Dalam pada itu, aku masih menyebut nama Tuhan. Dalam sebuah
keheningan malam yang pada sorenya aku berbuat dosa. Pada malam itu, semua
kenangan kembali. Berputar di dalam hening malamku seakan ribuan suara yang
memintaku untuk kembali.
Kembali....
“Kembali ke mana?” tanyaku.
Dia hanya diam. Tangannya terlipat di depan mulutnya. Padangannya
hampa memandang hamparan aspal hitam tak jauh dari tempatnya duduk. Entah itu
padangan sesal, mengenang atau sebuah kehilangan yang mendalam.
Beberapa mobil melaju dengan lambat. Menebarkan butiran air
hujan yang sore tadi membasahi jalan ini ke udara di belakangnya. Pada ruang
kosong yang melukiskan hatinya. Hatiku?
“Kemana?” tanyaku lagi.
Dia diam.
“Hei....”
Dia menggeleng.
“Kamu mau pulang kemana?”
“Entahlah....,” desahnya kemudian. Ada hembusan nafas yang
mendalam. Sekarang dia beringsut. Meluruskan kakinya, meletakkan tangannya
diatas pahanya. Kepalanya terkulai. Sekaakan laskar yang kalah perang. “Aku
ingin pulang, Kenangan, pada masa kecilku.” Imbuhnya kemudian. Sekarang pandangannya
dia buang jauh kedepan. Seolah dengan itu dia mampu melihat pada masa lalunya
yang indah.
Aku tersenyum sinis mendengarnya. Senyum simpul yang hanya
tergores pada satu sudut mulutku. “Kamu menyesal?” tanyaku. Dia diam, tak
menjawab. Hanya perlahan tangannya yang bergerak mundur. Menopang tubuhnya yang
tegap tapi renta itu dari belakang. Padangannya tengadah. Memandang langit yang
penuh dengan asap hitam. “Setelah semua yang terjadi, akhirnya kamu bilan g
kamu menyesal? Untuk apa? Untuk bagian yang mana?”
Hening....
Angin sepoi melintas sekilas, lalu sepi lagi.
“Dan sekarang kamu ingin berlari dari kenyataan?” tanyaku
lagi.
Angin datang lagi. Kali ini dia membawa sayup-sayup suara
dari jauh. Suara panggilan bagi umatNya untuk meninggalkan selimut dan tempat
pembaringannya yang nyaman. Untuk menyambut ibadah yang lebih dari seisi alam
semesta. Angin itu, suara itu, seakan kesejukan yang tiada duanya. Mereka bersatu,
saling menguatkan satu sama lainnya.
Keduanya kemudian menyentuhku. Anginnya membelai lebut kulit
kumalku. Suara-suara itu merasuk kedalam hatiku. Medamaikan apa saja yang
bergemuruh di sana. Mengembalikan semua kenangan kelam itu kedalam tempatnya
yang gelap. Menggantinya dengan kenangan lain yang berwarna keperakan. Kenangan
yang berpendar indah.
Dia beringsut. Duduk memeluk lututnya dengan erat. Seolah dengan
itu, dia ingin mengembalikan hatinya utuh lagi. Hati dan perasaannya yang tadi
berhambur keluar dari rongga dadanya. Hancur seakan tak pernah punya rupa dan
wujud lagi. Dagunya dia sandarkan pada lututnya. Ada setetes bening air matanya
yang jatuh. Menetes melewati pipinya yang angkuh.
“Tabukah aku menangis?” tanyanya dengan kemarahan dan
penyesalan yang tertahan. “Dulu aku selalu menyebut namaNya dalam suara paling
indah yang aku mampu ucapkan. Aku menyembahnya tanpa ‘tapi’. Aku hafalkan
segala firmanNya. Aku amalkan segala ajaranNya.” Sekarang dia menoleh padaku. Matanya
merah. Tangisnya bukan buatan. Aku tahu dia sungguh menyesal.
“Jadi salahkah aku kalau kemudan aku kecewa saat Dia tak
mengabulkan pintaku yang paling sederhana? Hal paling sederhana yang sangat aku
inginkan? Salahkah? Salahkah kalau kemudian aku berpaling? Kecewa padaNya, tak
mau lagi menyebut namanya?”
“Dia mengujimu, wahai Diri. Tak sadarkah kamu?”
“Diam!” dia membentakku.
“Dia mengujimu. Bukankah kamu sebenarnya tahu? Bukankah sebenarnya
kamu mengerti kalau tak ada seorangpun yang akan dibiarkan tanpa diuji setelah
mereka menyatakan keimanan mereka?”
“Diam! Diam...! diam...!!!”
“Dan sekarang kamu ingin kembali? Kamu menyesal? Mengapa tidak
menyegerakan diri? pintuNya terbuka lebar di depanmu. Pintu taubat dan
penyesalan. Kenapa kamu tidak menyegerakan diri. Apa yang kamu tunggu? Ajal tak
pernah menunggu taubatmu, wahai Diri.”
“Aku bilang diam....!!!”
Aku bangkit dari posisi dudukku. Kuulurkan tanganku ke
arahnya. Menawarhakan bantuan untuk berdiri. “Ayo, bersegeralah, Dengarkanlah
panggilanNya. Datangi pintu pengampunanNya. Apa lagi yang kau tunggu? Esok belum
tentu ada untukmu.”
Dia memandangku dengan mata merahnya yang terus berusai air
mata. Mulutnya, hidungnya, kembang kepis menahan sesak di dadanya. Aku tahu dia
marah, aku tahu dia kecewa. Marah dan kecewa pada keadaan, pada dirinya
sendiri.
“Masih marahkah kamu pada Tuhan? Bukankah pada keadaan
tersulitpun kamu masih menyebut namaNya?”
aku berusaha memberinya senyum penuh persahabatan yang aku punya, dan
dia masih berperang melawan dirinya sendiri. Angin malam berhenti berhembus, sebentar
lagi fajar akan menggantikan malam dengan siang.
“Sampai kapan kamu akan di sana? Ayo! Pintu ampunanNya
terbuka lebar. Tidakkah kamu mau menyambutnya...? berseralah....”
2:22