Senin, 21 Maret 2016

Nun



“Ini bukan lagi tentang benar atau salah. Sekarang ini adalah tentang prinsip, Bang. Prinsip yang aku yakini, prinsip yang menunjukkan aku yang sebenarnya.”

“Tapi Nun, kamu itu hidup dalam masyarakat. Masyarakat yang juga punya prinsip, punya aturan. Dan sekarang, prinsip kamu itu bertentangan dengan prinsip mereka. Bagi mereka, kamu sudah melanggar norma, Nun. Melanggar hukum-hukum tak tertulis mereka.”

Nun menatapku nanar. Pandangannya kalut. Tak berkedip, tak mampu menatapku lama-lama. Untuk kemudian, dia menunduk. Wajahnya memerah.

“Kamu tak bisa terus menerus begini, Nun. Tak bisa terus terusan menentang arus.....”

“Tapi hanya ikan yang mati yang hanyut bersama arus, Bang!”

“Itu tidak relevan dengan keadaan sekarang, Nun. Kamu tidak bisa menjadi penentang yang nyata pada semua hukum hukum yang ada. Tidak bisa, Nun. Bukan hanya hukum manusia yang kamu tentang, bahkan hukum Tuhan. Prinsipmu itu bertentangan dengan hukum hukum Tuhan, Nun. Sadarlah.... Kalau hukum Tuhan saja kamu tentang,  lalu untuk apa ibadahmu? Untuk apa sujudmu? Taubatmu selama ini? Untuk apa semua itu, Nun?

....”

Tiba-tiba kata kataku tercekat. Menggatung didalam diamnya dingin. Nun berhambur memelukku. Erat.

“Aku mencintaimu...,” lirihnya.

Lemas seluruh badanku. Lepas seluruh sendiku. Apa yang harus aku lakukan? Akupun pencintainya. Akupun menginginkannya. Aku sadar itu dan tak mungkin bisa kuingkari. Harum tubuhnya, geloranya, helaan nafasnya. Cintaku tumbuh pada semua yang ada padanya.

“Jangan lagi katakan cinta kita terlarang, Bang. Karena sungguhpun aku tak perduli.”

Ah...., Nun. 

Andai saja...

1 komentar:

silahkan berkomentar di kolom komentar ini untuk meninggalkan jejak di blog ini. gunakan komentar anda sebagai bukti kunjugan anda ke blog ini. terimakasih.
.
.
.

Baca juga yang ini