Senin, 11 Juni 2012

Setelah Lampu Hijau Padam


            Dia adalah sahabat baikku sejak kami belum bisa mengeja abc dan melantunkan ayat ayat suci di surau dekat rumah kami. Dina namanya. Seorang gadis keturunan Jawa-Ambon yang berwajah manis. Banyak orang bilang, dia lebih pantas terlahir sebagai keturunan Minang daripada suku manapun yang ada di negeri ini. Tapi apapun kata mereka, apapun dan darimanapun Dina berasal, yang aku tahu hanyalah kalau dia itu orang yang benar benar pantas untuk aku jadikan sahabat. Orang yang tidak hanya bisa mengerti aku, tapi lebih dari itu, dia sangat pantas untuk aku sebut sebagai seorang kakak.


             Tapi hari ini Dina tergolek lemas di sampingku. Kepalanya terkulai lemah di atas pangkuanku. Darah tak henti hentinya mengalir dari setiap bagian tubuhnya. Bibirnya yang kemarin merah ranum dengan senyum cerianya yang khas, hari ini berganti menjadi bibir yang merah karena darah yang tak henti hentinya tersembur dari dalam rongga mulutnya. Bibir itu bergetar hebat, menandakan betapa sakit yang dia rasakan. Hidungnya tak lagi menghembuskan udara seperti yang setiap saat dilakukannya, tapi dari sana, mengalir darah segar yang tak kunjung henti. Matanya tertutup dengan kelopak mata yang terus saja bekedut.


             Satu kali, tiba tiba saja bibirnya berhenti bergetar, dan lehernya yang semula kejang, tiba tiba saja terkulai dengan tanpa daya. Aku tersentak melihatnya, aku tak ingin kehilangan dia secepat ini. Sebuah tamparan keras, sekeras yang aku bisa kulayangkan ke pipinya yang kini hancur terparut aspal hitam.


             “Plak…”


             “Hei, jangan tampar dia…” Seorang dalam ambulan yang mengantarkan kami ke ICU ini berseru keras padaku. Tapi apa perduli mereka? Aku hanya tidak rela kehilangan Dina secepat ini.


             “Plak…!” satu tamparan lagi aku layangkan ke pipinya yang lain saat tidak ada respon darinya dari tamparanku yang semula.


             “Hentikan… jangan tampar dia, sabarlah, tenang…” yang lain lagi berusaha menghalangiku. Tapi aku tetap tidak perduli. Aku lebih membutuhkan Dina daripada ocehan mereka padaku.
Ketika masih belum ada reaksi juga darinya, aku mulai dirasuki perasaan takut yang amat sangat. Aku benar benar takut kehilangan dia. Kugoncang goncangkan tubuhnya sekeras mungkin, tapi belum juga ada reaksi.


             “Din, Dina, bangun Din ..., Dina …, buka mata Din, jangan pergi …. Aku di sini Din …. Dina…., Diiinnn … “ Aku histeris memanggil namanya. Aku ingin berteriak, tapi yang keluar dari dalam kerongkonganku, hanyalah sebuah desis aneh tanpa daya dari pada sebuah teriakan yang kuat. Air mataku mulai membuncah keluar.  Deras mengalir tanpa bisa terbendung. Kurangkul kepalanya yang kini tanpa daya itu dalam pelukanku.


             “DINAAA….!!!”


***


             “Kamu bisa lebih cepat gak sih Din, tumben banget sih kamu bawa motornya kayak keong begini. Ini sudah keburu nih, nanti keretanya keburu berangkat tahu.” Protesku pada Dina saat kami berhenti menunggu lampu lalu lintas menyala hijau.


             “Ya non, bawel…, gak tahu apa kalau lagi rame kayak gini.”


“Biasanya juga gak kayak gini. Noh, ada celah noh, masuk sana, cepetan”


“Ya, iya, bawel banget sih kamu hari ini. Lampu masih merah tuh, mau maen trobos aja.”


“Aku gak minta kamu nerobos lampu merah non, maju aja kedepan, kedekat garis putihnya itu lo, biar gak ada yang menghalangi.”



“Bisa diem gak sih, bawel amat kamu hari ini, kayak mau mati aja.”


“Keburu telat non…”


“Salahmu, bukan salahku kalau sampe telat!”


“Hijau. Cepet kebut!”


Tanpa berkata kata lagi Dina menarik tuas gas penuh penuh. Motor yang kami tumpangi melaju kencang seketika. Tapi bersamaan dengan itu, sebuah sepeda motor menerobos lampu merah dari arah kiri kami. Tak bisa dihindarkan, sepeda yang kami tumpangi membenturnya dengan keras. Aku merasakan tubuhku melayang di udara, berputar putar seperti batu yang dilemparkan dari pelontar dengan kuat. Aku kira aku sudah akan menemui ajalku saat itu juga, tapi Tuhan masih berkata lain. Tubuhku jatuh ke aspal yang keras, dengan bagian punggungku yang sedang menyandang tas besar berisi baju baju yang mendarat terlebih dahulu. Aku mendarat dengan selamat walau dengan berberapa luka lecet yang tak serius dan punggung yang serasa retak. Tapi aku selamat, tidak ada luka fatal yang aku derita.


Aku segera berusaha bangkit walau punggungku terasa sakit sekali. Kulihat sekelilingku, dimana Dina? Aku nanar mencarinya dari posisi dudukku. Dan saat pandanganku terpaku padanya, aku tak percaya dengan apa yang aku lihat.


Dia berada di sana, lebih dari sepuluh meter dari tempatku sekarang. Tubuhnya merah oleh darah yang membentuk garis yang hampir lurus di sepanjang jalan. Aku histeris memanggil namanya, aku ingin dia menoleh kearahku, dan berkata semua baik baik saja. Tapi Dina tetap diam, tak bergeming!


***


Ini adalah hari kelima Dina koma ketika sebuah pertanda baik terlihat darinya. Saat aku sedang menungguinya di ruang ICU seorang diri, ketika tiba tiba jemarinya yang sedang kugenggam bergerak gerak lemah. Kualihkan pandanganku ke arah wajahnya. Matanya sedikit terbuka dengan gerakan yang begitu lemah dan lambat.


Hatiku berdesir bahagia melihatnya. Kuberikan senyum tulus setulus yang aku bisa untuknya. Tak aku sangka, Dina membalas senyumku! Tapi setelah itu, senyum itu memudar, mata itu tertutup dan seluruh tanda fital dalam tubuhnya juga ikut sirna.


“Dina…” panggilku lirih. Dina diam saja, tak lagi menjawab seruanku.


“Dina…” panggilku lagi, tapi tetap tak ada reaksi darinya, walau aku menunggunya sampai sepuluh tahun kemudian.

56 komentar:

  1. Kata ulang dipisahkan dnegan tanda [-] seperti berkata-kata, berputar-putar, baju-baju dan lain-lain.
    Masih ada typo, di mana bukan dimana.
    Bergeming artinya tak bergerak, jadi harusnya Tapi Dina tetap diam, bergeming!

    “Din, Dina, bangun Din ...! Dina …! buka mata Din, jangan pergi …!. Aku di sini Din …. Dina…., Diiinnn …!!! “ Aku histeris memanggil namanya.
    Tanda baca seperti itu, lebih membuat kata "histeris" terasa feel-nya.

    Tanda vital, bukan tanda fital.

    Banyak buka kamus yooo hehehe *please no offense

    ~Titie Surya~

    BalasHapus
  2. Jangan lupa spasi sebelum dan setelah elipsis.
    "Dina ... Din ...."

    ~TS~

    BalasHapus
  3. ijin nge print ya ... biar enak baca nya

    BalasHapus
  4. Selamat jalan Dina ...
    semoga dirimu tetap baik-baik di alam yang lain

    selalu bisa belajar cara merangkai kata disini

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin, semoga dia baik baik di sana ... :D

      Hapus
  5. Dina .... itu semua karena salahku .... aku ingin menyusulmu, tapi masih takut mati .... hanya do'a yang dapat kuberikan, semoga
    senyummu tetap merekah di alam sana ....
    #dengan tulisan yang menurutku awam ini bagus, ditambah komentar yang mengkritisi, sangat pantas untuk dijadikan tempat belajar .... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurutku yang awam ini... #koreksi

      Hapus
    2. beli tiket dulu kalau mau nyusul kang.... :)

      Hapus
  6. Dina.. Maafkan aku,, Andai saja aku bisa sabar menunggu dan Andai saja aku tidak menyuarakan “Hijau. Cepet kebut!” mungkin sampai saat ini kita masih bersama, bercanda tawa dan berbagi cerita... "Dina,, Maafkan aku..."

    Kata "Maaf" bagus ditambahkan diakhir, mungkin hanya satu kata tapi akan memiliki makna yang begitu besar.. hehe
    ^_____Lathifah Ratih was visit________^

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih masukannya, bisa jadi bahan belajar buat selanjutnya .... :)

      Hapus
  7. Keren....masukan2 nya membangun... Jdi bljar deh..nulis cerpen yg baik gmn....

    Aku lg hiatus om :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo jangan lama lama hiatusnya, berkarya selalu ...

      Hapus
  8. Endingnya bikin ngenes... -____-

    Om Ndut... request ah..
    bikin cerita fiksi tentang anak-anak dunk... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. nanti coba aku buatkan ya,
      belum pernah buat yang tentang anak-anak.... :)

      Hapus
  9. crta keren mas.,.bs blajar bkn cesen disn.

    BalasHapus
  10. mati satu tumbuh seribu.
    Semoga masih ada seribu Dina di dunia ini.......

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin, akan selalu ada Dina-Dina yang lain .... :)

      Hapus
  11. terkadang kita cenderung memburu-buru waktu tanpa berfikir panjang apa akibatnya, padahal simpel aja, kalo mau datang awal dan ga terlambat, ya bersiap dari awal. segala sesuatu ada konsekuensinya, mau persiapan awal dengan konsekuensi datang diawal dan ga terlambat, atau bersantai-santai dengan resiko memburu waktu dan kemungkinan berakibat fatal. jadi intropeksi diri. makasih om sudah diingatkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah itulah inti dari cerita ini , rima .... :)

      Hapus
  12. Duh .. merinding Mas, akhirnya tragis ....

    BalasHapus
  13. dan akhirnya cuma bisa berkata: patuhilah rambu lalulintas...

    BalasHapus
  14. Endingnya Jleb...
    Tapi koment diatas ini lebih Jleb -___-"

    Semangat terus kang..
    imajinasi nulisnya benar-benar liar.hha

    BalasHapus
    Balasan
    1. komen yang ini juga buat semangat..., ayo sama sama berkarya terus, Uchank...

      Hapus
  15. Jadi ngerasa bersalah pernah nerobos lampu merah... :D

    Nice Mas,,, ^^

    BalasHapus
  16. artikel yang sangat berbobot juga nih,,, sangat signifikan,,,

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah berkunjung dan menyimak ... :)

      Hapus
  17. Tak ada yang lebih pasti dari kematian. Tak ada yang bisa bersembunyi darinya. :') Syukurlah, ini hanya fiksi, tapi semoga bisa mengingatkan si penerobos lampu merah, untuk sadar. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin, semoga bisa di ambil hikmahnya....

      Hapus
  18. Dua paragraf pertama, rasanya saya seperti terjebak dalam situasi itu. Mendadak dunia sekelilingku lenyap, tergantikan dengan "dunia" dalam cerpen ini..

    Maksud dari cerpen yang dapat saya tangkap:
    1. Patuhi aturan lalu lintas. Karena bisa jadi kesalahan kita berujung kerugian pada diri dan orang lain.
    2. Mematuhi aturan saja tidak cukup. Tapi harus diiringi dengan perilaku lain, yaitu kesabaran.. Dina dan temannya, patuh terhadap lalu lintas. Namun, masih dikuasai oleh sikap ketidaksabaran karena ngebut..

    Terus Berkarya mas Ridwan. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener kang Arya, kurang lebihnya begitu yang aku maksud, mari berkarya bersama .... :)

      Hapus
  19. bikin lagi kang, yg versi temen dumay...pasti masuk nominasi tuh, aku dukung dah^^
    CHAYO^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo kamu juga buat, biar bisa satu buku sama aku .... :)

      Hapus
  20. keren ceritanya, walau masih banyak kekurangan seperti yg disebutkan oleh First Commentator...
    sekalian belajar...

    BalasHapus
    Balasan
    1. gak kebayang... jika berada dalam kondisi seperti itu..

      Hapus
    2. makasih sudah menyimak, semoga ada hal positif yang bisa diambil... :)

      Hapus
    3. ya kak... awalnya saya tadi mau kritik sekaligus tanya perihal kata "bergeming", dulu mikirnya sih kayak gitu... tapi beberapa hari sebelum baca postingan ini saya nemu di KBBI kalo bergeming tuh artinya ternyata tidak bergerak... tapi ternyata udah ke jawab di first comment...
      thanks... sekalian belajra

      Hapus
    4. hohoho, baru tahu kalo bergeming itu gk bergerak. Karena menurut saya kata "bergeming" itu jarang diucapkan. Malahan yang sering denger itu kata "tak bergeming" yang menurut penafsiran saya = cuek

      Hapus
    5. kalo udah dibiasakan ngarang kayak gini pasti butuh deh buka2 kbbi dan lama2 juga jadi biasa... ^_^

      Hapus
  21. ih ngeri..
    sesuatu yang pernah aku rasakan. Tapi aku masih selamat, aku yang nerobos lampu merah duluan, tapi naas malah yang tertabrak adalah yang belakangku, mengikutiku nerobos.
    aku terkejut dan sontak berhenti ditengah, tepat di trotoar pembatas jalan tengah. kulihat dia terpental.

    keren2 sampai berapa jempol yg diminta..heheh
    pasalnya aku gak bisa buat, menurutku sudah jauh lebih bagus dari yg aku bisa, tapi ternyata masih ada koreksi. Apalagi aku yang buat..coretan merah semua..hikshiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. moga bisa diambil sisi positif dari cerpen ini haf, soal berkarya, mari terus berkarya ..... :)

      Hapus
  22. Hoo.. 10 tahun bukan waktu yg sebentar.
    Setidaknya masih diberi kesempatan untuk melihat senyum terakhirnya.. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. senyum terakhir seorang sahabat... :)
      makasih atas kunjungannya ....

      Hapus
  23. Kunci keberhasilan adalah menanamkan kebiasaan sepanjang hidup Anda untuk melakukan hal - hal yang Anda takuti.
    tetap semangat tinggi untuk jalani hari ini ya gan ! ditunggu kunjungannya :D

    BalasHapus
  24. Assalaamu'alaikum. Salam kenal. Wah bisa belajar membuat cerita fiksi nih dari sini. Aku sendiri juga masih dalam taraf belajar menulis :)

    Jadi sedih deh baca ini, banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kita ambil. Ma kasih.

    BalasHapus
  25. dah lama gak posting, kang?

    bisa minta renungannya untuk di bulan Ramadhan ini...
    kalau bisa dalam bentuk cerpen, bakalan keren tuh...



    Minta Renungannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah lama gak posting memang, lagi banyak yang harus di kerjakan. doakan ya semoga setelah ini akan ada posting baru lagi .. :)

      Hapus
  26. salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
    Bersabarlah dalam bertindak agar membuahkan hasil yang manis.,.
    ditunggu kunjungan baliknya gan .,.

    BalasHapus
  27. Wahh kagum dah kak ridwan, semangat nulis dan karyanya T.O.P
    tiap berkunjung ketularan semangatnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih, semua orang bisa kok, ayo terus belajar dan kerkarya ...

      Hapus

silahkan berkomentar di kolom komentar ini untuk meninggalkan jejak di blog ini. gunakan komentar anda sebagai bukti kunjugan anda ke blog ini. terimakasih.
.
.
.

Baca juga yang ini