aku sudah runtuh….. aku sudah hancur rasanya…..

“ Dulu Mal, biar aku cewek gini, aku gak pernah minta orang tua buat biaya kuliah. Aku kerja Mal. Nyuci piring di rumah makan. Boro boro mau minta orang tua. La yang mau buat orang tuaku makan sendri saja sudah repot setengah mati carinya. Gimana juga mau nanggung kuliahku…., ini adiknya cowok. Seharusnya Topek bisa kasi dia penjelasan ke adiknya. Emang dia mau nikah umur berapa?”

“ Ya mbak, itu yang juga jadi pikiranku. Topek belum bisa nerima aku katanya karena dia belum siap nanggung hidupku. Dia masih punya tanggungan di rumahnya. Padahal aku sudah bilang sama dia kalau aku mau belajar hidup sederhana. Belajar menerima dia apa adanya.”

“ Orang tua kamu sudah setuju ma hubungan kalian?”

“ Orang tuaku sebenarnya suka ma mas Topek mbak. Mereka bilang jarang ada orang kayak mas Topek jaman ini. Tapi ya itu mbak, mas Topeknya tidak bisa lepas tanggung jawabnya sekarang ini. …….”

Aku bangkit dari tempat dudukku. Ada air mata yang menetes dari mataku. Tapi aku sudah tidak lagi perduli.” CUKUP…..!!!” kataku tegas. Walau aku tahu. Suaraku tidak keluar dengan sempurna.

Kedua wanita itu menganga kaget. “Aku adek mas Topek…….!!!! berhenti bicara tentang aku!!!” Aku berteriak di depan wajah mereka. Tapi sebelum aku bertindak jauh diluar kendali, sebuah tangan dengan cicin yang aku kenali menarik tubuhku menjauh dari sana. Tangan itu, tangan mas Topek.

***

Surabaya sudah kutinggalkan tiga jam yang lalu. Sekarang bus yang aku tumpangi sedang parkir di terminal Probolinggo.

Aku duduk sendiri di salah satu kursi penumpang. Otakku memutar kembali memori tiga setengah jam yang lalu, saat aku sempat bertengkar hebat dengan abangku tadi. Kami bertengkar hebat tepat di depan warung bakso itu.

Aku benar benar kehilangan kendali. Aku merasa aku sangat tidak lagi berguna. Aku merasa kalau aku ini sebernarnya cuma sampah yang bisanya cuma jadi beban orang lain. Aku begitu frustasi tadi. Sampai sampai berusaha menabrakkan diri pada kendaraan yang lewat. Tapi untunglah. Abangku, pria sejati itu bisa mencegahku.

Amarahku mereda ketika  ibu tua pemilik warung bakso itu menyeretku ke dalam ruang tamunya yang berada tepat di belakang warung baksonya. Ada mbak Mala sama mbak Ning juga disana yang bantu abangku menenangkanku.

“ Bang, maafkan adikmu ini ya, aku janji bang, ini adalah uang terakhir yang aku terima dari abang. Bulan depan, cukup abang kirim buat ibu saja. Aku akan berusaha sendiri bang, aku akan jadi seorang lelaki sejati seperti abang.

Bang, makasih sudah jadi inspirasi terbesar dalam hidupku. Terima kasih sudah mengubah aku jadi lebih baik, mbak Mala dan mbak Ning. Tanpa percakapan itu, mungkin aku sekarang tetap jadi seorang pecundang.

Terima kasih Tuhan untuk kejadian hari ini. Terima kasih sudah menegurku. Sekarang aku tahu, tak selamanya menangis itu tanda cengeng. Sekarang aku tahu, kalau menangis itu manusiawi………. Terima kasih untuk hari yang mampu mengubah hidupku ini. Terima kasih untuk segalanya……”

versi lain di http://laranta.blogspot.com/2011/02/aku-abangku-dan-jodohnya.html

READ MORE - Aku, Kartu ATM, Abangku, dan Jodohnya

Baca juga yang ini