“Ini bukan lagi tentang benar atau salah. Sekarang ini
adalah tentang prinsip, Bang. Prinsip yang aku yakini, prinsip yang menunjukkan
aku yang sebenarnya.”
“Tapi Nun, kamu itu hidup dalam masyarakat. Masyarakat yang
juga punya prinsip, punya aturan. Dan sekarang, prinsip kamu itu bertentangan
dengan prinsip mereka. Bagi mereka, kamu sudah melanggar norma, Nun. Melanggar
hukum-hukum tak tertulis mereka.”
Nun menatapku nanar. Pandangannya kalut. Tak berkedip, tak
mampu menatapku lama-lama. Untuk kemudian, dia menunduk. Wajahnya memerah.
“Kamu tak bisa terus menerus begini, Nun. Tak bisa terus
terusan menentang arus.....”
“Tapi hanya ikan yang mati yang hanyut bersama arus, Bang!”
“Itu tidak relevan dengan keadaan sekarang, Nun. Kamu tidak
bisa menjadi penentang yang nyata pada semua hukum hukum yang ada. Tidak bisa,
Nun. Bukan hanya hukum manusia yang kamu tentang, bahkan hukum Tuhan. Prinsipmu
itu bertentangan dengan hukum hukum Tuhan, Nun. Sadarlah.... Kalau hukum Tuhan
saja kamu tentang, lalu untuk apa
ibadahmu? Untuk apa sujudmu? Taubatmu selama ini? Untuk apa semua itu, Nun?
....”
Tiba-tiba kata kataku tercekat. Menggatung didalam diamnya
dingin. Nun berhambur memelukku. Erat.
“Aku mencintaimu...,” lirihnya.
Lemas seluruh badanku. Lepas seluruh sendiku. Apa yang harus
aku lakukan? Akupun pencintainya. Akupun menginginkannya. Aku sadar itu dan tak
mungkin bisa kuingkari. Harum tubuhnya, geloranya, helaan nafasnya. Cintaku
tumbuh pada semua yang ada padanya.
“Jangan lagi katakan cinta kita terlarang, Bang. Karena
sungguhpun aku tak perduli.”
Ah...., Nun.
Andai saja...
Salam sukses
BalasHapus