Tampilkan postingan dengan label ulat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ulat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 04 Mei 2012

Fase


Orang bilang, hidup ini berjalan seperti fase metamorfosis kupu kupu. Berawal dari telur, kemudian menetas jadi ulat, menjelma kepompong, untuk kemudian sempurna sebagai kupu kupu yang indah. Aku juga ingin bilang begitu saat ini, walau itu bukan berarti aku setuju bahwa setiap manusia akhirnya akan menjadi kupu kupu yang indah. Menurutku, kehidupan kita bisa beranjak dan berakhir pada salah satu fase, tanpa bisa lagi mencapai fase selanjutnya. Ada kalanya kehidupan seseorang di mataku berakhir pada fase kempompong, pada sebuah tahap dimana kesempurnaan nyaris dicapainya. Bahkan sebagian besar dari kita mungkin tidak pernah menyadari kalau sebenarnya kita ini adalah umpama ulat, atau mungkin telur yang tidak pernah menetas sama sekali.
“Mengapa begitu?” tanyanya pada suatu ketika. Saat hujan turun dan secangkir teh hangat menemani kami di depan jendela yang basah.
“Bisa saja,” jawabku sambil tersenyum kecil menggodanya. Dia diam tak bergeming. Tatapannya tajam kearahku. Seakan dengan itu, dia berkata kalau dia siap menjadi pendengar yang baik.
“Aku pernah berfikir, kalau manusia itu lahir umpama telur kupu kupu yang kecil, lucu, halus, dan terlindungi. Dia berada pada suatu tempat yang tidak semua orang tahu, tak ada satu mahlukpun yang benar benar tahu di mana telur telur itu diletakkan tanpa mengamati dengan seksama terlebih dahulu. Seperti itulah. Suci.
Tapi mirisnya, ada sebagian dari manusia, kita ini, yang tidak pernah terlepas dari kungkungan cangkang telur kita sendiri. Akibatnya, yaaah, seperti itulah. Mereka menjadi seperti katak dalam tempurung. Yang mereka tahu hanyalah dunia mereka yang nyaman, yang indah menurut mereka, yang selalu melindungi mereka, tanpa mereka pernah sadar kalau sebenarnya cangkang telur yang melindungi mereka itu begitu rapuh, begitu tipis, sehingga dengan sentuhan kecil saja, cangkangnya bisa hancur dan tak bersisa.
Hmmm…
Dan kemudian mereka mati. Tamat. Mereka tidak pernah menjadi apa apa sama sekali.”
“Miris…,” sahutnya sambil menatap hampa ke dalam gelas tehnya yang sekarang setengah berisi.
“Ya…, memang. Tapi tidak semuanya seperti itu. Karena ada kemudian sebagian dari mereka yang berhasil keluar dari cangkangnya dengan segala upaya dan masuk pada tahap selanjutnya : ulat.”
“Ulat? Membayangkannya saja sudah membuatku merinding,” keluhnya.
“Kamu gak suka ulat?” tanyaku setengah menyelidik. Pertanyaan yang mungkin cuma sekedar basa basi saja, karena aku tahu, hanya ada sedikit sekali wanita di dunia ini yang tidak takut pada seekor ulat, dan dia, aku yakin sekali bukan wanita yang seperti itu.
“Menakutkan, menjijikkan. Aku tidak suka sama sekali. Aku bisa lari terbirit birit kalau ada ulat di dekatku.” Aku tertawa terkekeh mendengarnya, membuat wajahnya yang putih bersemu merah.
“Kenapa harus menertawakanku?” protesnya.
“Yah begitulah wanita, terlalu penakut untuk hal hal yang gak mereka mengerti terkadang. Tapi kamu pernah berfikir gak sih kalau sebenarnya kamu, aku, dan banyak orang yang lain di sini pernah menjadi ulat dalam bayanganku? Atau bahkan sampai saat inipun masih menjadi ulat ulat itu tanpa kita sadari.”
“Maksud kamu?”
“Pada fase ini menurutku, adalah fase dimana orang orang sudah berada pada posisi yang baik, mapan dan telah melalui proses perjuangan yang berat. Pada fase ini aku kelompokkan orang orang yang memiliki karir yang baik, masa depan yang baik, orang orang biasa sampai konglomerat, atau mereka yang berada di rumah rumah susun sampai penghuni istana presiden. Golongan ini besar sekali, mencakup hampir semua orang.
Mereka makan, mereka beraktifitas, mereka melakukan apapun untuk mencapai tujuan hidup mereka. Sampai terkadang mereka lupa kalau mereka sudah terlalu banyak melangkah, terlalu banyak berbuat, dan tidak pernah berfikir tentang akibatnya.” Aku gantungkan kalimatku di sini untuk sejenak menatap lurus ke wajahnya yang kini seperti anak kambing yang melihat induknya di tempat yang tak terjangkau. Membiarkan sedetik dua detik berlalu tanpa ada yang mengisi.
“Terus?” desaknya. Dia sekarang benar benar penasaran akan isi otakku rupanya.
“Ya begitulah, orang orang yang rakus, orang orang yang berbuat selalu untuk kepentingan dirinya sendiri, saling sikut, saling senggol yang penting dapet daun muda untuk dimakan. Kalau gak ada yang muda, daun tuapun mereka embat juga.
Kamu tahu, dalam pikiranku, kamu termasuk dalam golongan ini. Golongan ulat ulat.”
“Waduh, buset dah kamu. Masak aku di samain sama ulat ulat rakus….” Sekali lagi dia protes. Tapi kali ini dengan nada yang lebih ekstrim. Aku juga tersenyum nakal kearahnya untuk sekali lagi. Waktu berdetak pelan, dan aku menikmatinya. Menikmati suasana seperti ini.
“Kamu gak terima aku samain dengan ulat?”
“Ya jelaslah…!”
“Kamu tahu gak, kalau akupun, dulunya pernah dalam golongan ini. Aku ulat, dulu.”
“Terus sekarang? Kamu apa?”
“Aku kupu kupu…,” jawabku menang. Dia mendengus kesal. Wajahnya sekarang benar benar memerah. Kalau tidak aku dahului bicara,mungkin sekarang dia sudah meledak di depanku.
“Aku dulu ulat, dan sekarang aku kupu kupu. Aku kupu kupu setelah aku melalu masa masa menjadi seekor kepompong. Kalau kamu mau aku masukkan dalam katagori kupu kupu, maka duduklah, akan aku jelaskan bagaimana caranya.” Sampai pada kalimat ini aku berusaha serius untuk menekankan padanya kalau sebenarnya aku tidak ingin basa basi lagi seperti tadi.
“Dalam pikiranku, setiap orang itu adalah ulat, dan banyak yang mati sebagai ulat. Pecundang yang bangga dengan apa yang mereka kerjakan dan mereka hasilkan tapi gak pernah pakai ini,” ku tunjuk kepalaku, “dan gak pakai ini,” sekarang aku turunkan telunjukku ke dadaku, “meraka cuma pakai ini dan ini sebagai ukuran.” Terakhir kualihkan telunjukku kearah perutku, lalu kukeluarkan selembar uang kertas seribu rupiah dari dalam saku bajuku. Dia mendesah pelan, seperti orang yang sedang menahan nafas karena suatu ganjalan di hatinya. Mungkin dia sedikit tegang untuk mendengarkan kata kataku selanjutnya.
“Terus?” tanyanya. “Semua orang butuh uang bukan, butuh makan juga, apa salahnya?”
“Nafsu, itu yang mereka dewakan dan mereka tuhankan. Tanpa sadar mereka sudah menduakan Tuhan mereka sendiri, menggantikannya dengan nafsu dan dengan uang. Maka itu, hanya sedikit orang yang kemudian benar benar masuk kedalam tahap metamorfosis selanjutnya : fase kepompong, fase berfikir dan mencari kebenaran.
Dulu aku sama seperti yang lain. Tapi apa yang aku dapatkan? Gak ada. Hanya hampa. Okelah saat itu aku mendapatkan segala secara materi. Mau apa apa aku bisa, mau apa saja semua ada, tapi apa yang aku rasakan di sini?  Di batin dan jiwaku?
Kosong!
Kosong… gak ada, gak ada yang aku dapatkan. Aku merasakan hidupku ini hampa tanpa tujuan. Semakin lama aku semakin merasakan dan mempertanyakan apa arti aku hidup ini. Setiap hari aku berkutat dengan hal hal yang sama, mendapatkan hal hal yang aku inginkan dengan mudah, ya, lama lama hidupku terasa membosankan. Terasa monoton.
Pada tahap itulah aku mulai berusaha mencari apa sebenarnya arti hidup yang aku jalani. Aku mulai banyak merenung, aku mulai banyak berfikir, banyak membaca. Aku ingin menemukan jawaban atas semua pertanyaan pertanyaan yang selama ini menumpuk di otakku. Pertanyaan pertanyaan yang setiap hari semakin menggunung dan semakin mendesak untuk ditemukan jawabannya. Aku mulai mencari orang orang yang mampu menjelaskan. Aku mulai mendatangi tempat tempat yang mereka bilang itu tempat suci, mendatangi orang orang suci, pemuka agama agama mereka. bahkan gilanya, kamu tahu? Aku datang kekuburan.”
Mendengar kalimat terkhriku dia mendesah, bergumam tidak jelas.
“Tapi rupanya Tuhan tidak membuatku menunggu terlalu lama untuk menunjukkan padaku tempat untuk mengajukan semua pertanyaanku sekaligus tempat untuk mendapatkan jawaban semua pertanyaanku secara tuntas. Tuhan membayarnya lunas.
Pada hari itu, hari dimana aku tengah bersiap siap untuk melepas fase metamorfosisku, aku merasakan perasaan yang bercampur aduk di hatiku ini. Perasaan yang jauh lebih dahsyat, kalau boleh aku bilang begitu, dari pada saat saat paling medebarkan saat di terima lamaranku oleh camer dan saat ijab kabul pernikahanku. Hari itu, adalah hari yang lebih dari hari hari yang lain. Bahkan sampai sekarangpun aku masih suka merinding kalau aku ingat saat saat mendebarkan itu.
Hari itu, dia menjabat tanganku dan memintaku untuk mengikuti apa yang dia ucapkan. Kata kata pembuka faseku dari face kepompong menjadi kupu kupu sederhana saja. Itu cuma semacam kesaksian yang aku ucapkan tulus dan ikhlas dari dalam hatiku. kata kata itu diucapkan dalam bahasa Arab, dalam bahasa Indonesia kurang lebih ‘Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain ALLAH, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah utusan ALLAH’”
Sekarang dia memekik tertahan. Wajahnya mengisaratkan rasa ketidak percayaan yang amat sangat. “Sekarang kamu muslim? Kamu muallaf?”
“Ya,” jawabku. “Aku memilih Islam, karena agama ini telah memberiku jawaban singkat yang pasti akan semua pertanyaanku selama ini.”
“Apa itu?” tanyanya penasaran.
“Allah berfirman : ‘… Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKU…’ itu terlulis dalam firmanNya, QS Adz Dzariat  ayat 56. Itu adalah jawaban dari semua yang aku pertanyakan selama ini. Lunas terbayar sejak aku mulai mendalami isi dari kitab suci. Al Quran, selalu akan menjadi sebuah mukzizat dan jawaban atas segala pertanyaan.
Sekarang aku adalah muslim, aku adalah kupu kupu itu, dan aku bangga memperkenalkan diri sebagai muslim.Aku berharap, aku gak hanya bisa jadi kupu kupu yang indah, tapi kupu kupu yang juga bisa berbagi keindahan itu dan mempengaruhi segalanya agar juga menjadi indah....”

Di dedikasikan untuk seorang sabahat yang selalu menginspirasi :
kang Insan, sang kupu kupu.

Lanjutkan baca bagian 2 di sini
READ MORE - Fase

Baca juga yang ini