Orang bilang,
hidup ini berjalan seperti fase metamorfosis kupu kupu. Berawal dari telur,
kemudian menetas jadi ulat, menjelma kepompong, untuk kemudian sempurna sebagai
kupu kupu yang indah. Aku juga ingin bilang begitu saat ini, walau itu bukan
berarti aku setuju bahwa setiap manusia akhirnya akan menjadi kupu kupu yang
indah. Menurutku, kehidupan kita bisa beranjak dan berakhir pada salah satu
fase, tanpa bisa lagi mencapai fase selanjutnya. Ada kalanya kehidupan
seseorang di mataku berakhir pada fase kempompong, pada sebuah tahap dimana
kesempurnaan nyaris dicapainya. Bahkan sebagian besar dari kita mungkin tidak
pernah menyadari kalau sebenarnya kita ini adalah umpama ulat, atau mungkin
telur yang tidak pernah menetas sama sekali.
“Mengapa
begitu?” tanyanya pada suatu ketika. Saat hujan turun dan secangkir teh hangat
menemani kami di depan jendela yang basah.
“Bisa saja,”
jawabku sambil tersenyum kecil menggodanya. Dia diam tak bergeming. Tatapannya tajam
kearahku. Seakan dengan itu, dia berkata kalau dia siap menjadi pendengar yang
baik.
“Aku pernah
berfikir, kalau manusia itu lahir umpama telur kupu kupu yang kecil, lucu,
halus, dan terlindungi. Dia berada pada suatu tempat yang tidak semua orang
tahu, tak ada satu mahlukpun yang benar benar tahu di mana telur telur itu
diletakkan tanpa mengamati dengan seksama terlebih dahulu. Seperti itulah. Suci.
Tapi mirisnya,
ada sebagian dari manusia, kita ini, yang tidak pernah terlepas dari kungkungan
cangkang telur kita sendiri. Akibatnya, yaaah, seperti itulah. Mereka menjadi
seperti katak dalam tempurung. Yang mereka tahu hanyalah dunia mereka yang
nyaman, yang indah menurut mereka, yang selalu melindungi mereka, tanpa mereka
pernah sadar kalau sebenarnya cangkang telur yang melindungi mereka itu begitu
rapuh, begitu tipis, sehingga dengan sentuhan kecil saja, cangkangnya bisa
hancur dan tak bersisa.
Hmmm…
Dan kemudian
mereka mati. Tamat. Mereka tidak pernah menjadi apa apa sama sekali.”
“Miris…,”
sahutnya sambil menatap hampa ke dalam gelas tehnya yang sekarang setengah
berisi.
“Ya…, memang. Tapi
tidak semuanya seperti itu. Karena ada kemudian sebagian dari mereka yang
berhasil keluar dari cangkangnya dengan segala upaya dan masuk pada tahap
selanjutnya : ulat.”
“Ulat? Membayangkannya
saja sudah membuatku merinding,” keluhnya.
“Kamu gak suka
ulat?” tanyaku setengah menyelidik. Pertanyaan yang mungkin cuma sekedar basa
basi saja, karena aku tahu, hanya ada sedikit sekali wanita di dunia ini yang tidak
takut pada seekor ulat, dan dia, aku yakin sekali bukan wanita yang seperti
itu.
“Menakutkan,
menjijikkan. Aku tidak suka sama sekali. Aku bisa lari terbirit birit kalau ada
ulat di dekatku.” Aku tertawa terkekeh mendengarnya, membuat wajahnya yang
putih bersemu merah.
“Kenapa harus
menertawakanku?” protesnya.
“Yah begitulah
wanita, terlalu penakut untuk hal hal yang gak mereka mengerti terkadang. Tapi kamu
pernah berfikir gak sih kalau sebenarnya kamu, aku, dan banyak orang yang lain
di sini pernah menjadi ulat dalam bayanganku? Atau bahkan sampai saat inipun
masih menjadi ulat ulat itu tanpa kita sadari.”
“Maksud kamu?”
“Pada fase ini
menurutku, adalah fase dimana orang orang sudah berada pada posisi yang baik,
mapan dan telah melalui proses perjuangan yang berat. Pada fase ini aku
kelompokkan orang orang yang memiliki karir yang baik, masa depan yang baik,
orang orang biasa sampai konglomerat, atau mereka yang berada di rumah rumah
susun sampai penghuni istana presiden. Golongan ini besar sekali, mencakup
hampir semua orang.
Mereka makan,
mereka beraktifitas, mereka melakukan apapun untuk mencapai tujuan hidup
mereka. Sampai terkadang mereka lupa kalau mereka sudah terlalu banyak
melangkah, terlalu banyak berbuat, dan tidak pernah berfikir tentang akibatnya.”
Aku gantungkan kalimatku di sini untuk sejenak menatap lurus ke wajahnya yang
kini seperti anak kambing yang melihat induknya di tempat yang tak terjangkau. Membiarkan
sedetik dua detik berlalu tanpa ada yang mengisi.
“Terus?”
desaknya. Dia sekarang benar benar penasaran akan isi otakku rupanya.
“Ya begitulah,
orang orang yang rakus, orang orang yang berbuat selalu untuk kepentingan
dirinya sendiri, saling sikut, saling senggol yang penting dapet daun muda
untuk dimakan. Kalau gak ada yang muda, daun tuapun mereka embat juga.
Kamu tahu,
dalam pikiranku, kamu termasuk dalam golongan ini. Golongan ulat ulat.”
“Waduh, buset
dah kamu. Masak aku di samain sama ulat ulat rakus….” Sekali lagi dia protes. Tapi
kali ini dengan nada yang lebih ekstrim. Aku juga tersenyum nakal kearahnya
untuk sekali lagi. Waktu berdetak pelan, dan aku menikmatinya. Menikmati suasana
seperti ini.
“Kamu gak
terima aku samain dengan ulat?”
“Ya jelaslah…!”
“Kamu tahu gak,
kalau akupun, dulunya pernah dalam golongan ini. Aku ulat, dulu.”
“Terus
sekarang? Kamu apa?”
“Aku kupu kupu…,”
jawabku menang. Dia mendengus kesal. Wajahnya sekarang benar benar memerah. Kalau
tidak aku dahului bicara,mungkin sekarang dia sudah meledak di depanku.
“Aku dulu ulat,
dan sekarang aku kupu kupu. Aku kupu kupu setelah aku melalu masa masa menjadi
seekor kepompong. Kalau kamu mau aku masukkan dalam katagori kupu kupu, maka
duduklah, akan aku jelaskan bagaimana caranya.” Sampai pada kalimat ini aku
berusaha serius untuk menekankan padanya kalau sebenarnya aku tidak ingin basa
basi lagi seperti tadi.
“Dalam
pikiranku, setiap orang itu adalah ulat, dan banyak yang mati sebagai ulat. Pecundang
yang bangga dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka hasilkan tapi gak pernah
pakai ini,” ku tunjuk kepalaku, “dan gak pakai ini,” sekarang aku turunkan
telunjukku ke dadaku, “meraka cuma pakai ini dan ini sebagai ukuran.” Terakhir kualihkan
telunjukku kearah perutku, lalu kukeluarkan selembar uang kertas seribu rupiah
dari dalam saku bajuku. Dia mendesah pelan, seperti orang yang sedang menahan
nafas karena suatu ganjalan di hatinya. Mungkin dia sedikit tegang untuk
mendengarkan kata kataku selanjutnya.
“Terus?”
tanyanya. “Semua orang butuh uang bukan, butuh makan juga, apa salahnya?”
“Nafsu, itu
yang mereka dewakan dan mereka tuhankan. Tanpa sadar mereka sudah menduakan
Tuhan mereka sendiri, menggantikannya dengan nafsu dan dengan uang. Maka itu,
hanya sedikit orang yang kemudian benar benar masuk kedalam tahap metamorfosis
selanjutnya : fase kepompong, fase berfikir dan mencari kebenaran.
Dulu aku sama
seperti yang lain. Tapi apa yang aku dapatkan? Gak ada. Hanya hampa. Okelah
saat itu aku mendapatkan segala secara materi. Mau apa apa aku bisa, mau apa
saja semua ada, tapi apa yang aku rasakan di sini? Di batin dan jiwaku?
Kosong!
Kosong… gak
ada, gak ada yang aku dapatkan. Aku merasakan hidupku ini hampa tanpa tujuan. Semakin
lama aku semakin merasakan dan mempertanyakan apa arti aku hidup ini. Setiap hari
aku berkutat dengan hal hal yang sama, mendapatkan hal hal yang aku inginkan
dengan mudah, ya, lama lama hidupku terasa membosankan. Terasa monoton.
Pada tahap
itulah aku mulai berusaha mencari apa sebenarnya arti hidup yang aku jalani. Aku
mulai banyak merenung, aku mulai banyak berfikir, banyak membaca. Aku ingin
menemukan jawaban atas semua pertanyaan pertanyaan yang selama ini menumpuk di
otakku. Pertanyaan pertanyaan yang setiap hari semakin menggunung dan semakin
mendesak untuk ditemukan jawabannya. Aku mulai mencari orang orang yang mampu
menjelaskan. Aku mulai mendatangi tempat tempat yang mereka bilang itu tempat
suci, mendatangi orang orang suci, pemuka agama agama mereka. bahkan gilanya,
kamu tahu? Aku datang kekuburan.”
Mendengar kalimat
terkhriku dia mendesah, bergumam tidak jelas.
“Tapi rupanya
Tuhan tidak membuatku menunggu terlalu lama untuk menunjukkan padaku tempat
untuk mengajukan semua pertanyaanku sekaligus tempat untuk mendapatkan jawaban
semua pertanyaanku secara tuntas. Tuhan membayarnya lunas.
Pada hari itu,
hari dimana aku tengah bersiap siap untuk melepas fase metamorfosisku, aku
merasakan perasaan yang bercampur aduk di hatiku ini. Perasaan yang jauh lebih
dahsyat, kalau boleh aku bilang begitu, dari pada saat saat paling medebarkan
saat di terima lamaranku oleh camer dan saat ijab kabul pernikahanku. Hari itu,
adalah hari yang lebih dari hari hari yang lain. Bahkan sampai sekarangpun aku
masih suka merinding kalau aku ingat saat saat mendebarkan itu.
Hari itu, dia
menjabat tanganku dan memintaku untuk mengikuti apa yang dia ucapkan. Kata kata
pembuka faseku dari face kepompong menjadi kupu kupu sederhana saja. Itu cuma
semacam kesaksian yang aku ucapkan tulus dan ikhlas dari dalam hatiku. kata
kata itu diucapkan dalam bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia kurang lebih ‘Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain ALLAH, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad
adalah utusan ALLAH’”
Sekarang dia
memekik tertahan. Wajahnya mengisaratkan rasa ketidak percayaan yang amat
sangat. “Sekarang kamu muslim? Kamu muallaf?”
“Ya,” jawabku. “Aku
memilih Islam, karena agama ini telah memberiku jawaban singkat yang pasti akan
semua pertanyaanku selama ini.”
“Apa itu?”
tanyanya penasaran.
“Allah
berfirman : ‘… Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepadaKU…’ itu terlulis dalam firmanNya, QS Adz Dzariat ayat 56. Itu adalah jawaban dari semua yang
aku pertanyakan selama ini. Lunas terbayar sejak aku mulai mendalami isi dari
kitab suci. Al Quran, selalu akan menjadi sebuah mukzizat dan jawaban atas
segala pertanyaan.
Sekarang aku
adalah muslim, aku adalah kupu kupu itu, dan aku bangga memperkenalkan diri
sebagai muslim.Aku berharap, aku gak hanya bisa jadi kupu kupu yang indah, tapi kupu kupu yang juga bisa berbagi keindahan itu dan mempengaruhi segalanya agar juga menjadi indah....”
Di dedikasikan untuk seorang sabahat yang
selalu menginspirasi :
kang Insan,
sang kupu kupu.
Lanjutkan baca bagian 2 di sini