Aku
adalah sang juara, tak ada yang meragukan itu! Di lintasan hitam di malam yang
pekat seperti ini, dari tiga tahun yang lalu, akulah rajanya. Dan belum ada
yang bisa membantah dengan bukti yang nyata akan hal ini. Tidak! Tentu saja,
sampai seokor cicak di langit langit kamarku yang sedang menggoda pasangannya
malam itu mengubah arah hidupku seratus delapan puluh derajat tepat. Dari sang
raja, sang juara, menjadi pecundang yang meninggalkan arena perang untuk selamanya.
Aku meninggalkan gelanggang ini hanya dengan satu kekalahan yang sangat sangat
memalukan (sekaligus membanggakan).
Untuk
kalian para sahabat mudaku, kutulis ini agar menjadi ilham buat kita semua.
Kisah ini terjadi sembilan tahun lalu, ketika aku beru saja lepas dari bangku
SMU.
***
“
Tidak ada kebut kebutan lagi malam ini!!!” ibuku berteriak tepat di mukaku
malam itu. Ayah berkacak pinggang dua meter di belakang ibuku. Wajahnya yang
mengeras, tak bisa aku lawan lagi.
“
Sekarang masuk ke dalam kamar. Tidur!” ultimatum itu masih terus berlanjut. “
Ibu akan mengunci kamar kamu sampai besok pagi. Dan ingat, kalau kamu gak mau
juga berubah dari kebiasaanmu ini, setiap malam kamu akan tidur dengan kamar
terkunci dari luar…!!!”
“ Bu,
aku…..” aku mencoba membela diriku, tapi satu suara keras dari ibuku, menutup
mulutku lagi sebelum aku sempat mengucapkan sepatah katapun juga.
“
Tidak ada pembelaan diri malam ini. Kita akan membicarakannya besok pagi,
dengan kepala dingin….” Suara ibu masih saja meninggi. Tapi tak pernah aku
sadari, bahwa itulah suara ibu yang terakhir aku dengar.
“ Tapi
bu…..”
“
Arif…. !” itu suara ayah, pelan, datar, tapi penuh tenaga dan wibawa. Suara
yang belum pernah aku bantah selama ini. Bukan karena aku takut pada ayahku.
Tapi lebih dari itu, sikap ayah yang tegas dengan sedikit kata katalah yang
membuat jiwaku tunduk setunduk tunduknya pada setiap perkataannya. Dan janjinya
untuk memblokir seluruh fasilitas yang di berikannya tadi siang kalau aku gak
bisa bersikap baik di depan mereka aku sadari betul bukanlah janji yang sekedar
diucapkan saja. Ayah selalu melakukan apa yang beliau ucapkan.
“
Arif, masuk kamar kamu sekarang. Besok kita akan bicara hal ini setelah
sarapan.” Kata ayah.
Aku
menghela nafas berat. Tidak ada celah aku rasa untuk malam ini. Aku berusaha
menurunkan egoku sambil berfikir keras bagaimana caranya aku bisa keluar malam
ini tanpa harus ayah dan ibuku tahu. Aku dalah sang juara. Dan aku tidak akan
terkalahkan oleh siapapun hanya dengan alasan bodoh seperti ini. Aku harus
hadir di sana. Harus!
***
Aku
menghempaskan badan di kasur kingsize-ku begitu pintu di kunci dari luar. Otakku
berputar putar memikirkan rencana apa dan bagaimana caranya aku bisa keluar
dari kamar ini.
Hal
pertama yang aku pikirkan adalah menghubungi teman temanku di luar sana.
Setidaknya aku harus mengulur waktu agar aku bisa berfikir cara untuk bisa keluar.
“ Dua
jam lagi, “ janjiku pada mereka. Dan sukurlah mereka setuju pertandingan malam
ini diundur dua jam.
Tapi
apa yang harus aku lakukan selama dua jam waktu yang tesisa ini. Aku berputar
putar didalam kamar. Mencari setiap celah dan kemungkinan yang bisa aku lakukan
untuk kabur. Jendela bukanlah jalan yang bisa diandalkan. Walaupun aku bisa
membuka daun jendelanya, tapi aku tidak mungkin bisa untuk menjebol teralis
besi yang terpasang kokoh di bagian dalamnya.
Sh***t……!!!
Aku
mengumpat dalam perasaanku yang bercampur baur. Benci, gelisah, marah, dengan
adrenalin jiwa mudaku yang terus membuncah. Tangan ini rasanya gatal untuk
mencenkram pedal gas dalam dalam. Badan ini rasanya meriang tak karuan. Hanya
angin malam yang dingin yang bisa membuat jiwaku tenang malam ini. Tapi
bagaimana caranya? Bagaimana…….
Aku
terus berpikir, terus berputar putar. Melolong dan mengiba agar diizinkan
keluar malam ini pada ayah dan ibuku sungguh adalah hal bodoh yang bisa aku
lakukan. Tapi itu tidak mungkin. Mereka tidak akan bergeming dari keputusannya.
Telapak
tanganku mulai mengeluarkan keringat dingin saat waktu menunjukkan pukul 23.16
menit, itu artinya, hanya ada 44 menit sebelum pertandingan dimulai. Ini adalah
pertandingan penentuan bagiku. Seorang jagoan lapangan trek dari kota lawan
datang malam ini untuk menentukan aku atau dia yang benar benar pantas
untuk menyandang gelar sang raja, sang juara!.
Kuhempaskan
sekali lagi badanku ke atas ranjangku. Pukul 23.21 ketika itu, dan pikiranku
makin buntu, makin mustahil rasanya aku bisa kabur. Kupejamkan mataku, tapi
pikiranku tetap buntu. Tatap tidak ada jalam keluar. Jiwaku mendidih rasanya,
badanku panas dan dingin secara bersamaan. Tak terasa, ada setetes air mata
yang menggenangi sudut sudut mataku.
Hah…..!!!
Apa
ini? Mana ada sang juara sepertiku menangis! Memalukan sekali. Perlahan kubuka
mataku. Dengan napas yang berdengus, kucengkram sprai yang menutupi kasurku
ini, ingin rasanya kulampiaskan seluruh kemarahanku malam ini.
Ck…
ck… ck ck ck … ck…. Dua ekor cicak melinta di dinding tak jauh dari tempatku
berbaring.
Buset,
dua ekor cicak itu sepeti mengejekku. Mereka berlari lari riang berkejar
kejaran di tembok kamarku. Tidakkah mereka tahu kalau aku lagi dalam keadaan
kacau balau sepeti ini?
Kuraih
penggaris besiku di meja belajarku. Plak..!! plak… !!! kuhajar mereka. Tapi
keduanya lincah benar. Mereka bisa lolos dari setiap pukulanku. Plak…!!
Plak…!!! Mereka terus berlari di sepanjang dinding berusaha meloloskan diri
dari pukulan pukulan penggaris besiku.
Cicak
cicak itu terus berlari keatas, dan…..
Twing…!!!
Mereka
menghilang di balik lubang langit langit kamarku. Dan bersamaan dengan itu pula
muncul ide cemerlangku. Mengapa aku melupakan lubang buatan di langit langit
kamar itu. Bukankah aku bisa kabur dari sana?
Sedetik
kemudian, seluruh kekesalanku tiba tiba sirna. Berganti harapan dan kegembiraan
yang amat sangat. Terimakasih cicak cicak yang budiman. Suatu hari nanti, aku
pasti membalas kebaikan kalian…..
***
Tepat
tiga menit sebelum petandingan dimulai aku sudah tiba di arena. Wajah tengang
teman teman satu geng motorku perlahan mengendur waktu mereka melihat
kedatanganku. Tanpa banyak bicara, aku mempersiapkan diri di atas sepeda
motorku. Sepeda motor ini sengaja aku titipkan di rumah salah satu temanku.
Buat jaga jaga kalau kalau aku gak bisa bawa motor ini langsung dari rumah. Dan
sukurlah, malam ini terbukti analisaku itu tepat.
Lawanku
kali ini rupanya bukan orang sembarangan. Dari penampilan dan gayabicaranya,
aku bisa menebak orang ini kira kira berusia 5-6 tahun lebih tua dari aku.
Kalau aku sekarang berusia dua puluh tahun, berarti dia berusia setidaknya 25
tahun.
Usia
yang cukup matang untuk berdiri di arena trek malam ini. Cukup berpengalaman
tentunya. Menyadari kenyataan seperti itu sempat membuatku merasa down beberapa
saat. Tapi naluri mudaku berbicara lain. Naluri keegoanku terus menyiramkan
racun adrenalin kedalam darahku. Membuat semangat yang sempat meredup itu
timbul kembali.
“
Perlintasan malam ini panjangnya lima ratus meter” kata salah seorang
diantara kami. “ Tidak boleh menyalaka lampu, tidak boleh menyenggol motor
lawan. Ok, kalau sudah siap sekarang hitung mundur dimulai, 4……. 3 …….. 2 ……..
1……… GOOOOOOO……..!!!!”
Motorku
dan motornya berderum keras. Sesaat kemudian, aku sudah berada di atas angin
rasanya. Tuhuhku serasa terbang bersama laju motor yang aku kendarai ini. Ada perasaan
senang, ada perasaan puas, ada jiwa yang serasa terpuaskan. Ada debaran
di jantungku, ada adrenalin yang berpacu di aliaran darahku. Aku sangat, sangat
menikmati saat saat seperti ini.
Lampu
jalanan yang mati setelah ditimpuki teman temanku, lampu motor yang tidak
menyala. Ditambah awan gelap yang menutupi gugusan bintang gemintang dan bulan
semakin membuat suasana malam ini semakin sempurna. Kegelapan yang sempurna.
Tidak pekat benar sebenarnya. Tapi cukup untuk membuat sensasi perlombaan malam
ini tak terjabarkan.
Tapi
malam ini, rupanya takdir berkata lain padaku. Saat sedang melaju dengan
kecepatan diatas angin, tepat beberapa meter setelah belokan pertama yang
mengarah ke pusat industri di kota ini, tiba tiba sebuah raungan
panjang di sertai cahaya yang membutakan mata menyambut kami. Aku mendengar
pekikan, ada suara keras logam beradu di jalanan. Tapi aku cepat menyadari itu.
Aku sadar ada sebuah truk proyek berukuran raksasa yang mejaju lambat di depan
kami. Cepat cepat aku banting stir kearah kanan. Arah motorku tak lagi bisa di
kendalikan, terus merengsek dengan laju yang sempoyongan. Aku masih sempat
melihat pembatas jalan itu sebelum benturan keras antara pembatas jalan dan
motorku terjadi. Tapi entah bagaimana tepatnya. Tiba tiba saja, aku sudah
merasa tubuhku melayang bebas di udara tanpa beban. Dan sesaat kemudian, semuanya
jadi gelap yang sempurna……
***
Hari
ini adalah hari ke tujuh setelah kejadian di malam itu. Semua yang ada, yang
bisa di ketahui dan diingat tiba tiba jadi begitu pahitnya. Bukan hanya
kematian lawan balapan motor liarku yang membuat hatiku miris. Tapi lebih dari
itu, dua hari yang lalu, ketika aku terbangun dari komaku selama lima hari,
sebuah berita duka yang mendalam yang tak pernah aku kira menghujam telingaku.
Ibuku meninggal! Ibuku meninggal akibat serangan jantung mendengar kecelakaan
yang aku alami……
Tuhan,
andaikan aku engkau perbolehkan untuk kembali ke malam itu, aku ingin meminta
padamu : jangan pernah Engkau kirimkan dua ekor cicak itu padaku. Biarlah saja
aku tidak menyadari keberadaan lubang di langit langit kamarku. Tuhan, hari ini
aku menyadari, bahwa aku kalah, aku lemah, aku gagal. Aku gagal mengukuhkan
diriku sebagai sang juara di arena balap liar. Aku gagal menjadi raja jalanan
seperti impianku. Tapi di balik semua kegagalanku kali ini, ada hikmah besar
yang bisa aku ambil. Tuhan, aku sedih, tapi terima kasih sudah memberiku
gagalan dan kesedihan ini…….
di posting pertama kali di http://laranta.blogspot.com/2011/02/aku-adalah-sang-juara-tak-ada-yang.html